Aku suka bakteri. Makhluk yang dahulunya dianggap nihil sebelum dicetuskannya teori biogenesis. Mikroorganisme tak kasatmata yang hanya bisa dilihat dengan alat bantu teropong kuman. Satu-satunya yang memotivasiku masuk jurusan Mikrobiologi di salah satu universitas negeri setelah lulus SMA.
Selama perkuliahan aku semakin takjub dengan keistimewaan bakteri. Kau bahkan tak menyadari ada jutaan sel bakteri di dalam setetes air keran. Sel-sel itu terus membelah secara logaritmik, tetapi akan mengalami kematian saat fase stasioner karena keterbatasan nutrisi, karena jika tidak demikian, bisa-bisa seisi permukaan bumi dipenuhi oleh bakteri! Materi kuliahnya begitu menarik dan diisi oleh dosen-dosen bergelar profesor.
Namun, di balik itu, ternyata praktikumnya sangat mengerikan bagai neraka. Setiap hari selalu ada praktikum mikrobiologi entah itu mata kuliah mikrobiologi akuatik, mikrobiologi tanah dan tanaman, mikrobiologi agroindustri, mikrobiologi pascapanen, genetika mikrobia, ekologi mikrobia, fisiologi mikrobia, dan taksonomi mikrobia. Lengkap sudah penderitaanku. Sebenarnya lumayan seru melatih keterampilan dalam laboratorium seperti menggunakan mikropipet, membuat media agar, melakukan teknik miring, teknik gores, teknik tuang, teknik permukaan. Yang membikin mau muntah adalah laporan seabrek yang tak ada habisnya, setiap habis praktikum asisten langsung menyuruh susun laporan dengan tenggat waktu berbeda-beda, ada yang sampai akhir semester, ada juga yang sesingkat posting Instagram 24 jam (satu hari) karena besoknya harus praktikum lagi.
Hari-hari kuhadapi dengan kuat-kuat walau hampir tumbang tidak sempat makan (karena praktikum di laboratorium), suka lupa ingatan dalam waktu singkat karena terus memikirkan laporan yang belum selesai semakin mendekati tenggat waktu, menghamburkan uang untuk mencetak berlembar-lembar gambar alat, bahan, dan dokumentasi yang wajib berwarna.
Perkuliahan dan praktikum yang memacu adrenalin itu membuat waktu berlalu begitu saja sampai tahu-tahu sudah memasuki semester skrispi. Di samping itu, ada juga kerja lapangan serta seminar kelas. Skripsiku kupikir beruntung tidak beruntung, dapat dosen mematikan yang membuatku menghilang tanpa kabar memikirkan metode penelitian yang akhirnya menjiplak kakak tingkat dengan hanya diganti spesies bakterinya saja, yang ternyata jebakan karena langkah-langkahnya sangat panjang, sampel berlipat-lipat (3 spesies kali 3 bahan kali 3 perlakuan awal kali 2 perlakuan akhir kali 3 bulan kali 4 pengulangan), coba ralat yang terus diulang-ulang sampai mampus--maksudnya sukses. Serasa penelitian anak S2, eh!
Itu semua membutuhkan waktu satu setengah tahun (total empat semester termasuk satu semester menghilang) sampai tahap akhir. Aku cuma bisa memandang teman-teman sejurusan sudah lulus karena dapat dosen murah hati dan penelitian simpel, menggigit jari menonton cerita Instagram kenalan dari jurusan lain yang sudah lulus tahun lalu dan sekarang lanjut studi pascasarjana dan sudah menyusun tesis.
Tidak apa-apa, yang penting bisa sidang. Dosenku menanyakan hal-hal dasar yang sebenarnya sudah kupelajari, tetapi jawabanku selau direspons dengan 'dasar-dasarnya saja tidak tahu, bagaimana bisa melakukan uji?', dan aku hanya terdiam berharap di pertanyaan selanjutnya terkait isi dan pembahasan bisa kujawab (yang tentu dibalas aku-serba-salah juga). Syukur, aku bisa lulus sidang skripsi. Itu adalah momen paling membahagiakan seumur hidupku, bahkan saat sesi foto dengan teman-teman ekspresi yang kutunjukkan begitu puas dan bangga.
