Pagi itu, di mansion Salvatici, keheningan mulai menghilang begitu Lio membuka matanya. Matahari sudah mulai terbit, dan sinarnya yang lembut menembus tirai kamar, menyoroti wajah kecilnya yang penuh kebahagiaan. Tentu saja, karena hari ini Lio punya rencana besar lagi.
Lio melompat turun dari tempat tidurnya dan berlari keluar kamar, menuju ruang tengah dengan langkah-langkah kecil yang ceria. Namun, di ruang tengah, ia mendapati sesuatu yang berbeda.
"Bang, Bang Elias! Bang Marco!" serunya.
Elias dan Marco, yang sedang duduk di sofa dengan mata masih setengah terpejam, menoleh ke arah Lio. "Ada apa, Lio?" tanya Marco setengah mengantuk.
Lio tersenyum lebar, lalu menunjuk ke arah jendela besar yang menghadap taman. “Lihat, Bang! Lio mau bikin kejutan!”
Mereka berdua mengikuti arah jari Lio dan melihat sebuah benda besar yang terparkir di halaman depan rumah.
"Mobil!" seru Lio dengan ceria.
"Mobil? Lio, itu mobil mainan atau mobil beneran?" tanya Elias dengan heran.
Lio memegang tangan Elias dan mengajaknya keluar rumah. "Lio nggak bohong! Itu mobil beneran!"
Setelah sampai di luar, mereka pun menyadari bahwa itu adalah mobil baru yang besar dan sangat mewah—mobil klasik yang sepertinya baru saja dibeli oleh Papa Luciano.
“Wow…” Marco terperangah. “Ini mobil beneran.”
“Tentu saja, kalian pikir ini apa? Lio punya rencana besar, Bang. Lio mau bawa mobil ini ke sekolah!” kata Lio dengan percaya diri.
Mendengar itu, Elias langsung tertawa. “Sekolah? Kamu kan masih kecil, Lio. Itu mobil terlalu besar buat kamu.”
“Tapi kan Lio kan punya SIM!” Lio menjawab dengan yakin. “Lio punya SIM kalau Lio bisa bawa mobil sendiri!”
Marco terkikik, tidak bisa menahan tawa. “Tunggu, tunggu. Lio, kamu belajar bawa mobil kapan? Aku nggak ingat pernah ajarin kamu.”
“Gini aja deh,” kata Lio sambil menyeringai nakal. “Lio jadi sopir pribadi kalian. Gimana? Abang-abang boleh duduk belakang, terus Lio yang bawa mobilnya!”
Elias menggelengkan kepala, tapi tidak bisa menahan senyum. “Aduh, anak ini. Kalau kamu bawa mobil, pasti lebih bahaya daripada lucu.”
Mereka semua tertawa, dan tiba-tiba saja, Papa Luciano keluar dari dalam rumah dengan senyum lebar. “Ada apa di sini, anak-anak? Kok ribut banget pagi-pagi?”
“Papa! Papa! Lio udah punya mobil baru! Lio mau bawa mobil itu ke sekolah!” Lio berlari menghampiri Papa Luciano dengan ekspresi penuh semangat.
Papa Luciano menatap Lio dengan tatapan geli. “Mobil ini bukan buat mainan, Lio. Ini mobil keluarga. Tapi kalau kamu terus begini, Papa nggak akan heran kalau Lio nanti bisa jadi sopir yang hebat.”
“Boleh, Papa?” tanya Lio penuh harap.
Papa Luciano tersenyum. “Nanti Papa pikirkan dulu, ya. Tapi kalau kamu mau belajar, Papa bisa ajarin. Nanti kamu latihan dulu di halaman, baru deh bisa bawa mobil yang sesungguhnya.”
Lio melompat kegirangan. “Lio janji nggak bikin mobilnya rusak, Papa! Lio janji!”
---
Malam Hari
Setelah hari yang penuh tawa dan kehebohan, malam pun tiba. Lio masih tidak bisa berhenti membicarakan tentang mobil dan rencananya untuk bisa bawa mobil ke sekolah. Tapi malam ini, ada hal lain yang menarik perhatian Lio.
“Bang Elias, Bang Malco, Bang Lico!” seru Lio. “Lio mau kasih kejutan!”
Elias, yang sedang duduk di kursi sambil membaca buku, menoleh ke arah Lio yang terlihat sibuk menyiapkan sesuatu di meja makan. “Kejutan apa, Lio?”
Lio tersenyum lebar. “Lio mau masak makan malam! Lio jadi chef!”
“Aduh…” Marco mendengus, “Boleh banget sih, Lio, tapi hati-hati ya, jangan sampai ada yang kebakar.”
Lio menatapnya dengan penuh percaya diri. “Lio bisa kok, Bang! Lio udah nonton resep di YouTube!”
Mereka semua mengamati Lio yang sedang sibuk dengan bahan makanan. Tapi saat mereka melihat Lio menyiapkan panci, mereka mulai khawatir.
“Lio, itu terlalu panas, hati-hati!” teriak Elias.
Namun, sebelum semuanya semakin kacau, Lio justru tersenyum ceria. “Jangan khawatir, Bang! Lio cuma bikin mi instan!”
“Buat kejutan, ya?” tanya Rico sambil tertawa.
“Buat abang-abang,” jawab Lio sambil mengaduk mie di dalam panci, “Supaya kalian nggak kelaparan!”
Setelah makan malam yang sederhana, tapi penuh tawa, Lio akhirnya tertidur dengan lelap di samping Elias. Dengan senyum di wajahnya, Elias mengusap kepala Lio yang tertidur di lengannya. “Kamu memang bener-bener penuh kejutan, Lio.”
Elias tersenyum, merasa semakin dekat dengan adik bungsunya.
---
Begitu banyak kejutan dan kenakalan dari Lio, keluarga Salvatici tak pernah merasa sepi. Mereka merasa semakin kuat, semakin dekat. Terutama karena Lio, anak bungsu mereka yang ceria dan penuh semangat, selalu berhasil membuat hari-hari mereka lebih berwarna.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI"
ActionArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...