Hari berlalu dengan cepat, dan meskipun Arlo berusaha untuk tetap fokus pada pencariannya, pikirannya tak bisa sepenuhnya tenang. Ada rasa hampa yang terus mengisi setiap ruang kosong dalam dirinya. Ia merasa seperti seseorang yang terjebak di antara dua dunia: dunia lama yang penuh dengan luka, dan dunia baru yang seharusnya penuh dengan harapan, tetapi masih terhalang oleh ketidakpastian.
Pada suatu sore yang cerah, saat Arlo berjalan tanpa tujuan di jalan yang ramai, langkahnya berhenti secara tiba-tiba. Di depan sebuah kafe kecil, matanya tertuju pada sosok yang tak asing baginya. Itu adalah Elias. Arlo menatapnya dari kejauhan, dan detak jantungnya seakan berhenti sejenak. Elias terlihat sedang duduk sendirian di meja luar, menatap secangkir kopi yang setengah penuh dengan tatapan kosong.
Arlo merasa bingung. Ia tak tahu apakah harus mendekat atau justru pergi dari situ. Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, Elias sudah melihatnya. Dengan senyuman tipis yang muncul di wajahnya, Elias bangkit dari kursinya dan melangkah mendekat.
"Lio," kata Elias dengan nada lembut, seolah-olah mereka baru saja bertemu setelah lama berpisah.
Arlo terdiam sejenak, merasakan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebahagiaan, ada rasa cemas, dan ada keinginan yang kuat untuk mendekat, namun juga rasa takut yang menghalangi. Akhirnya, ia mengangguk pelan.
"Bang Llias..." suara Arlo hampir tidak terdengar. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Elias tersenyum lebih lebar, mengangkat bahunya sedikit. "Abang pikir, ini saat yang tepat untuk bertemu denganmu. Abang tahu kau sedang mencari sesuatu, Lio, dan Abang ingin ada di sini untukmu. Apapun yang terjadi, kita bisa melewatinya bersama."
Arlo merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata Elias. Rasanya sudah lama ia tidak merasakan ketenangan seperti ini—ada kenyamanan dalam kehadiran Elias, yang bisa membuatnya merasa lebih tenang meskipun semuanya terasa kacau.
"Tapi Lio melasa bingung," kata Arlo, suaranya mulai sedikit lebih tegas. "Lio sudah jauh dali keluarga Lio, dan Lio tahu meleka menyesal, tapi Lio tak tahu apakah Lio bisa kembali. Semua yang meleka lakukan, kata-kata meleka—itu semua telasa kosong."
Elias mendekat, menepuk pelan pundak Arlo. "Abang mengerti, Lio. Tapi, Lio tahu, perasaan seperti itu wajar. Kamu tidak harus memutuskan semuanya sekarang juga. Ambil waktu, pertimbangkan dengan hati-hati, dan yang terpenting, dengarkan dirimu sendiri. Mereka mungkin menyesal, tapi Lio tidak harus memaksa untuk memaafkan hanya karena mereka meminta maaf."
Arlo menatapnya, merasa sedikit lega. Ada sesuatu dalam kata-kata Elias yang menyentuh hatinya. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia merasa bisa menerima kenyataan bahwa ia tidak harus melakukan apapun yang belum siap untuk ia lakukan.
"Telima kasih, Bang Lias," ujar Arlo, kali ini lebih tulus. "Lio tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi Lio tahu satu hal—Lio ingin melakukan ini dengan bang lias."
Elias tersenyum hangat, wajahnya penuh dengan kepercayaan. "Abang akan selalu ada untukmu, Lio. Kita akan menghadapi semuanya bersama."
Mereka berdua duduk di meja kafe itu, membiarkan suasana yang tenang mengelilingi mereka. Tidak ada kata-kata lebih yang diperlukan. Kadang, kehadiran seseorang yang mengerti sudah cukup untuk memberikan rasa aman.
Namun, meskipun pertemuan ini memberikan sedikit kedamaian, Arlo tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Ia masih harus mencari jawabannya, dan mungkin, di akhir perjalanan itu, ia akan menemukan apa yang benar-benar ia cari.
Saat matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi, Arlo merasa untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada sedikit harapan di dalam hatinya. Sesuatu yang mungkin bisa membawa kedamaian bagi dirinya, sesuatu yang mungkin datang dari tempat yang paling tak terduga.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI"
ActionArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...