Happy Reading!
Author POV
Derit pintu yang dibuka terdengar, diikuti dengan bunyi derap sepatu yang mengisi sejenak kesunyian dalam ruang itu. Bunyinya bersaing dengan mesin monitor jantung yang terus berdengung, sebagai pertanda bahwa harapan yang mereka punya belum putus. Alan masih terdiam di posisinya, duduk menghadap ranjang dengan kedua tangan yang menggenggam erat tangan itu. Berharap bahwa kehangatan dapat menjalar, mengusir sedikit dingin yang ia rasakan disana.
Derap sepatu itu makin terdengar mendekat. Tapi, sama sekali tidak membuat Alan berpaling barang sejenak untuk melihat siapa yang baru masuk. Karena dia tahu siapa yang datang, tanpa harus menolehnya.
''Pagi...'' sapaan itu terdengar parau. Alan melirik sedikit ke arah Ethan yang sekarang berdiri di sisi lain ranjang. Wajahnya terlihat kusut, walaupun Alan yakin laki-laki itu sudah mandi dan berusaha keras agar terlihat segar setelahnya.
Sayangnya, Ethan tidak bisa.
Dan ia pun tidak bisa.
Terlihat baik-baik saja sekarang.
Ada satu buket mawar pink yang digenggam Ethan di tangan kanannya. Alan melirik ke arah vas bunga yang terletak di meja kecil samping kiri ranjang. Buket mawar pink yang sudah melayu, bahkan beberapa kelopaknya terjatuh dan tampak rapuh diatas meja putih itu.
Miris sekali, mengingat warna pinknya yang lembut sudah berubah menjadi kecoklat-coklatan. Ethan beralih mengambil buket yang sudah layu, menggantinya dengan buket segar yang baru dibelinya sebelum datang kesini. Langkah sepatunya terdengar lagi, menuju ke bak sampah, membuang buket mawar pinknya yang kelima bersama dengan harapan yang tertinggal disana.
Bunyi gesekan kaki kursi dengan lantai marmer terdengar pelan. Ethan mendudukkan dirinya di sisi kiri ranjang, berhadapan dengan Alan yang masih diam dari tadi semenjak ia masuk. Seakan ikut tertular, ia pun kini sama diamnya dengan laki-laki di depannya.
Keduanya kini makin mirip seperti patung porselen. Ya kau tahu, kau akan melihat yang serupa jika berjalan-jalan ke mal dan menemukannya berjejer di toko baju. Diam. Tak bergerak. Hanya deru nafas teratur mereka yang terdengar. Dan entah siapa yang bisa tahu isi hati mereka sekarang?
Ethan berdehem, mencoba mencairkan suasana kaku yang melingkupi mereka. Alan melirik ke arahnya, tampak bertanya. Sepertinya dia ingin memulai pembicaraan.
''Sejak kapan lo disini?'' tanya Ethan
''Sejak pintu rumah sakit terbuka di pagi hari,'' ya, pastinya Alan sudah bangun pagi-pagi buta sekali untuk datang ke rumah sakit dan menjadi orang pertama yang berkunjung hari ini. Entah bagaimana dia bisa masuk, karena jam besuk dimulai pukul 10.00 pagi.
''Lo belum makankan? Mending lo makan, biar Ace gue yang jaga,'' Alan membalasnya dengan gelengan. Cowok itu melepas kaitan tangannya, lalu menyandarkan tubuh ke belakang kursi.
''Gue gak laper. Lagian roti yang dibeliin Tante Lizka tadi pagi udah cukup bikin gue kenyang,'' Ethan melirik ke arah meja di sisi kanan ranjang. Ada bungkus roti disana, dengan isi yang masih tinggal setengah.
Ethan tidak yakin kalau Alan bisa kenyang hanya dengan satu roti berukuran sedang, yang bahkan hanya dia makan setengahnya. Ethan hanya mengangguk, sebagai awal dari hening yang melingkupi mereka lagi.
''Lo pasti bener-bener sayang sama Ace,'' itu suara Ethan, yang berhasil menarik perhatian Alan sepenuhnya.
''Maksud lo?''
''Ah maksud gue. Ya gitu. Lo pasti bener-bener sayang sama dia sampe--''
''Lo juga pasti bener-bener sayang sama dia Ethan,'' potong Alan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
you again ✔
Jugendliteratur❛❛Kita bertemu lagi. Lalu aku mulai mencintaimu seperti dulu lagi. Pada akhirnya kamu akan menyakitiku juga seperti dulu, kan? Begitu sederhana, namun dapat terpatri dengan indah di ingatanku. Kamu bukan hanya tentang masa laluku, bukan juga tent...