Happy Reading!
''Gak usah sok baik. Mending lo pergi, nanti pacar lo marah.''
Dan dia memang benar-benar berubah.
* * * * * *
Aku mendudukkan diriku di pinggir lapangan dengan kaki yang ditekuk bersila. Menggenggam erat botol air pesanan Alan, sambil menahan air mataku tidak turun mati-matian.
Alan masih setia men-dribble bola basketnya di tengah lapangan, tidak memperdulikan langit mendung yang mulai meneteskan titik-titik air hujan. Aku memperhatikannya, hingga akhirnya bolanya menggelinding dan mengenai kakiku yang sedang duduk bagai patung tak bernyawa.
Dia berlari menghampiriku, lalu duduk di sampingku. Dia diam, tidak berbicara dan tidak menagih air mineral yang dipesannya tadi. Hanya diam, dan aku bisa merasakan kalau dia sedang menatapku lekat-lekat sekarang.
Titik-titik air hujan itu mulai berubah menjadi gerimis, lalu hujan lebat yang mengguyur kami berdua. Aku dan Alan tidak berniat bangun, kami membiarkan diri kami terguyur di tengah tangisan langit ini.
Dia sepertinya tahu aku sedang ada masalah, dan Alan hanya diam membiarkan aku menangis di tengah hujan yang menyamarkannya.
''Tahu nggak Cel, kenapa gue suka sama basket?''
''Nggak kak.''
''Gue suka basket, karena dengan itu gue bisa lupain semua masalah yang gue punya.''
''Ohh.''
''Kalo lo suka apa?''
''Gue suka hujan.''
''Hujan?''
''Iya hujan. Karena dengan hujan gue selalu merasa tenang. Entahlah, tapi saat gue sedih—''
''Hujan seakan ngewakilin semua air mata yang nggak bisa mendeskripsikan betapa sedih dan sakitnya gue, Lan.''
Dan setelahnya, Alan tetap diam menatapku dengan satu tangan yang mengelus-ngelus punggungku pelan. Derasnya air hujan membasahi tubuh kami yang terasingkan di pinggir lapangan yang sepi, ditemani bunyi gerombolan hujan dan gadis lemah ini.
* * * * * *
''Ya tuhan lo berdua kenapa basah kaya gini?!' teriakkan Lavine melengking dengan sempurna ketika aku dan Alan memasuki kantin dengan badan yang basah kuyup.
Gio yang berdiri tepat di samping Lavine, menutup kedua telinganya dengan muka jengkel setengah mati. Bagaimana tidak? Lavine baru saja berteriak tepat di sebelah telinganya.
Alan menuntunku duduk di kursi kantin, lalu entah dari mana dia mendapatkan handuk itu, dia mulai mengeringkan rambutku dengan gesit. Dia hanya diam, sibuk mengeringkan rambutku yang sudah lepek tidak karuan.
Lavine mulai mengoceh panjang lebar, bertanya kenapa kami bisa dengan santainya hujan-hujanan di tengah lapangan basket, lalu mulai menggerutu sebal karena bisa saja kami jatuh sakit setelah ini, dan terakhir menyuruh kami meminta izin pulang lebih dulu dan beristirahat dirumah. Jangan lupa minum obat, titahnya yang hanya dibalas anggukan oleh ku dan Alan.
''Lo berdua kaya main film india aja hujan-hujanan,'' ujar Gio yang baru datang sambil meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja.
Ia lalu mengambil duduk di samping Lavine, melempar sebuah handuk yang langsung ditangkap gesit oleh Alan.
Alan yang tadinya sibuk mengeringkan rambutku, kini mulai asyik dengan rambutnya yang juga sama basahnya. Cipratan-cipratan airnya berjatuhan kemana-mana, membuat Gio dan Lavine menggerutu kesal.
''Anjay Lan, gue ikut basah ni gara-gara lo,'' Lavine terlihat jengkel, yang hanya dibalas kekehan kecil Alan.
Aku meraih gelas teh hangat, lalu menyesapnya perlahan. Tidak dapat dipungkiri, aku merasa kedinginan. Memangnya siapa yang tidak kedinginan setelah hujan-hujanan dan masih mengenakan baju yang basah seperti ini?
Aliran teh yang melewati tenggorokanku panasnya serasa merambat perlahan ke pori-pori tubuh, menciptakan sensasi yang membuatku merasa sedikit hangat. Aku melirik Lavine yang duduk berhadapan denganku, yang wajahnya kini tampak khawatir melihat sahabatnya.
''Ya Tuhan muka lo pucet banget, itu lagi bibir lo biru banget. Lo pulang ya? Nanti gue izinin,'' cecarnya yang membuatku tersenyum kecil.
Aku menggeleng pelan.
''Nggak usah Vine, nanti gue ganti pake olahraga aja,'' Lavine menggeleng kuat-kuat.
Sepertinya dia tidak setuju dengan usulan ku tadi.
''NO BIG NO! Lo harus pulang! Istirahat! Minum obat! Nanti lo demam baru tahu rasa! Pokoknya lo harus pulang titik!''
''Eng--''
''Udah lo pulang aja, biar gue yang anter,'' potong Alan cepat. Aku memalingkan wajahku ke arahnya, menatapnya dengan pandangan memelas ''gue nggak mau pulang''. Dia tersenyum kecil, dan aku bisa melihat matanya yang seakan berkata ''gue tahu lo ada masalah''.
''Nah bagus Lan! Sekarang lo berdua pulang aja, okay? Urusan izin-izinan biar gue sama Gio yang ngatur.''
''Sipp, makasih banyak Vine,'' kata Alan setelah meneguk teh hangatnya.
''Iya sama-sama.''
Alan lalu menepuk kepalaku pelan, dia sudah bangkit dari duduknya.
''Yuk pulang!'' ajaknya sambil mengulurkan tangan kanannya padaku.
Sebenarnya aku ingin menolak, tapi melihat matanya yang menekan 'kan bahwa aku tidak bisa menolak ajakannya itu. Akhirnya aku menerima uluran tangannya.
''Ya udah gue sama Ace pulang ya,'' Lavine dan Gio mengangguk bersamaan, dan aku bisa melihat mereka berdua saling melirik satu sama lain sambil tersenyum penuh arti.
Aku memutar mata, mereka pasti sedang berpikiran negatif atau apalah itu sampai-sampai mengumbar senyum yang membuatku sedikit bergidik.
Alan menarikku pelan, membawaku menjauhi Lavine dan Gio menuju pintu kantin. Saat kami ingin membuka pintu kaca itu, seseorang dari luar kantin membukanya lebih dulu, yang mampu membuatku menegang di tempat ditambah degup jantung yang tiba-tiba mengencang.
''Nyari sensasi banget sih hujan-hujanan.''
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
you again ✔
Teen Fiction❛❛Kita bertemu lagi. Lalu aku mulai mencintaimu seperti dulu lagi. Pada akhirnya kamu akan menyakitiku juga seperti dulu, kan? Begitu sederhana, namun dapat terpatri dengan indah di ingatanku. Kamu bukan hanya tentang masa laluku, bukan juga tent...