Jaemin's POV
Kegiatan orientasi terus berjalan, dan aku mencoba sebisa mungkin untuk tidak menarik perhatian siapa pun—terutama dia. Aku tetap menunduk, mengikuti instruksi panitia, berharap semuanya akan berjalan lancar tanpa ada insiden lain yang bisa membuatku terlihat mencolok.
Ketika pembagian kelompok selesai, suasana langsung berubah menjadi kekacauan. Semua orang mulai berpencar mencari kelompok mereka masing-masing, membuat lapangan yang tadinya terorganisir menjadi lautan manusia yang bergerak tanpa arah.
Aku mencoba melihat ke arah tanda kelompokku, tapi tubuhku yang lebih kecil dibandingkan orang lain membuat pandanganku terhalang. Sebelum aku sempat menemukan jalan keluar, arus manusia mulai mendorongku.
"Permisi," gumamku, mencoba bergerak ke samping, tapi tidak ada yang memperhatikan. Tubuhku terus terdorong dari satu sisi ke sisi lain, dan setiap langkah yang kuambil malah membuatku semakin terhimpit.
Aku mulai panik. Napasku pendek-pendek, dan dadaku terasa sesak. Aku mencoba bergerak mundur, tapi tidak ada ruang. Semuanya terasa semakin sempit, dan suara orang-orang di sekitarku semakin mengabur.
Aku akan terinjak-injak. Pikiran itu terus menghantuiku.
Namun, di tengah kepanikan itu, aku merasakan sesuatu—sebuah tangan yang kuat menarik lenganku. Aku tidak bisa melihat siapa pemiliknya, tapi aku terlalu panik untuk peduli. Aku hanya membiarkan diriku mengikuti tarikan itu, berharap ini akan membawaku keluar dari kekacauan ini.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, aku akhirnya merasakan udara segar. Kerumunan mulai menjauh, dan aku bisa menarik napas panjang meskipun masih terengah-engah.
"Hey, apa kau baik-baik saja?"
Aku mendongak, dan wajah pria yang menarikku tadi muncul di depanku. Dia menatapku dengan ekspresi khawatir, alisnya sedikit berkerut.
Jantungku masih berdebar kencang, tapi kali ini bukan hanya karena panik. Itu dia lagi. Jeno.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Perasaan lega karena selamat dari kerumunan bercampur dengan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokanku terasa kering.
Dia menatapku lebih dekat, nadanya terdengar lebih lembut. "Hei, kau benar-benar tidak apa-apa?"
Mataku terasa panas, dan sebelum aku bisa menahannya, air mata mulai menggenang. Bukan karena sedih, tapi lebih karena rasa terima kasih yang luar biasa. Jika bukan karena dia, aku tidak yakin apakah aku bisa keluar dari situasi tadi dengan selamat.
"Terima kasih," gumamku, suaraku hampir tidak terdengar.
Jeno tersenyum kecil, seolah lega melihatku bisa bicara. "Jangan khawatir. Aku hanya kebetulan melihatmu di tengah kerumunan."
Aku tahu ini konyol, tapi saat itu aku merasa ingin memeluknya—entah untuk berterima kasih atau sekadar mencari rasa aman. Namun, aku hanya berdiri kaku di tempatku, berharap dia tidak menyadari betapa gugupnya aku.
"Tetap di sini dulu," katanya, memandang ke arah kerumunan.
Aku hanya bisa mengangguk, tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dalam hati, aku bertanya-tanya: Kenapa dia selalu muncul di saat aku tidak bisa menjaga diriku sendiri?
Jeno memberiku pandangan terakhir sebelum mengisyaratkan seseorang dari kejauhan. Aku melihat seorang pria dengan seragam senior berjalan mendekat, wajahnya terlihat ramah meskipun ada sedikit rasa serius di dalam tatapannya. Tapi sebelum aku sempat bertanya siapa dia, Jeno sudah berbalik dan berjalan kembali ke arah panggung.
Aku masih mencoba menenangkan napasku yang belum sepenuhnya stabil ketika suara lantang Jeno menggema di seluruh lapangan.
"Semuanya DIAM!!"
Semua orang di lapangan langsung terdiam. Bahkan para mahasiswa yang masih bergerak mencari kelompoknya berhenti di tempat, terkejut dengan teriakan Jeno yang begitu tegas.
"Apa kalian semua tidak bisa keluar secara tertib?" suaranya menggema, penuh dengan nada marah yang membuatku bergidik meski aku tidak termasuk dalam sasaran utamanya. "Tidak ada yang membuat kalian harus buru-buru mencari kelompok! Apa kalian tahu betapa berbahayanya stampede seperti ini? UMUR BERAPA KALIAN SEMUA? HAH!?"
Aku menelan ludah. Suasana lapangan terasa begitu tegang hingga aku yakin semua mahasiswa baru sekarang menyesali kelakuan mereka barusan. Melihat Jeno seperti ini, aku jadi sadar betapa berbeda sikapnya dibandingkan dengan tadi malam.
Dari tempatku berdiri, aku bisa mendengar bisik-bisik para mahasiswa baru di sekitarku. "Apa kita baru saja mendapat kartu merah sebelum orientasi dimulai?" bisik seseorang.
"Dia serius sekali..." kata yang lain, jelas terkejut.
Aku hanya bisa terdiam, merasa kecil di tengah kekacauan ini. Tapi kemudian, pria yang tadi dipanggil Jeno mendekatiku. Dia mengenakan senyum yang ramah, meskipun matanya penuh perhatian.
"Hai, aku Baekhyun," katanya, menundukkan sedikit tubuhnya agar sejajar denganku. "Aku bertanggung jawab untuk memastikan kalian semua sehat selama orientasi. Kau tidak apa-apa?"
"Uh, iya... aku rasa begitu," jawabku pelan, meskipun suaraku terdengar sedikit gemetar.
Baekhyun mengamati wajahku sebentar sebelum mengangguk. "Ayo, aku akan membawamu ke tenda medis. Aku ingin memastikan tidak ada yang terluka."
Aku mengikuti Baekhyun dengan langkah pelan, merasa sedikit malu karena aku harus diantar ke tenda medis. Tapi begitu sampai, aku baru sadar bahwa aku bukan satu-satunya yang hampir jadi korban. Ada beberapa mahasiswa lain yang duduk di kursi lipat, wajah mereka tampak lelah dan panik, sementara para panitia senior sibuk memeriksa mereka.
"Kau tahu," Baekhyun memulai dengan nada bercanda, duduk di kursi di depanku sambil memeriksa lenganku. "Kau memang terlalu imut. Untunglah Jeno dapat mengamankanmu barusan."
Aku menatapnya dengan kaget, merasa wajahku mulai memanas. "A-apa maksudmu?" tanyaku, sedikit tergagap.
Baekhyun tersenyum tipis, mengambil kapas yang sudah diberi antiseptik untuk membersihkan bekas lecet kecil di lenganku. "Lihatlah lenganmu ini," ujarnya sambil menunjuk kulitku. "Kulitmu halus sekali. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau kau sampai terjatuh tadi. Orang-orang pasti akan menginjakmu."
"Itu..." Aku tidak tahu harus berkata apa. Mendengar kata-katanya membuatku merasa semakin kecil, tapi di sisi lain, aku tahu dia tidak bermaksud jahat.
"Tapi jangan khawatir," tambah Baekhyun, menepuk lenganku pelan. "Dengan Jeno dan aku di sini, kau aman. Kalau terjadi apa-apa, cari aku atau dia, ya?"
Aku hanya mengangguk pelan, masih tidak tahu harus merespons bagaimana. Namun, dalam hati, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang Jeno. Pria itu tidak hanya menyelamatkanku tadi, tapi sekarang dia juga membuatku melihat sisi lain darinya—sisi yang tegas, bertanggung jawab, dan... entah kenapa, membuatku merasa lebih aman.
To Be Continued..
Jangan Lupa Like and Comment nya ya^^
KAMU SEDANG MEMBACA
F For Five || MobxJaemin
Fanfic🔞🔞 "Lima? Kalian serius? Bagaimana mungkin kalian semua bisa menyukaiku bersamaan? Aku bahkan tidak memberikan alasan untuk kalian menyukaiku? Dan lagi bagaimana bisa kalian membiarkan orang yang kalian sukai bersama orang lain?" Jaemin tidak perc...