Hidup di mansion keluarga Salvatici adalah mimpi buruk bagi Arlo. Di usianya yang baru sepuluh tahun, ia sudah menjadi target kebencian yang tak beralasan. Papanya, Luciano Salvatici, nyaris tak pernah menatapnya. Abang-abangnya, Dante, Marco, dan Rico, memperlakukannya lebih buruk dari seorang pelayan.
---
“Kau Tidak Berguna”
Pagi itu, Arlo bangun lebih awal dari biasanya. Dengan tubuh kecilnya, ia mencoba membereskan ruang tamu seperti yang diperintahkan Rico malam sebelumnya. Tapi anak sepuluh tahun itu tak luput dari kesalahan kecil.
"crash!"
Gelas kaca yang hendak ia rapikan tergelincir dari tangannya dan pecah berkeping-keping di lantai.
Suara pecahan itu menarik perhatian Dante, yang baru saja turun dari tangga. Wajahnya langsung mengeras.
“Arlo! Apa yang kau lakukan?” Dante berjalan cepat ke arahnya, menatap tajam.
“L-li... li-Lio nggak sengaja, Bang,” ujar Arlo gugup, cadelnya terdengar jelas.
Tanpa peringatan,
"Plakk!!"
Dante menampar pipi Arlo hingga anak itu terjatuh ke lantai. Pecahan kaca menyayat telapak tangannya, tapi Dante tidak peduli.
“Bodoh! Apa pun yang kau sentuh pasti berakhir rusak. Kau itu cuma pembawa sial!”
Arlo menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Tapi air matanya tetap jatuh, membasahi pipinya yang merah karena tamparan.
---
"Beban yang Tak Adil"
Sejak kecil, Arlo selalu dibebani pekerjaan berat yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang anak. Ia membersihkan kamar-kamar mewah, menyikat lantai hingga mengkilap, bahkan mencuci mobil keluarga.
Di hari yang lain, Marco memanggilnya ke dapur.
“Arlo, bersihkan kompor ini sampai kinclong. Gw nggak mau lihat setitik pun noda!” perintahnya dengan nada tinggi.Arlo hanya mengangguk, menunduk, dan mulai bekerja. Tangannya yang kecil tergores oleh sikat logam yang dipakainya untuk membersihkan kotoran membandel, tapi ia tidak berani mengeluh.
Saat makan malam, Arlo tidak pernah diizinkan duduk di meja makan bersama keluarga. Ia hanya bisa makan di dapur, sendirian. Sepiring kecil nasi dingin dan sayuran sisa menjadi makanannya hampir setiap hari.
---
"Hujan Cacian"
Abang-Abangnya sering melontarkan kata-kata kasar yang semakin melukai hati Arlo.
“Kau nggak lebih dari sampah di rumah ini!” kata Rico suatu hari ketika melihat Arlo terjatuh saat membawa tumpukan buku untuknya.
“Kau tahu kenapa Ibu nggak ada di sini? Karena kau! Kau yang bikin kami kehilangan dia!” ujar Dante dengan penuh kebencian.
Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepala Arlo, menambah luka di hatinya yang sudah penuh dengan rasa sakit.
---
"Harapan yang Selalu Pupus"
Meski diperlakukan seperti itu, Arlo masih mencoba mencari perhatian dan kasih sayang dari keluarganya.
Suatu sore, ia membuat gambar sederhana menggunakan krayon murahan yang ditemukan di kamar pembantu. Gambar itu adalah potret keluarga mereka, lengkap dengan dirinya yang berdiri di tengah sambil tersenyum.
Dengan hati-hati, ia menyerahkan gambar itu kepada Luciano, Papanya.
“Papa... ini buat Papa,” katanya, berharap mendapatkan pujian.Luciano hanya melirik gambar itu, lalu meremasnya tanpa sedikit pun emosi. Ia melempar kertas itu ke lantai, lalu berkata,
“Jangan ganggu saya dengan omong kosong ini.”Arlo menatap kertas yang diremas itu dengan mata berkaca-kaca. Gambar yang ia buat dengan susah payah kini hanya menjadi sampah di lantai.
---
Malam itu, Arlo duduk di kamarnya yang kecil, memeluk boneka tua pemberian ibunya sebelum ia lahir. Boneka itu satu-satunya benda yang membuatnya merasa dekat dengan ibunya.
“Tuhan... kenapa Lio dilahilkan kalau cuma bikin semua orang benci?” bisiknya lirih.
Ia memejamkan mata, berharap hari esok akan lebih baik. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu, tak ada yang akan berubah.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI"
ActionArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...