Part 36

138K 4.6K 377
                                    

Happy Reading!

Kamu tidak bisa memilih dengan yang namanya jatuh cinta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamu tidak bisa memilih dengan yang namanya jatuh cinta. Tidak bisa memilih kapan, dimana dan pada siapa hatimu akan jatuh. Tapi, kamu bisa memilih. Ingin tetap tinggal atau mencari cinta yang lain? Yang mungkin lebih indah atau lebih menyakiti.

Sayang...

Akan kuanjurkan padamu untuk meninggalkan. Karena kamu berhak bahagia, dengan tinggalkan dia yang menyakiti hatimu.

******

''Lan, besok,'' Alan tersenyum sendu, matanya yang tadi berbinar ceria kini tampak menerawang.

Meja nomor 10 yang terletak di sisi kanan cafe seketika hening, meninggalkan jejak tanya beberapa kepala yang duduk di sekitar sana, yang tadi menyaksikan seberapa ribut meja berpenghuni 5 orang itu.

''Gue tau,'' kemudian suara lirih itulah yang terdengar.

Semuanya makin diam. bahkan desau angin di luar rasanya juga ikut terdiam menikmati pilu yang tiba-tiba merambah diantara mereka berlima. Seorang perempuan dengan rambut coklat sebahunya--Githa, yang kini duduk di samping Alan mengusap lengan laki-laki itu pelan.

''Udah dua tahun berlalu ya,'' Lavine yang duduk di samping Gio kini tampak memainkan pinggiran cangkir tehnya, menatap sendu ke cairan coklat bening yang masih tersisa untuk dua teguk saja.

''Dia pasti baik-baik aja disana, Lan.''

''Dan pastinya bahagia,'' Ethan yang tadinya sibuk memandang ke taman di luar cafe, memalingkan wajah sambil tersenyum tipis.

Alan mengangguk. Kepalanya yang tadi menunduk, kini ia dongakkan. Dia menatap satu-persatu orang yang ada di meja itu.

Githa

Lavine

Gio

Ethan

Mereka semua tersenyum-sedih, dan raut mereka cukup membuat hati Alan lagi-lagi terenyuh. Laki-laki itu berusaha terlihat gembira, menampilkan cengiran lebarnya lagi-lagi.

''Gue balik duluan ya. Ada janji sama nyokap.''

Tidak, itu hanya alasannya saja.

''Hati-hati, Lan.''

Alan bangkit dari sofa busa berwarna coklat yang ia duduki, mengangguk singkat pada orang-orang di meja yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Sebelum laki-laki itu benar-benar keluar dari cafe, suara Githa terdengar memanggilnya.

''Alan.''

''Iya?'' Alan membalikkan tubuhnya sedikit, tangannya memegang gagang pintu kaca.

''Kalau lo butuh sesuatu, kita semua ada buat lo, itu gunanya teman.''

Alan lalu tersenyum simpul, walau wajahnya tidak bisa seratus persen diajak menampilkan raut bahagia yang dia inginkan. Laki-laki itu membuka pintu cafe, berjalan menuju mobil jeep hitam miliknya yang terparkir. Baru saja dia hendak membuka pintu mobil, tapi matanya malah terhenti ke langit biru cerah yang membentang diatas sana.

Alan menyenderkan badannya pada pintu mobil, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana jeans yang ia pakai. Kepalanya menengadah dengan mata menelusuri tiap jengkal dari langit siang ini. Alan baru tahu, bahwa langit yang baginya tampak monoton tiap hari ternyata seindah ini.

''Lo apa kabar, Ce?''

* * * * * *

Alan sedang ada di dalam kamarnya. Sibuk berkutat dengan tumpukan tugas dari dosen yang berhasil membuat sisa harinya sangat menyiksa. Detik jarum jam menjadi peneman malamnya sekarang. Pun bunyi keyboard yang ditekan lincah jari-jarinya berusaha membuat kamarnya yang hening makin ribut.

''Sialan, ini tugas apa cabe-cabean kampus? Banyak banget jirrr...'' Alan melempar pensil yang ia taruh di cuping telinganya dengan asal. Melampiaskan kekesalannya pada tumpukan tugas yang tak ada habis-habisnya itu.

Tukkkk

Pensil yang ia lempar mengenai kaca pada bingkai foto. Alan mendongakkan kepalanya yang sempat tertunduk sebentar, matanya terhenti pada sebuah foto yang diletakkan tak jauh dari meja belajar.

Fotonya dengan Ace.

Foto itu diambil candid. Entah kapan. Tapi disana ia dan Ace terlihat sangat bahagia. Ace tertawa lepas, dengan Alan di sampingnya yang menatap cewek itu seakan-akan dia satu-satunya perempuan di dunia ini.

''Gue kangen lo tau gak?'' Alan bicara sendiri, sambil menatap sendu foto di depannya.

''Kangennnn banget. Kalau lo gimana, Ce? Kangen gue gak? Atau kangen Ethan?'' kemudian kekehan kecil Alan terdengar dari suaranya yang sedikit bergetar.

Selama ini, dia selalu berhasil menyembunyikan rasa sedihnya, dengan lelucon konyol, senyum lebar lima jari atau pembawaan tenang yang sering ia perlihatkan.

Alan selalu terlihat biasa-biasa saja. Bahagia. Dengan sedikit sendu yang bisa dilihat di matanya.

''Besok ulang tahun lo, kan?''

''Mau hadiah apa?''

Dan hanya detik jarum jam yang menjawabnya.

* * * * * *

Mama's Bakery tidak begitu ramai siang ini. Hanya dipenuhi oleh orang-orang berbaju kantoran, juga beberapa mahasiswa dengan laptop menyala di depan mereka. Alan sendiri sedang sibuk dengan matanya yang memandang lurus kue tart di depannya.

Sekarang tanggal 4 Maret

Ulang tahun dia

Alan tersenyum kecil sembari mengingat memori dua tahun yang lalu. Dua tahun bukan waktu yang sedikit, tapi juga tidak begitu lama. Bagaimana dia bisa mengenal perempuan itu, Acelin Bellvania Benette. Perempuan yang berhasil mengusik hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.

Ia terkekeh kecil, mengingat bagaimana dia bisa bertemu dengan Ace. Suatu siang dimana dia nekat mengikuti laju motor Ethan yang membawanya ke Mama's Bakery.

Dan disitulah semua berawal.

Bagaimana dia bisa bertemu dan berkenalan dengan perempuan itu. Bagaimana mereka dekat satu-sama lain. Dan pada akhirnya, bagaimana dia bisa jatuh cinta padanya.

''Hai penguntit.''

Bersambung


Gue nggak dapet ngedit lagi. Maafkan jika ada typo ehe

you again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang