part 11

94.6K 5K 135
                                    

Happy Reading!

Ia bangkit dari duduknya, lalu dengan santai berpindah duduk di depanku yang pura-pura tidak menyadari keberadaannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia bangkit dari duduknya, lalu dengan santai berpindah duduk di depanku yang pura-pura tidak menyadari keberadaannya.

"Mulut lo emang bilang gak? Tapi mata lo? Dia gak bisa bohong," ujarnya sambil membuka-buka buku menu.

Aku terdiam dan masih pura-pura sibuk dengan laptopku. Padahal aku hanya sembarang mengetik setiap huruf di keyboard, dan tidak memperdulikan bagaimana bentuk essaiku lagi.

"Lo sukakan sama dia?'' tanyanya, lagi. Membuatku jengkel dengannya yang main mencampuri urusanku saja.

"Lo siapa sih? Kenal aja gak gue sama lo! Gak usah sok tahu deh!" Aku menatapnya dengan pandangan yang tidak bersahabat.

"Bentar lagi lo juga kenal sama gue," Ia tersenyum miring, lalu menutup buku menu yang tadi sibuk dibolak-balikkannya.

''Maksud lo?'' aku menghentikan aktifitas pura-pura mengetik dan mencoba memfokuskan diriku dengan laki-laki ini.

''Ya gitu, bentar lagi lo juga kenal sama gue," aku mengernyit, membuat kerutan di dahiku yang tidak tertutup poni.

''Gue gak ngerti deh sama lo. Aneh banget."

"Nah itu yang bagus, lo gak ngerti sama gue," ia terkekeh dan membuatku geleng-geleng kepala dengan ucapannya yang sama sekali tidak dapat dimengerti.

Aku menatap essai di depanku dengan nelangsa. Well, sangat bagus karena tangan-tangan lincahku sudah merusaknya tidak karuan begitu.

Bagus! Gue harus ngulang dari pertama

"Kalo lo suka sama dia, kenapa gak bilang aja?'' Laki-laki aneh itu berbicara lagi, setelah tiga menit kami terdiam.

Aku yang sedang sibuk mengulang essai, menghentikan tarian tanganku di atas keyboard dan memandang kosong ke arah baris demi baris kalimat yang baru saja kuketik.

''Mendem perasaan itukan gak baik. Apalagi ngeliat dia yang sekarang lagi deket sama cewe lain. Emang lo gak sakit?''

Deg

"Gue gak suka sama dia," ungkapku.

''Kenapa sih lo suka mengelak? Udah jelas-jelas juga lo suka, tapi lo bilang gak! Lo gak bisa bohongin diri lo sendiri,'' Aku terdiam dan menghembuskan nafas pelan.

Entah kenapa semakin lama, aku merasa tidak bisa melanjutkan obrolan ini lagi. Aku mengangkat wajah, dan sepasang mata coklat itu kini tengah menatapku lekat-lekat.

"Lo itu siapa sih?"

* * * * * *

"Guys!" aku dan Lavine sontak mendongak dari mangkuk mie ayam yang benar-benar mengunggah air liur menetes. Kak Ethan ada di depan kami, dengan senyum manis seperti biasanya.

"Gue mau ngenalin kalian sama seseorang,'' lanjutnya.

Lavine menaikkan sebelah alis, sebelah tangannya sibuk memainkan sedotan yang ujungnya tenggelam di dasar gelas jus alpukatnya.

''Siapa kak?"

"Ada lah," lalu matanya sibuk menelusuri keramaian kantin, mencari seseorang yang entah siapa itu.

"Woey!" Kak Ethan berteriak, cukup keras untuk membuat beberapa penghuni kantin menoleh ke arahnya.

Ia melambaikan tangan entah kepada siapa, tanpa memperdulikan tatapan heran dari orang-orang. Tak lama, seorang anak laki-laki dengan earphone putih yang menggantung di lehernya berlari ke arah kami.

Loh itu kan

"Woey bro!" mereka berdua lalu saling merangkul dan bertos ria.

Seperti halnya anak laki-laki ketika bertemu dengan teman mereka.

"Kenalin, dia Alan Lemuel, sepupu gue. Murid baru pindahan dari Bali," jelas Kak Ethan dengan bangga, sambil menepuk pundak laki-laki disampingnya yang tersenyum ramah padaku juga Lavine.

"Hai gue Alan!" ia mengulurkan tangannya pada kami berdua.

Dengan semangat Lavine membalas uluran tangan itu, sebelum memberi cengiran lebarnya yang membuat Alan terkekeh geli.

"Gue Lavine Guinsya, panggil aja Lavine," Alan mengangguk dan melepas jabatan tangannya. Ia beralih padaku.

"Gue A--"

"Tunggu!" ia memotong ucapanku, membuat tanganku yang sempat terulur ke arahnya turun. Ia menatapku sambil tersenyum penuh arti.

''Lo Acelin Bellvania, kan?" aku mengangguk.

"Iya."

''Ethan sering cerita tentang lo ke gue" akunya sambil melirik ke arah Kak Ethan yang tampak pura-pura tidak mendengar ucapan sepupunya.

Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum kaku, sedangkan Lavine sudah sibuk merecoki dengan menoel-noel lenganku. Tak lama kemudian, makanan pesanan Kak Ethan dan Alan datang.

Kami berempat lalu sibuk menikmati makan siang, diselingi dengan obrolan-obrolan ringan yang didominasi oleh Alan dan Lavine. Mereka berdua terlihat sangat cocok saat mengobrol, mengingat kalau keduanya memiliki minat yang sama di bidang photography, hingga obrolan hanya seputar itu saja.

Lavine sangat bersemangat menceritakan salah satu ekstra yang banyak digemari anak-anak itu, dan Alan juga tak kalah semangat menceritakan pengalamannya berjalan-jalan ke beberapa tempat di Bali hanya untuk mengabadikan momen disana.

Hingga tak salah, kalau kedua orang yang bercita-cita sebagai photographer terkenal ini bisa akrab hanya dalam kurun waktu kurang dari satu jam.

"Lo dapet kelas berapa, Lan?'' tanya Lavine sambil menarik segulung tisu dari tempatnya.

'' XI MIPA 2.''

''Lah deket dong sama kelas gue, ye gak Ce?'' Lavine menyenggol bahuku dengan bahunya.

"Iya deket," sahutku sambil menganggukkan kepala.

''Oh iya?''

''Iya serius deh Lan."

"Bagus dong, kalau ke kantin bisa bareng hehehe,'' Alan terkekeh, yang juga dibalas oleh kami bertiga.

''Eh gue balik duluan ya, mau ada kumpul tim basket nih,'' Kak Ethan bangkit dari kursinya.

''Oh iya, '' sahutku, ia lalu berlalu dari hadapan kami setelah berbasa-basi sedikit. Meninggalkan aroma parfum yang masih membekas di hidungku. Yang entah kenapa membuatku ingin ia tetap tinggal disini.

''Ya Tuhan gue baru inget mau ke perpus!'' seru Lavine sambil menepuk jidatnya dengan sebelah tangan.

Aku menatapnya sambil menaikkan sebelah alis. Gadis tomboy itu, lalu menyeruput minumnya yang masih tinggal seperempat hingga tandas. Lalu segera berlari keluar kantin, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

''Ckckck kebiasaan deh,'' gurauku sambil menggelengkan kepala.

Dan sekarang di meja ini hanya ada aku juga Alan. Alan, anak laki-laki itu menatapku lekat seperti seekor singa yang ingin menerkam mangsanya. Jujur aku merasa risih dengan hal itu.

TIba-tiba ia tersenyum lebar, meluluhkan ekspresi dingin yang ia perlihatkan sebelumnya, diikuti dengan matanya yang tenggelam menjadi garis melengkung.

Anjay lucu

''Hai penguntit!''

Bersambung





you again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang