Hujan deras mengguyur mansion megah keluarga Salvatici malam itu. Petir menyambar langit, seolah alam ikut merasakan kegelisahan yang menyelimuti rumah itu. Di salah satu kamar, suara tangis bayi menggema. Bayi laki-laki yang baru saja lahir menangis kencang, mencoba menghirup udara dunia yang baru dikenalnya.
Namun, malam yang seharusnya menjadi momen bahagia itu berubah menjadi tragedi. Elena Salvatici, ibu dari bayi itu, menghembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan. Dokter menundukkan kepala, memberi tahu Luciano Salvatici bahwa istrinya tidak berhasil selamat.
Luciano, yang sebelumnya adalah pria penuh kasih sayang, hanya berdiri terpaku di samping ranjang istrinya. Wajahnya berubah dingin, tanpa ekspresi. Ia menatap bayi kecil di pelukan perawat dengan tatapan penuh kebencian.
“Dia... yang membunuh Elena,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk meninggalkan kesan mendalam.
---
"Bayi yang Tak Diinginkan"
Arlo diberi nama sesuai keinginan terakhir Elena. Nama itu indah, namun tak pernah diucapkan dengan penuh kasih. Luciano tidak pernah memeluk atau menatap bayi itu dengan kebanggaan seorang ayah. Semua perawatan Arlo diserahkan sepenuhnya pada para pembantu.
Ketika Arlo menangis tengah malam, tidak ada yang menghampirinya. Luciano hanya mengerutkan kening dari kamarnya, memanggil salah satu pembantu dengan suara keras.
“Diamkan anak sialan itu! Aku ingin tidur!”Tak jarang, pembantu yang menjaga Arlo pun ikut jengkel karena mereka tahu betapa tidak disukainya anak itu. Mereka memberi makan dan mengganti popoknya dengan terpaksa, tanpa kasih sayang.
---
"Tahun-Tahun Awal yang Sepi"
Arlo tumbuh menjadi anak kecil dengan mata besar yang ceria, meskipun hidupnya dipenuhi kesepian. Di usianya yang baru tiga tahun, ia sudah bisa merasakan bahwa dirinya tidak diterima.
Ia sering duduk di sudut ruangan, memainkan boneka kecil hadiah dari salah satu pembantu yang merasa kasihan. Sementara itu, kakak-kakaknya—Dante, Marco, dan Rico—bermain di halaman, tertawa lepas tanpa pernah mengajak Arlo bergabung.
“Kenapa aku nggak boleh main sama mereka?” tanyanya polos pada salah satu pembantu.
Pembantu itu hanya menghela napas. “Karena kamu beda, Nak.”
Jawaban itu membuat Arlo bingung, tapi ia tidak pernah bertanya lagi.
---
"Ulang Tahun yang Pertama"
Pada ulang tahunnya yang pertama, mansion tetap sibuk dengan pesta. Namun, pesta itu bukan untuk Arlo, melainkan untuk merayakan pencapaian bisnis besar keluarga Salvatici.
Arlo hanya dibiarkan di kamar bersama salah satu pembantu, sementara suara musik dan tawa dari lantai bawah menggema di seluruh rumah.
Ketika pesta selesai, Luciano melangkah ke kamar bayi itu untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan. Ia menatap Arlo yang tidur pulas di ranjang kecilnya.
“Anak ini tidak seharusnya ada,” bisiknya, sebelum keluar tanpa menoleh lagi.
---
"Harapan yang Tak Pernah Terkabul"
Di usia lima tahun, Arlo mulai belajar bicara dengan cadel khas anak kecil. Ia sering mencoba berbicara dengan ayah atau kakak-kakaknya, meskipun yang ia terima hanyalah tatapan dingin.
“Yio, Lio bisa nyanyi!” katanya suatu hari pada Dante, kakak tertuanya.
Dante hanya menatap Arlo dengan cemoohan. “Diam, lu itu cuma bikin bising. Pergi sana!”
Arlo menunduk, menggenggam erat bonekanya, dan mundur pelan-pelan.
Ketika ia mencoba membantu Marco membawa buku-buku ke perpustakaan, Marco malah mendorongnya hingga jatuh. Buku-buku itu berserakan di lantai.
“lu mau sok berguna, ya? Dasar anak tidak tahu diri,” ujar Marco sambil berlalu pergi.
---
Di ulang tahunnya yang kelima, Arlo berdiri di dapur, membawa kue kecil buatan pembantu yang merasa kasihan padanya. Ia berjalan ke ruang kerja ayahnya, dengan senyuman kecil di wajahnya.
“Papa... ini buat Papa...” katanya, mencoba menawarkan potongan kue kecil.
Luciano menatapnya dengan dingin.
“Buang itu. Saya tidak butuh apa-apa darimu.”"splatt!!!"
Kue kecil itu jatuh ke lantai, dan hati kecil Arlo ikut hancur. Ia mengambil kue yang jatuh itu dengan tangan kecilnya, memeluknya erat-erat, dan berlari ke kamarnya.
Malam itu, Arlo menangis dalam diam, memeluk boneka kecilnya. Sebelum tidur, ia berbisik,
“Tuhan... aku cuma mau Papa sama Abang suka sama Lio...”Tapi doanya tak pernah terkabul. Ia bangun keesokan harinya dengan hati yang kembali kosong.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI"
AcciónArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...