Malam yang telah tiba terasa lebih berat dari biasanya. Gelapnya bukan hanya karena senja, tetapi karena ancaman yang sudah begitu dekat. Keluarga Salvatici yang semula bersiap-siap dalam ruangan utama mansion, kini sudah mulai siap menghadapi kenyataan-peperangan ini sudah tak bisa dihindari lagi.
Setelah percakapan panjang dan penuh strategi di ruang pertemuan, mereka tahu bahwa waktu sudah tiba. Arlo berdiri di dekat jendela besar di ruang tamu, matanya tak lepas dari kegelapan yang mulai menyelimuti halaman mansion. Pemandangan itu menambah ketegangan yang sudah melingkupi hatinya. Ia merasakan detak jantungnya semakin cepat, tubuhnya kaku, tetapi pikirannya tetap fokus.
"Apa yang halus Lio lakukan?" tanya Arlo tanpa menoleh, meskipun suara ketegangan itu jelas terasa di suaranya.
Luciano yang berdiri di dekat pintu masuk menjawab dengan suara tegas, "Kamu tetap di sini, Arlo. Kami yang akan menghadapinya. Jangan khawatir, kami akan menang."
Namun, Arlo tak merasa tenang. Ia tahu ia tidak bisa hanya berdiri dan menunggu. Ini bukanlah saatnya untuk mundur. Ia berbalik, menatap papa dan Abang-abangnya satu per satu. "Lio ikut," kata Arlo, meskipun sedikit ragu. "Lio tak bisa hanya menunggu di sini."
Dante yang berdiri di samping Luciano menatap Arlo dengan tatapan serius. "Arlo, ini bukan pertarungan biasa. Kamu tak tahu apa yang akan kita hadapi. Ini bisa berbahaya."
Tapi Arlo tidak mundur. "Lio tahu apa yang sedang kita hadapi. Lio tak mau hanya menjadi penonton."
Luciano mendalam menatap anak bungsunya, menimbang keputusan dalam hatinya. Akhirnya, ia mengangguk, walaupun dengan hati yang berat. "Baiklah, Arlo. Tapi kamu harus mengikuti perintah kami dan tetap waspada. Kita semua harus bergerak sebagai satu."
Dengan perintah tersebut, seluruh keluarga Salvatici bergerak menuju posisi masing-masing. Arlo, meskipun merasa tak sepenuhnya siap, mengikuti mereka dengan hati yang penuh tekad. Ketegangan semakin terasa saat mereka semua menuju pintu utama, menyiapkan senjata dan alat pertahanan yang mereka miliki.
Di luar, udara malam yang dingin terasa menekan, sementara suara kendaraan yang mendekat makin jelas terdengar. Keluarga Moretti sudah datang. Mereka sudah mengelilingi mansion ini dengan pasukan yang siap menyerbu.
Pintu gerbang besar mansion tergetar saat ledakan pertama mengguncang udara. Suara tembakan segera menyusul, memecah keheningan malam. Keluarga Salvatici bergerak cepat, menuju posisi masing-masing di sepanjang perimeter mansion. Pengawal yang telah disiapkan bertempur dengan pasukan keluarga Moretti yang sudah menyerbu.
"Tunggu sinyal dari luar," ujar Bang Elias kepada Arlo yang berdiri di sampingnya. "Ketika mereka mulai masuk, kita akan menutup jalan keluar. Pastikan tidak ada yang melarikan diri."
Arlo mengangguk, meskipun matanya tidak bisa berpaling dari keributan yang sudah terjadi di luar. Ia bisa melihat siluet-siluet yang berlari di antara pepohonan, suara langkah berat yang semakin dekat. Semua itu terasa begitu nyata-terlalu nyata.
Di tengah ketegangan itu, suara tembakan semakin deras. Salah satu pengawal keluarga Salvatici terjatuh di tengah jalan, darah mengalir deras dari tubuhnya. "Mereka sudah hampir di sini!" teriak Rico dari jarak jauh, menyuarakan peringatan.
Luciano, yang sudah berada di depan, mengangkat senjatanya dengan tegas. "Kita harus melawan, apapun yang terjadi. Jangan beri mereka kesempatan."
Sementara itu, Dante dan Marco memimpin kelompok pengawal lainnya, saling memberi isyarat dan bergerak menuju titik yang sudah ditentukan. Arlo bisa merasakan getaran di seluruh tubuhnya-adrenalin yang mengalir, ketakutan yang hadir bersamaan dengan keinginan untuk melindungi keluarganya.
Keluarga Moretti benar-benar menginvasi mansion ini dengan kekuatan penuh. Mereka tak hanya membawa pasukan, tapi juga berbagai alat canggih untuk mengobrak-abrik pertahanan keluarga Salvatici. Tembakan semakin tak terelakkan. Jeritan dan suara bentrokan senjata memenuhi udara.
Di tengah kekacauan ini, Arlo melihat sosok yang tak asing-Vittorio "Vito" Moretti, pimpinan keluarga Moretti, berdiri di depan gerbang, tertawa sinis. "Salvatici," teriaknya dengan nada mengejek, "waktumu telah habis."
Keluarga Salvatici tak membuang waktu. Dalam gelapnya malam itu, mereka bergerak dengan cepat. Setiap langkah diambil dengan hati-hati, setiap keputusan diambil dengan penuh perhitungan. Arlo tahu, pertempuran ini tak akan mudah, dan mereka harus siap untuk kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Pertempuran itu dimulai.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI"
ActionArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...