Akan tetapi, cerita tidak berhenti di situ. Justru ini adalah akhir yang menjadi awal dari masa-masa krisis.
Ternyata kehidupan setelah lulus lebih mengerikan. Kau sudah dewasa, berpikir rasional, merasa yang menentukan hidup adalah dirimu sendiri. Mau lanjut studi pascasarjana, harus menabung dahulu, bukan? Uang dari mana? Ya, bekerja dan digaji.
Aku pikir mencari pekerjaan di bidangku bakal segampang menjentikkan jari. Fakta yang terjadi, sudah berpuluh-puluh lowongan kerja aku lamar, tak kunjung ada panggilan juga. Padahal itu sudah semua loker dari halaman satu sampai akhir, pantas saja rupanya di Indonesia hanya segelintir pekerjaan yang berminat buka di bidang mikrobiologi. Aku merasa menjilat ludah sendiri dahulu pernah mengatai kakak tingkat kok kerjanya di bank, jadi sales, pelayanan pelanggan. Di lapangan memang setidak adil begitu. Bahkan pihak akademi jurusanku tak mau tahu, tidak membagikan loker yang terjamin, tidak memandu untuk daftar program beasiswa S2. Semua lulusan seakan dilepas sendiri-sendiri di alam liar--maksudnya dunia masyarakat.
Di rumah pun aku merasa putus asa. Menjadi pesimis setiap hari tidak melakukan apa-apa hanya berbaring di kasur, bermain gawai, menggulir layar, menonton film, bertualang di gim video. Itu membuat ayahku tidak senang dan selalu mendesak untuk 'Melamar loker! Melamar loker!', tanpa membantu jalur orang dalam. Ibuku juga cuma bisa menagih, 'Kapan bekerja?, 'Kapan punya uang buat beli-beli kebutuhan?', 'Kapan selesai begini terus?'. Kapan? Kapan? Kapan? Kapan-kapan!
Suatu ketika aku pernah diajak temanku untuk melamar di tempat bekas kakak tingkat di luar kota. Katanya, tinggal ikut wawancara saja, daring kok! Oke, aku ikuti. Aku terlalu berharap. Bahkan sudah kurencanakan untuk memesan indekos, membuat daftar barang-barang untuk ke perantauan. Interviunya tidak sulit, aku merasa bisa menjawab dengan lancar. Sanggup bekerja naik-turun tangga? Bisa, saya tidak ada riwayat penyakit dalam. Berapa gaji yang diharapkan? Sesuai UMR. Kalau tidak diterima di sini, bagaimana? Saya akan terus berusaha dan jika lowongan ini dibuka lagi saya akan segera mendaftar. Work life balance? Apa itu? Eh, itu adalah hidup seimbang antara kerja dan waktu istirahat. Ah, aku kacau.
Pada akhirnya aku tidak dapat posisi itu. Apa aku sebegitu buruknya dalam wawancara? Oh, iya, benar juga. Aku 'kan memang buruk dalam komunikasi.
Dua tahun menganggur dan tertanam doktrin pengangguran di otakku, mencari pekerjaan adalah mustahil dan lanjut studi saja tak ada harapan. Di penghujung kisah hidupku, sel-sel bakteri mengelilingiku seukuran beruang, bakteri-bakteri itu mengantarkan aku terbang ke alam mimpi, Neverland yang diidam-idamkan semua anak-anak putus harapan.
"Ayo bermain."
Aku bercengkerama dengan anak-anak gembira di sana, saling bergandengan menari berputar menyanyikan lagu menyenangkan. Saat aku raih permen tongkat rasa min di dahan pohon gulali, aku lingkarkan jeli manis ke leherku, aku tendang kurcaci jahat yang mengganggu kedamaian pulau. Aku tertawa bahagia merasa menang akan semuanya. Aku tidak menyesal sudah mencintai bakteri dan bersyukur diberi kesempatan untuk mengenal bakteri.
'Tidak ada lagi bakteri untukku'. Begitulah kalimat yang kutulis di surat bunuh diriku.
🍀🍀🍀
Penulis: William_Most

KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen 3 Tema: A Long Journey
Short StoryBuku ketiga dari Cerpen 3 Tema! Seperti biasa, akan ada 3 tema baru setiap bulan. Selamat membaca cerpen-cerpen keren dari para member FLC yang kece~