part 32

78.6K 4.1K 97
                                    

Happy Reading!

One day someone is going to hug you so tight. That all of your broken pieces. Will stick back

* * * * * *

''Alan?'' aku melotot melihatnya.

Laki-laki itu mengenakan seragam sekolah yang terlihat rapi, berdiri di sampingku sambil membawa nampan kayu--bahkan masih menggendong tas hitam kesayangannya. Ia tersenyum kecil, sambil menaruh nampan kayu itu di atas meja kecil samping tempat tidur.

''Ngapain lo disini?'' Alan mengacuhkanku, dia bergerak ke arah sofa lalu menaruh tasnya disana.

Aku melirik isi nampan yang baru saja ditaruhnya, ada semangkuk bubur, segelas air dan satu bungkus pil yang membuatku bergidik ngeri. Ingin rasanya aku melempar bungkus pil itu ke bawah kolong tempat tidur. Lalu, berpura-pura seakan tidak melihatnya ketika Alan kembali datang. Tapi, sayangnya, itu terlalu sangat bodoh, Ce.

''Kan lo sakit,'' jawabnya singkat dan duduk di pinggir kasur.

''Terus? Ngapain disini?''

''Gue mau nemenin lo. Udah ah, gak usah banyak tanya. Makan dulu,'' Alan membantuku bangun.

Menumpukkan bantal di kepala tempat tidur sebagai tempatku bersandar saat makan. Dia mengambil mangkuk bubur, menyerongkan satu sendok ke arah mulutku. Tapi, aku hanya menatap sendok yang berjarak sekitar 10 cm di depanku itu. Hingga suara Alan terdengar menegur.

''Makan Ce,'' dan refleks, aku membuka mulutku dan menerima suapannya.

Aku mengunyah bubur yang rasanya hambar itu dengan pelan. Heh, salah satu yang kubenci saat sakit adalah: apapun yang kamu makan akan terasa hambar, pahit, bahkan jika diberi es krim coklat tidak akan seenak biasanya.

''Lo bolos ya?'' tanyaku disela-sela kunyahan.

Alan tampak sibuk dengan mangkuk buburku, memainkan sendok logam yang digenggamnya.

''Hem... iya,'' dia menyodorkan sesendok bubur lagi dan aku melahapnya.

''Kenapa?''

''Kan pacar gue sakit, mana mungkin gue tinggal,'' jawabnya dengan senyum tulus yang membuatku terdiam.

Tangannya lalu terjulur ke arahku, membersihkan ujung bibir yang sepertinya belepotan bubur. Aku masih diam. Hingga akhirnya dia menyodorkan satu sendok terakhir bubur yang kumakan. Aku masih melamun, tidak menyadarinya yang kini menatapku bingung.

''Hei, kenapa?''

''Eh--eng--enggak kenapa.''

''Oh. Nih satu sendok lagi,'' aku mengangguk dan menerima suapannya. Seakan-akan aku adalah anak yang menurut pada perintah ayahnya, Alan mengusap rambutku pelan.

''Obatnya diminum,'' aku melirik ke arah telapak tangan Alan yang terpampang di depan wajahku.

Tiga pil dengan ukuran besar-besar yang membuatku ingin menepisnya sekarang juga. Heh, walaupun warnanya cute--pink, biru dan ungu muda. Aku sama sekali tidak tertarik untuk menelannya mentah-mentah.

''Kalau gue makan pil ini dan lo bisa cepet sembuh. Dengan senang hati gue bakal lakuin itu buat lo. Tapi, sayangnya gak bisa, Ce,'' Aku mendesah pasrah, ketika Alan menyodorkan pil menyebalkan itu lagi ke arahku.

Baunya sangat menyengat, menusuk-nusuk hidungku dan menimbulkan rasa mual yang membuatku ingin muntah.

''Gue pecahin jadi kecil-kecil dulu ya? Biar lo gampang nelennya, '' aku mengangguk, membiarkan Alan memecahkan pil-pil itu menjadi ukuran lebih kecil dengan sendok.

Pil yang tadinya ada tiga biji, kini ada enam biji di tanganku. Ah, setidaknya ukurannya tidak sebesar sebelumnya.

Alan menuntunku menelan pil itu dengan hati-hati. Menyodorkan gelas minum ketika pil warna cute-cute menyebalkan itu kuletakkan di ujung lidah. Rasanya? WAH PAHIT SEKALI.

''Gue nggak mau makan pil itu lagi!'' kataku kesal setelah semua pil-pil yang pahitnya minta ampun habis kutelan dengan susah payah.

Sisa-sisa rasa pahitnya masih tercecap di lidah, membuat rasa mualku makin merajalela. Alan yang tadi turun ke bawah untuk menaruh mangkuk kotor, hanya terkekeh geli dan kembali duduk di pinggir kasur.

''Nanti gue suruh Bik Asri buat pecahin kecil-kecil pilnya kaya tadi deh.''

''Tetep pahit tahu!'' aku memberenggut.

''Yaudah, ini gue buatin air gula biar pahitnya ilang. Diminum dulu,'' aku baru sadar kalau Alan mengenggam gelas minum di tangan kanannya.

Pantas saja dia sangat lama di dapur, ternyata membuat air gula. Aku mengambil alih gelas itu, meneguk isinya sampai tandas. Ahh rasanya, maniss. Semua pahit yang terasa di lidahku, terusir oleh rasa manis yang menjalar pelan di indra pengecapku.

''Makasi,'' aku menyodorkan gelas yang telah kosong itu. Alan menerimanya dan menaruhnya di meja kecil.

''Sama-sama, sekarang lo tidur gih,'' aku mengangguk dan membiarkannya menyusun bantalku lagi agar aku bisa nyaman tidur, dan tak lupa membenarkan selimut yang tadi sempat melorot sampai pinggang. Baru saja dia hendak berbalik pergi, aku langsung menahan tangannya--entah kenapa.

''Temenin gue,'' aku bisa melihat senyum samar itu, yang dibarengi dengan anggukannya. Seperti tadi, Alan duduk di pinggir kasur.

Menepuk-nepuk pelan tanganku, sambil menggumamkan sepenggal lirik lagu yang sering kuputar malam hari sebelum tidur.

Sleep sound, sleep tight

Here in my mind, here in my mind

Waiting

Come close my dear

You don't have to fear, you don't have to fear

Dan setelahnya, sebelum lagu itu terselesaikan oleh suara lembutnya. Aku jatuh dalam bunga tidurku, diantar oleh sebuah bisikan yang bergetar indah di telinga.

''Have a nice dream, Ce.''

Bersambung

Maaf kalau ada typo :))
Kalau kalian suka cerita ini, share ke temen2 kalian ya!

Luv luv❤❤❤

you again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang