Aku Evan. Nama lengkapku Evan Sandy Aldian. Umurku empat belas tahun, dan aku adalah seorang penggila game online.
Aku adalah anak tunggal yang dilahirkan dari seorang Malaikat berwujud manusia yang Tuhan kirimkan untukku.
Sekarang, aku kelas tiga SMP. Tapi, beberapa bulan lagi aku akan berganti seragam menjadi putih abu.
Di Sekolah, aku termasuk anak yang pendiam, karena aku tak terlalu pintar bergaul, apalagi terhadap lawan jenis. Aku hanya terlihat sangat akrab dengan beberapa orang saja di kelas. Aku lebih memilih menjadi anak yang aktif di luar lingkungan sekolah. Entah karena apa.
Sebenarnya, teman-teman kelasku sangat asyik, baik di lingkungan sekolah, ataupun di luar. Itulah salah satu alasan mengapa aku srlalu bersemangat untuk pergi ke Sekolah. Hampir semua teman-teman kelasku sudah memiliki pacar, atau setidaknya pernah berpacaran. Mungkin itu alasan mengapa mereka selalu semangat dan terlihat ceria di Sekolah. Hanya aku dan beberapa murid lainnya yang belum pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki pacar. Di zaman sekarang, memang sudah dianggap wajar bagi anak-anak seusiaku untuk berpacaran. Meski sebenarnya itu tak baik.
"Kok kamu belum pernah pacaran sih? Ayolah, anggap saja belajar. Biar nanti dewasa nggak kaku sama cewek." Suatu hari sebelum berangkat sekolah, aku seperti berbicara pada diriku sendiri di depan cermin.
Ya, aku memang merasa aneh pada diriku sendiri. Mengapa aku belum pernah berpacaran? Disaat hal itu sudah tak aneh lagi bagi teman-temanku, bahkan tak sedikit dari teman-temanku yang sudah lebih dari sepuluh kali berganti pasangan. Meski aku tahu itu bukan sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. Aku bingung, apa aku terlalu cuek pada lawan jenis? Apa aku tak cukup menarik di mata wanita? Atau aku terlalu dingin di hadapan wanita? Apa aku terlalu asyik dengan hobi dan duniaku sendiri? Sampai saat ini, itu masih jadi tanda tanya besar untuk diriku sendiri.
Selain sekolah, rutinitasku selama ini duduk manis di depan komputer untuk main game online, aku juga suka main sepak bola. Mungkin karena itu aku tak pernah bisa dekat dengan wanita. Karena tempat aku bermain dan berkumpul cukup jauh dari lingkungan wanita.
Aku sangat menyadari usiaku ini masih belum pantas untuk berpacaran, tapi di sisi lain aku tak mau disiksa rasa penasaran. Semakin aku menolak, semakin tinggi juga keinginanku untuk punya pacar. Entahlah, terkadang aku ingin punya pacar, beberapa saat kemudian aku berubah pikiran, lalu kembali lagi dan terus seperti itu. Apa memang rumit? Membuatku terlihat sangat labil.
Saat ini, sedang terjadi perdebatan di dalam pikiranku. Sebagian dari diriku memintaku untuk segera mencari pacar, tapi bagian diriku yang lainnya menolak untuk melakukan itu.
"Ngapain cari pacar? Nanti kamu dikekang, nggak bebas, banyak diatur. Buat apa? Nggak penting juga kan?" Kataku pada diriku sendiri.
Aku memang tahu akan seperti itu jadinya jika aku berpacaran. Tentu saja aku tak mau, aku tak mau ada yang membatasi kebebasanku, aku tak mau ada yang mengekang dan menghalangi segala keinginanku untuk bersenang-senang. Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya jika nanti pacarku melarangku untuk main game, Ah! Pasti kesal sekali.
Aku mulai berpikir untuk mengurungkan niatku untuk mencari pacar. Biarkan saja, mungkin nanti ada saatnya. Lagipula sangat tak baik jika harus mencari pacar hanya untuk dijadikan pengisi kekosonganku saja. Setahuku, berpacaran itu harus didasari rasa sayang, bukan hanya untuk mengubah status di facebook dari lajang menjadi berpacaran. Aku tunggu saja siapa yang bisa membuatku jatuh hati, dan membuatku melabuhkan perasaanku untuk pertama kalinya. Karena aku memang tak tahu bagaimana caranya jatuh cinta.
Aku hanya bisa menunggu satu dari ratusan wanita di Sekolah yang mampu membuatku jatuh hati. Sampai akhirnya hal itu terjadi, pada masa-masa belajar menjelang ujian nasional, aku merasakan sesuatu yang aneh pada diriku, perasaan yang sangat baru untukku. Tiba-tiba hatiku menunjuk seseorang, seakan memintaku untuk segera melabuhkan perasaanku pada orang itu.
Ya, sepertinya aku jatuh hati. Aku jatuh hati pada dia, teman sekelasku. Dia yang duduk di pojok kanan, barisan kedua dari belakang. Dia yang nomor absennya dua angka di depanku. Dia wanita yang pendiam, tapi terlihat aktif diluar. Raut wajahnya selalu terlihat cemberut saat serius belajar, dan itu sangatlah lucu bagiku. Itulah yang membuat tatapan mataku selalu mengarah padanya, lalu berhenti untuk beberapa saat.
Dulu, aku ke Sekolah hanya untuk belajar dan berjumpa dengan teman-temanku. Sekarang, aku punya rutinitas baru di Sekolah. Yaitu menatap dia secara diam-diam, dan belajar bagaimana rasanya jatuh hati.
Sekarang, aku mulai tahu bagaimana rasanya jatuh hati. Kupikir, perasaan seperti ini tak bisa kutunda, meski aku buta langkah dan tak tahu dari mana harus ku mulai untuk bisa dekat dengannya. Aku harus segera belajar untuk mengubah rasa sekedar suka menjadi rasa sayang, dan aku juga harus bisa menjadi diriku yang lain, yang tak lagi pendiam di hadapan wanita.
Untuk dia, kulabuhkan perasaanku untuk pertama kalinya. Dia yang selama ini satu kelas denganku, dia yang selama ini tak sempat kupandang, dia yang sejak kemarin membuatku jatuh hati. Dia yang bernama Dilla, Dilla Nadia. Sang pencuri hati yang tak tahu caranya permisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...