Malam di mansion Salvatici terasa sunyi. Angin dingin berhembus di luar, menggoyangkan dedaunan pohon tua yang mengelilingi properti keluarga itu. Arlo duduk di tepi ranjangnya, memandangi secarik kertas tua yang sudah mulai menguning. Itu adalah gambar yang ia buat saat kecil, gambar keluarganya yang ia coret-coret dengan crayon warna-warni.
Di gambar itu, semua orang tersenyum. Dante, Marco, Rico, ayahnya, dan ibunya. Namun, yang membuat matanya berkaca-kaca adalah sosok dirinya yang ia gambar kecil di pojok, berdiri sedikit terpisah dari yang lain. Bahkan di usia kecil, ia tahu ada jarak yang tidak bisa ia hilangkan.
Ketukan di pintu membuyarkan pikirannya. "Lio, boleh aku masuk?" Suara Rico terdengar dari balik pintu.
Arlo menghela napas. "Masuk saja."
Rico membuka pintu perlahan, menatap Arlo dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia membawa segelas susu hangat, sesuatu yang dulu tidak pernah ia lakukan. "Abang pikir kau mungkin butuh ini," katanya sambil meletakkan gelas di meja kecil di samping Arlo.
Arlo menatap Rico, merasa aneh dengan perubahan sikap abangnya itu. "Apa yang sebenalnya kalian coba lakukan, bang Rico?" tanyanya, suaranya penuh kebingungan. "Kenapa tiba-tiba kalian peduli?"
Rico duduk di kursi dekat ranjang Arlo, wajahnya penuh dengan rasa bersalah. "Karena kami sadar, Lio. Kami sadar bahwa kami salah selama ini. Kami terlalu sibuk dengan Amarah dan kebencian kami sendiri dan tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana perasaanmu."
Arlo terdiam, menunduk menatap gambar di tangannya. "Tapi kenapa balu sekalang? Setelah semua yang sudah terjadi?"
Rico mengusap wajahnya, tampak kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. "Mungkin karena kami terlalu bodoh untuk melihatnya lebih awal. Tapi aku tahu itu bukan alasan. Kami ingin memperbaikinya, Lio. Abang ingin memperbaikinya. Abang tahu Abang adalah abang yang buruk, tapi abang tidak ingin kehilanganmu."
Arlo memejamkan mata, mencoba menahan emosi yang meluap. "Lio... Lio butuh waktu untuk mempelcayai kalian lagi. Lio tidak bisa begitu saja melupakan semuanya."
Rico mengangguk pelan. "Abang mengerti. Kami tidak akan memaksamu. Tapi kami akan terus berusaha, Lio. Karena kau bagian dari keluarga ini, dan kami mencintaimu, meskipun kami terlalu bodoh untuk menunjukkannya sebelumnya."
Arlo tidak menjawab, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai mencair.
---
Di luar kamar, Luciano berdiri di ujung lorong, mendengar percakapan anak-anaknya dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa semua ini adalah akibat dari kegagalannya sebagai seorang papa. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memperbaikinya, meskipun ia harus bekerja keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan putranya.
Luciano melangkah ke ruang kerjanya, tempat Dante dan Marco sudah menunggu. Wajah mereka tampak serius, seperti tengah merencanakan sesuatu yang besar.
"Apa kita sudah mendapatkan kabar tentang pergerakan keluarga Moretti?" tanya Luciano, duduk di kursinya.
Dante mengangguk. "Mereka tampaknya merencanakan sesuatu, tapi kami belum tahu apa. Namun, ini jelas berkaitan dengan Arlo."
Luciano mengepalkan tangannya. "Papa tidak akan membiarkan mereka menyentuh Arlo lagi. Papa sudah gagal melindunginya sekali. Papa tidak akan gagal lagi."
Marco menambahkan, "Kita harus meningkatkan pengamanan di sekitar mansion. Aku juga akan menugaskan beberapa orang untuk mengawasi pergerakan mereka secara diam-diam."
Luciano mengangguk. "Lakukan apa pun yang perlu. Keluarga Moretti tidak akan mendapat kesempatan kedua kalinya untuk menyakiti anakku."
---
Sementara itu, Arlo duduk di taman belakang, ditemani Elias yang membawa buku tebal di tangannya. Elias membacakan cerita dari buku itu dengan suara pelan, mencoba mengalihkan pikiran Arlo dari semua masalah yang ada.
"Lio, kau tahu? Dalam setiap cerita, selalu ada bagian yang sulit, bagian di mana segalanya terasa gelap. Tapi selalu ada cahaya di ujung jalan itu," kata Elias sambil menutup buku itu.
Arlo tersenyum tipis. "Kau selalu punya kata-kata yang tepat, bang Lias."
Elias mengangkat bahu, lalu menatap Arlo dengan serius. "Karena aku percaya kau adalah cahaya itu, Lio. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri."
Malam itu, Arlo merasa sedikit lebih tenang. Meskipun luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Ada orang-orang yang peduli padanya, yang ingin melihatnya bahagia. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa mungkin ada harapan untuk keluarganya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI"
ActionArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...