Bab 3: Kegelapan yang Mengintai

22 0 0
                                    

Usia sepuluh tahun seharusnya menjadi masa bermain dan penuh kebahagiaan bagi seorang anak. Tapi bagi Arlo Salvatici, hidup adalah mimpi buruk yang terus menghantui. Setiap hari, ia menghadapi tamparan, cacian, dan perlakuan dingin dari keluarga yang seharusnya melindunginya.

---

"Cacian Tanpa Henti"

Pagi itu, suara langkah kaki yang berat terdengar menggema di lorong mansion. Rico masuk ke kamar Arlo dengan pintu yang dibuka kasar.

"Bam!"

“Arlo! Cepat bangun! Gw nggak mau lihat Lo tidur sampai siang!” serunya sambil menarik selimut dari tubuh Arlo.

Arlo terbangun dengan mata yang masih setengah terpejam.
“T-tapi ini balu jam enam, Bang,” jawabnya pelan, suaranya penuh rasa takut.

Rico tidak peduli. Ia mencengkeram kerah baju Arlo dan menariknya turun dari tempat tidur.
“Lo pikir Lo siapa? Anak manja yang bisa bangun sesuka hati? Lo itu cuma pembantu di rumah ini!” bentaknya sambil mendorong Arlo ke lantai.

Arlo meringis kesakitan, tapi ia tidak berani melawan. Dengan cepat, ia bangkit dan berjalan ke dapur untuk memulai pekerjaannya.

---

"Pukulan yang Menyakitkan"

Saat sore tiba, Arlo sedang membersihkan ruang tamu sesuai perintah Abangnya. Namun, ketika ia sedang mengepel lantai, Dante datang membawa segelas kopi.

“Hei, Arlo! Ambilkan Gw koran di meja itu,” perintahnya sambil menunjuk meja di sudut ruangan.

Arlo buru-buru bangkit dan berjalan ke arah meja. Tapi karena tergesa-gesa, ia tidak sengaja menyenggol gelas kopi Dante, yang tumpah ke lantai.

“Anjing ! Apa yang Lo lakuin?” seru Dante dengan marah. Ia langsung menarik Arlo dan menampar wajahnya dengan keras.

"Plakk!"

“Lio... maaf, Bang... Lio nggak sengaja,” ujar Arlo dengan suara bergetar.

“Semua yang Lo lakukan itu selalu nggak sengaja! Lo cuma bikin masalah tau ngak anjing!” Dante menendang ember air yang ada di dekat Arlo, membuat airnya tumpah ke seluruh lantai.

Arlo hanya bisa menangis pelan sambil menghapus noda kopi dan air di lantai.

---

"Kesepian yang Mendalam"

Malam itu, Arlo duduk sendirian di dapur setelah menyelesaikan pekerjaannya. Perutnya lapar karena ia belum makan sejak pagi, tapi tidak ada yang peduli.

Ia mencoba membuka lemari dapur untuk mencari makanan, tapi yang ada hanya beberapa sisa roti yang sudah keras. Dengan pelan, ia memakan roti itu sambil memikirkan hidupnya yang penuh kesedihan.

Ia teringat ibunya, Elena, yang selalu diceritakan sebagai wanita baik hati.
“Kalau Ibu masih ada, apakah semuanya akan belbeda?” gumamnya sambil memegang boneka tua yang selalu ia bawa ke mana-mana.

---

"Mimpi yang Tidak Pernah Datang"

Di kamar kecilnya, Arlo memandang langit-langit sambil terbaring di atas kasur yang tipis. Air mata mengalir di pipinya, membasahi bantal.

“Lio nggak tahu kenapa meleka begitu benci sama Lio,” bisiknya lirih.

Di tengah malam yang sunyi, suara langkah kaki terdengar dari luar kamarnya. Itu suara Luciano, Papanya. Dengan gugup, Arlo bangkit dan membuka pintu. Tapi Luciano hanya melewati kamarnya tanpa melirik sedikit pun.

Arlo berdiri di ambang pintu, menatap punggung ayahnya yang semakin menjauh.
“Papa...” panggilnya pelan, tapi Luciano tidak berhenti.

---

Hari-hari Arlo terus berjalan dalam kesepian dan penderitaan. Perlakuan buruk dari Abang-abangnya dan sikap acuh tak acuh Papanya membuat luka di hatinya semakin dalam.

Di sudut kecil hatinya, ia masih berharap ada cinta yang tersisa di keluarga ini untuknya. Tapi harapan itu semakin memudar dengan setiap tamparan, setiap caci maki, dan setiap malam yang dihabiskan sendirian.

“Kalau Lio hilang, apakah meleka akan peduli?”

"ARLO  SALVATICI"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang