Arlo melangkah keluar dari ruang tamu, meninggalkan keluarganya yang menatapnya dengan perasaan penuh penyesalan. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seperti ada beban yang tak bisa ia lepaskan. Ketika ia menutup pintu rumah di belakangnya, sebuah perasaan kosong menyelimuti hatinya. Semua yang terjadi, semua yang telah ia alami, rasanya tak ada yang bisa mengubahnya lagi. Keluarganya ingin memperbaikinya, tapi kata-kata itu terlalu terlambat untuk bisa memperbaiki semuanya.
Ia berjalan dengan langkah pelan, tubuhnya yang masih lelah terasa semakin berat. Setiap bayangan tentang masa lalu muncul dalam pikirannya, kenangan pahit yang tak bisa ia buang begitu saja. Namun, meskipun hati Arlo terasa hancur, ia tahu satu hal—ia tidak bisa kembali lagi ke kehidupan yang penuh luka itu.
Tak jauh dari rumah, ia berhenti sejenak. Matanya menatap langit malam yang gelap, seolah mencari jawaban atas semua kebingungannya. Di sinilah ia berdiri, terperangkap antara rasa sakit masa lalu dan ketidakpastian masa depan. Ia bisa mendengar suara-suara dari rumahnya yang masih mengusik pikirannya, suara tangisan atau mungkin sesalan yang terlambat.
"Arlo..."
Suara itu terdengar samar, namun Arlo tahu itu suara dari belakangnya. Tanpa menoleh, ia sudah tahu siapa yang memanggilnya. Luciano, ayahnya. Arlo tak ingin menatap wajah itu lagi. Ia merasa hatinya terlalu rapuh untuk menerima lebih banyak penyesalan.
"Lio , kami menyesal. Kami tidak tahu seberapa banyak kamu sudah menderita."
Arlo mengerutkan dahi. Kata-kata itu, meski penuh dengan penyesalan, tidak bisa menghapus semuanya. Ia merasa bingung, marah, dan terluka. "Kalian menyesal sekalang? Setelah semuanya teljadi?" jawab Arlo dengan suara yang bergetar, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Kalian semua... Sudah tellambat."
Luciano terdiam, mencoba mencari kata-kata yang bisa meyakinkan Arlo, tapi tidak ada yang bisa ia katakan. Dante, Marco, dan Rico juga ikut mendekat, wajah mereka penuh penyesalan, namun Arlo merasa itu tidak cukup.
"Kami ingin memperbaiki hubungan ini, Lio. Tolong beri kami kesempatan." Dante berbicara, nada suaranya penuh harap.
Arlo menggigit bibirnya. Ia tahu kata-kata mereka tidak bisa menghapus semua luka. "Kalian sudah tellalu lama membuat aku mendelita, dan sekalang kalian ingin aku kembali hanya dengan kata-kata manis kalian itu?" Arlo menjawab, kecewa. "Aku bukan sekadal pelmainan yang bisa diubah dengan ucapan manis."
Ia bisa melihat kesedihan di mata mereka, tapi hatinya sudah terlalu keras untuk menerima. "Aku butuh waktu. Kalian tak bisa memaksaku untuk segela memaafkan," kata Arlo tegas, suara yang penuh perasaan terluka.
Luciano mengangguk, dengan berat hati menerima kenyataan. "Kami akan menunggumu, Lio. Apapun itu, kami akan menunggu," jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Arlo menatap mereka untuk terakhir kalinya, rasa sakit di hatinya semakin menekan. "Kalian halus membuktikannya, jika kalian benal-benal ingin mempelbaiki semuanya," jawab Arlo sebelum berbalik, melangkah meninggalkan mereka.
Ketika langkah Arlo semakin menjauh, ia merasa seperti meninggalkan bagian dari dirinya yang sudah lama terkubur dalam kenangan buruk itu. Namun, ia tahu satu hal—ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Keluarganya mungkin menyesal, namun baginya, perjalanan ini adalah perjalanan yang harus dijalani sendiri.
Langkah Arlo terus melaju, semakin menjauh dari keluarganya yang menyesal. Ia tidak tahu ke mana akan pergi, namun ia merasa bahwa apapun yang ia pilih, itu akan lebih baik daripada kembali ke kehidupan yang selama ini hanya memberinya luka.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI"
AçãoArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...