Hari-hari bersama Elias semakin memperlihatkan kepada Arlo bahwa hidup tidak selalu gelap. Meskipun luka masa lalunya masih belum sembuh, ia mulai menemukan kenyamanan yang baru. Elias, dengan sabarnya, menjadi tempat berlindung yang selalu ada untuk Arlo, bahkan di saat-saat sulit.
---
"Keseharian yang Membahagiakan"
Pagi itu, Arlo dan Elias sibuk menanam sayuran di pekarangan kecil di belakang rumah. Elias sengaja mengajak Arlo untuk lebih banyak melakukan aktivitas luar ruangan, agar pikirannya bisa teralihkan dari kesedihan yang masih sering menghantuinya.
“Lio, coba tanam bibit ini di lubang yang abang bikin,” ujar Elias sambil menyerahkan beberapa biji wortel.
Arlo mengangguk dan segera menanam biji-biji itu dengan hati-hati. Ia melirik Elias, yang tengah mencangkul tanah dengan santai. “Bang, kenapa abang baik banget sama Lio?” tanyanya tiba-tiba.
Elias berhenti mencangkul dan tersenyum lembut. “Karena kamu adik abang. Abang nggak mau kamu merasa sendirian lagi, Lio.”
Mendengar jawaban itu, Arlo terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. Meski hatinya masih menyimpan rasa ragu, ia merasa sedikit lebih ringan.
---
"Kenangan yang Sulit Dilupakan"
Namun, tidak setiap hari berjalan dengan mulus. Malam itu, ketika Elias pulang dari pasar, ia menemukan Arlo duduk sendirian di sudut ruangan, menangis tanpa suara.
Hiks hiks!"
“Lio, kenapa kamu nangis?” tanya Elias dengan nada khawatir.
Arlo mengusap matanya dengan cepat, berusaha menyembunyikan air matanya. “Lio cuma... inget lumah,” jawabnya pelan.
Elias duduk di sebelah Arlo dan merangkul bahunya. “Inget keluarga Lio?”
Arlo mengangguk kecil. “Iya. Tapi bukan kalena Lio kangen meleka. Lio cuma... nggak ngerti kenapa mereka benci sama Lio, Bang. Lio nggak pernah salah apa-apa.”
Elias menghela napas panjang. Ia tahu betapa dalam luka yang Arlo bawa. “Lio, terkadang orang nggak sadar apa yang mereka punya sampai mereka kehilangan itu. Mungkin keluarga Lio belum sadar betapa berharganya Lio.”
“Tapi... Lio udah capek, Bang. Lio nggak mau pulang lagi,” ujar Arlo dengan suara yang bergetar.
Elias mengusap kepala Arlo dengan lembut. “Lio nggak perlu buru-buru memutuskan apa pun. Yang penting sekarang, Lio aman di sini. Kalau ada apa-apa, abang ada buat Lio.”
---
"Sebuah Pelajaran Penting"
Di tengah kesedihan itu, Elias tetap berusaha mengajarkan hal-hal baru kepada Arlo. Suatu sore, ia membawa Arlo ke tempat pelatihan seni bela diri.
“Bang, kenapa kita ke sini?” tanya Arlo penasaran.
“Abang mau kamu belajar bela diri. Biar kamu bisa jaga diri kalau ada yang ganggu,” jawab Elias.
Awalnya, Arlo merasa canggung. Tubuh kecilnya terlihat rapuh dibandingkan anak-anak lain di tempat itu. Tapi Elias terus menyemangatinya.
“Lio, nggak apa-apa kalau kamu nggak langsung bisa. Yang penting kamu coba,” ujar Elias sambil tersenyum.
Dengan bimbingan Elias dan pelatih, Arlo perlahan-lahan mulai belajar dasar-dasar bela diri. Setiap kali ia berhasil melakukan gerakan, Elias selalu memberi pujian, membuat Arlo merasa dihargai.
---
"Momen Kebersamaan yang Berharga"
Malam itu, setelah sesi latihan yang melelahkan, mereka berjalan pulang sambil membawa jajanan favorit Arlo.
“Bang, kalau Lio lebih kuat nanti, Lio mau jagain abang juga,” ujar Arlo sambil menggigit roti isi yang dibelikan Elias.
Elias tertawa kecil. “Wah, abang pasti bangga kalau Lio bisa jagain abang. Tapi abang harap kamu nggak perlu sering-sering pakai bela diri itu.”
“Kenapa?”
“Karena abang lebih suka lihat kamu senyum daripada marah atau bertarung.”
Arlo tertawa kecil, meski ia tahu ada kebenaran dalam kata-kata Elias.
---
"Berkah dalam Kesederhanaan"
Malam itu, setelah makan malam, Arlo duduk di pangkuan Elias sambil mendengarkan cerita-cerita lucu dari masa kecil Elias.
“Bang Elias, Lio pengen tahu... dulu abang pelnah ngelasa kayak Lio nggak?”
Elias terdiam sejenak sebelum menjawab, “Abang dulu juga pernah ngerasa sendirian. Tapi waktu itu abang janji sama diri sendiri, kalau suatu saat abang punya keluarga, abang nggak akan biarin mereka ngerasa kayak gitu.”
Arlo memandang Elias dengan mata berbinar. “Jadi abang anggap Lio keluarga, ya?”
Elias tersenyum dan memeluk Arlo erat. “Kamu lebih dari keluarga, Lio. Kamu adik yang abang nggak pernah punya, dan abang nggak akan biarin siapa pun sakitin kamu lagi.”
Dalam pelukan itu, Arlo merasa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar berharga bagi seseorang.
---
"Arah yang Baru"
Meskipun bayangan masa lalunya belum sepenuhnya hilang, kehidupan bersama Elias memberikan Arlo harapan baru. Hari-hari yang ia lalui mungkin sederhana, tapi bagi Arlo, itu sudah cukup untuk membuatnya percaya bahwa hidup masih memiliki sisi indah yang bisa ia nikmati.
KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI"
AçãoArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...