Bab 5: Titik Terendah

25 0 0
                                    

Hari demi hari, Arlo semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan di tempat yang seharusnya menjadi rumah. Setiap sudut mansion itu menjadi penjara yang memperburuk keadaannya, dan kebencian dari keluarganya semakin terasa di setiap langkahnya.

"Kehilangan Harapan"

Pagi itu, Arlo terbangun lebih awal dari biasanya. Tangannya yang masih terasa pegal setelah semalaman bekerja di taman, ia mencoba bangkit dari tempat tidurnya yang sempit dan mulai melanjutkan pekerjaannya. Kembali membersihkan rumah yang kotor, menyapu, mengepel, dan melakukan semua pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh para pelayan, bukan seorang anak yang masih berusia 10 tahun.

Tapi entah kenapa, pagi itu terasa lebih berat. Mata Arlo terasa sangat lelah, dan hatinya penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Ketika ia selesai membersihkan seluruh rumah, ia duduk sejenak di tangga, memandangi pemandangan taman yang luas dari balik jendela besar.

Tiba-tiba, Dante muncul di ambang pintu, wajahnya terlihat kesal. “Lo ngapain di sini? Ada banyak pekerjaan lain yang harus Lo selesaikan.”

Arlo menunduk, menggigit bibirnya. Ia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya. "Lio... Lio hanya lelah," jawabnya dengan suara bergetar.

“Lelah? Siapa yang peduli kalau Lo lelah? Tidak ada gunanya punya anak seperti Lo.Lo itu cuman menyusahkan tau ngak,
cihh buang-buang waktu gw doang!” Dante melemparkan kata-kata kasar itu dengan suara penuh kebencian.

Arlo memejamkan matanya, berusaha menahan tangis yang sudah tidak bisa ditahan lagi. “Kenapa Lio selalu salah di mata kalian?” gumamnya, hampir tak terdengar.

Dante tidak peduli, ia langsung menarik lengan Arlo dengan kasar dan memaksanya bangun. "Lakukan pekerjaan Lo dengan benar, atau Gw  akan buat hidup Lo lebih buruk lagi!"

---

"Rasa Cemas yang Menghantui"

Hari itu berjalan seperti biasa, penuh dengan pekerjaan yang melelahkan dan perlakuan buruk dari keluarganya. Namun, di dalam hatinya, Arlo merasa ada sesuatu yang berubah. Ia mulai merasakan bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi jika terus berada di tempat ini. Semua perlakuan buruk yang ia terima sudah tidak bisa ditanggung lagi.

Ia seringkali mengingat ibunya, Elena. Sosok yang dulu selalu memeluknya dengan penuh kasih sayang, yang selalu menenangkan hatinya saat ia menangis. Namun, setelah ibunya meninggal saat ia masih bayi, Arlo merasa seperti tidak ada lagi orang yang benar-benar mencintainya. Ia terperangkap dalam kebencian keluarganya, dan semakin lama, semakin merasa bahwa dirinya tidak berarti apa-apa bagi mereka.

Dengan perasaan yang semakin cemas dan takut, Arlo melangkah ke luar rumah, menyusuri taman besar yang sepi. Di sana, ia merasa sedikit lega meski hati dan pikirannya masih kacau.

---

"Keputusan yang Tak Terbalikkan"

Malam itu, ketika seluruh keluarga berkumpul di ruang makan, Arlo kembali merasakan adanya jarak yang begitu besar di antara mereka. Mereka tidak pernah peduli padanya, dan kini, ia mulai merasa bahwa ia sudah tidak punya tempat lagi di sana.

Ia mendengar ayahnya, Luciano, berbicara dengan kasar kepada Dante tentang urusan bisnis keluarga, tanpa menyadari betapa kesepian dan terluka hati Arlo. Semua percakapan itu terasa seperti angin yang lewat begitu saja tanpa ada yang memperhatikan dirinya.

Dengan langkah mantap, Arlo keluar dari ruang makan dan menuju ke kamar tidurnya. Ia membuka lemari dan mengambil beberapa pakaian yang bisa ia bawa. Tanpa berpikir panjang, ia menulis secarik pesan di meja belajarnya.

“Lio pelgi. Jangan coba cari Lio lagi .”

Pesan itu ditinggalkan dengan cepat, dan Arlo berjalan keluar rumah tanpa sepatah kata. Ia melangkah menuruni jalan besar yang sepi, dengan satu tujuan: pergi sejauh mungkin dari keluarga yang tak pernah memberinya cinta.

Ia tahu, keputusan ini mungkin akan membuat hidupnya lebih sulit, tapi setidaknya ia bisa merasa bebas, jauh dari rasa sakit yang selama ini ia alami.

---

"Langkah Pertama Menuju Kebebasan"

Arlo berjalan menyusuri jalanan kota yang tak dikenalnya. Jantungnya berdegup kencang, namun ia merasa seolah ada beban berat yang akhirnya terlepas dari pundaknya.

Malam semakin larut, dan Arlo tidak tahu harus pergi ke mana. Yang ia tahu, ia tidak ingin kembali lagi ke mansion yang penuh dengan kebencian itu. Ia ingin mencari tempat yang lebih baik, di mana ia bisa merasa diterima.

Ketika ia mulai merasa lelah, Arlo duduk di bangku taman yang terletak di sisi jalan. Tangannya menggenggam erat boneka ibunya, satu-satunya hal yang mengingatkannya pada kasih sayang yang dulu ia rasakan.

---

"Pertemuan yang Mengubah Segalanya"

Saat itulah ia bertemu dengan seseorang. Seorang pemuda yang lebih tua darinya, yang tampaknya sedang berjalan menyusuri jalan yang sama. Pemuda itu berhenti dan melihat Arlo yang duduk sendiri di taman.

“Hey, kenapa kamu sendirian di sini?” tanya pemuda itu dengan suara lembut.

Arlo terkejut, namun tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam bonekanya lebih erat.

“Jangan khawatir. Aku tidak akan melukai kamu,” kata pemuda itu, mencoba menenangkan Arlo.

Nama pemuda itu adalah Elias. Ia mengulurkan tangan, dan meskipun Arlo merasa ragu, ia akhirnya mengambil tangan Elias, merasa ada rasa aman yang tidak biasa.

Di saat itulah Arlo menyadari, mungkin ada orang yang peduli padanya setelah sekian lama. Seseorang yang tidak menghakimi, seseorang yang bisa melihat lebih dari sekadar anak yang tak berguna.

Elias melihat wajah Arlo yang lelah dan penuh luka. “Kamu nggak sendirian, ya? Aku di sini untuk kamu,” kata Elias dengan senyum tulus.

Arlo tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa sedikit lebih baik. Mungkin ini adalah awal dari kehidupan baru yang lebih baik.

---

"ARLO  SALVATICI"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang