part 5

135K 6.2K 169
                                    

Happy Reading!

"Githa gak sekolah di sini?" Tanya Lavine sambil membuka kotak bekalnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Githa gak sekolah di sini?" Tanya Lavine sambil membuka kotak bekalnya. Kami sedang berada di bukit hijau, menikmati bekal dan membaca buku yang baru kami pinjam di perpustakaan kemarin.

"Enggak," jawabku lalu mencomot selembar roti isi dari kotak bekal Lavine.

"Terus dia sekolah dimana dong?"

"Di Angkasa Jaya, dia mulai sekolah hari ini," aku mulai mengunyah roti isi yang kuambil, begitu juga dengan Lavine yang tampak asyik menyantap bekalnya.

"Lah gue kira dia sekolah disini, kan enak ya kalo kita ngumpul bertiga gitu," Lavine terlihat sedikit kecewa. Aku mengangkat bahu.

"Iya sihh gue juga mikirnya kaya gitu," timpalku.

Aku mulai membaca novel yang daritadi terasingkan diantara kotak bekal. Begitu juga dengan Lavine. Ini membuat suasana terasa sunyi dan menenangkan, karena diantara kami tidak ada yang berbicara. Selain suara tawa Lavine beberapa kali, saat membaca adegan lucu di novel yang ia baca.

"Kak Ethan gak ikut ngumpul ya?" celetuk Lavine tiba-tiba, memecah kesunyian diantara kami berdua. Aku hanya mengangguk menanggapinya, karena sedang fokus membaca.

"Dia kemana Ce?" tanya Lavine, dan lagi-lagi aku memberinya sebuah anggukan kecil.

"Lo ngangguk aja deh!" Aku mengangkat wajah dari halaman novel yang sedang asyik kubaca, beralih pada Lavine yang menatapku dengan sinis.

"Kenapa Vine?" Lavine mendengus kesal. Jujur aku memang benar-benar tidak tahu apa yang terjadi hingga dia tampak jengkel seperti itu.

"Lo denger gak apa yang gue tanyain tadi?" Tanyanya sambil bersidekap, tak lupa dengan sebelah alis yang terangkat tinggi-tinggi.

"Enggak" aku memiringkan kepala ke sebelah kiri, dan untuk kedua kalinya Lavine mendengus kesal.

''KENAPA KAK ETHAN GAK NGUMPUL BARENG KITA?'' tanyanya dengan penekanan di setiap huruf, entah kenapa aku merasa seperti anak TK yang diajarkan membaca oleh gurunya.

''Gak tahu," jawabku acuh, dan kembali membaca novel.

''Cuman gitu?''

''Maksud lo, jeng?''

''Gak, gak jadi! Udah males ngomong sama lo!''

* * * * *  *

Jam setengah 3 siang, dan aku baru sampai di rumah setelah berjalan dari depan kompleks yang jaraknya lumayan jauh. Aku pulang naik angkot, karena Pak Bono harus menjemput Dara. Biasanya anak itu akan nebeng di Sissy, tetangga samping rumah yang satu sekolah dengannya. Tapi, berhubung Sissy tidak sekolah. Jadi, ya begitu deh.

Asal kalian tahu, perjalanan pulang dari sekolah ke rumah tadi itu menyiksa sekali. Ck, kalau tahu begitu aku tidak usah naik angkot! Mending nebeng di mobil Lavine yang sejuk, ada AC.

Dibandingin harus satu angkot dengan ibu-ibu yang barang belanjaannya bejibun memenuhi semua ruang di angkot. Trus bapak- bapak yang bawa ayam dengan bau minyak wanginya yang benar-benar menusuk hidung.

Kayanya abis dipijet

Well, bukannya aku merasa jijik atau bergaya. Hanya saja, memang siapa yang tahan duduk menyempil diantara kardus-kardus belanjaan begitu?

"ACE!" suara teriakan GItha mengisi kesunyian dapur saat aku membuka pintu kulkas untuk menaruh botol minum. Ia berdiri di belakangku dengan mata berbinar-binar, seperti anak anjing yang baru menemukan tulang. Rambutnya yang lurus dibiarkan tergerai dan tentu saja, ia sama sepertiku yang masih mengenakan seragam sekolah.

"Kenapa?" Tanyaku bingung mendapatinya yang sedari tadi terus tersenyum dengan lebar. Aku lalu berjalan ke arah ruang tengah, lalu melempar tas dengan sembarang ke sofa, terakhir menghempaskan bokongku kesana.

"Ace! Ace!" Githa lalu duduk di sebelahku.

"Lo kenapa deh?" aku menatapnya dengan tatapan seperti ''eh ini anak gila?''.

"Tadi gue ketemu cogan!" Jawabnya seperti itu, aku memutar bola mata.

Sangar malas untuk membahas tentang cowok ganteng yang ditemuinya, biasanya aku akan menjadi orang yang paling heboh jika berbicara mengenai cowok ganteng atau biasa disingkat cogan oleh anak muda zaman sekarang. Tapi, mood-ku sedang tidak baik untuk membahasnya kali ini.

"Iya, terus?"sahutku sambil membuka sepatu converse hitam yang sedari tadi masih membungkus kakiku.

"Ganteng banget Ce!" serunya sambil meremas-remas bantal yang tengah berada di pangkuannya.

Mirip cacing kepanasan, suer!

Gak diem-diem daritadi

"Emang lo ketemu dimana?" aku menyilangkan kaki dan berusaha tertarik dengan topik yang dibicarakan Githa.

Karena aku tahu bagaimana rasanya, saat ingin menceritakan sesuatu yang benar-benar membuat kita excited dan hanya di tanggapi biasa saja oleh orang lain. Sakit tau! Sakit!

"Tadi itu gue lagi nunggu jemputan di toko roti deket sekolah, terus ada cowok make kaos abu-abu duduk di meja samping gue. Ganteng parah! Kayanya seumuran sama kita. Kan gue terus liatin tuh cowo, da__"

"Dan dia ngerasa diliatin, terus noleh ke elo?" aku memotong pembicaraan Githa dan mencoba menebak kelanjutan di ceritanya.

" IYA CE IYA! TERUS DIA SENYUM KE GUE. YA TUHAN MANISS BANGET!" Githa berteriak dengan sangat heboh, membuat gendang telingaku seperti ingin pecah. Sofa yang kami duduki pun terasa bergoyang, karena dia tidak diam-diam.

''Alay! Lebay!" aku menyentil dahinya sedikit keras, membuat Githa meringis.

''Ih elo mah Ce! Ganteng tau!''

"Iya, cowok pasti ganteng. Ya kali cowok cantik.'' Ujarku. Githa memberenggut sebal.

"Terserah! Pokoknya besok gue harus ketemu sama dia.''

"Emang lo kenal?" aku tahu, ini jahat banget. Tapi, sekali-sekali aku harus menjatuhkan harapan tinggi gadis ini.

"Enggak, makanya besok harus ketemu biar gue bisa kenalan!"

"Iya," aku lalu menuju ke kamar dan meninggalkan Githa dengan fantasi liarnya bersama cowok ganteng itu.

Tapi, ngomong-ngomong aku juga penasaran dengan cowok yang membuatnya benar-benar heboh seperti tadi.

Seganteng apa sih?

Bersambung

you again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang