Setelah merasa bahwa Dilla benar-benar pergi menjauh dariku, aku mencoba untuk mencari semangat baruku, cinta baruku. Aku berpacaran lagi dengan Dara, wanita yang juga pernah jadi pacarku saat aku masih Sekolah.
Dulu, orang tua Dara bercerai, yang membuat Dara harus ikut Ibunya pindah ke luar kota. Lalu membuat hubunganku berakhir.
Sekarang, Dara kembali tinggal disini, berjumpa lagi denganku, lalu sama-sama punya keinginan untuk menjalin hubungan yang dulu terpaksa usai.
Sekarang, aku dan Dara resmi berpacaran. Sebenarnya, aku masih menyayangi Dilla, dan aku ingin melupakannya tanpa menjadikan Dara sebagai pelampiasan seperti yang sering kulakukan dulu pada wanita-wanita lain.
Saat itu, sebenarnya aku tahu bahwa Dara sudah punya pacar. Aku tak peduli jika aku dijadikannya yang kedua, karena aku gakin hubungan mereka akan segera berakhir karena adanya aku.
Setelah lebih dari dua minggu berpacaran dengan Dara, aku mulai menyayanginya, sedikit demi sedikit Dilla bisa kulupakan. Tapi saat itu sesuatu terjadi. Pacarnya Dara sudah tahu bahwa Dara juga berpacaran denganku.
Saat itu, aku sedang di rumah Rey. Lelaki itu menelponku menggunakan handphone Dara.
"Halo. Ini Evan?" Sapa lelaki itu.
"Iya, siapa ini?" Kutanya.
"Ini pacarnya Dara. Lagi dimana?" Tanyanya lagi.
"Di rumah. Kenapa?"
"Bisa ketemu?"
"Boleh. Kapan?" Tanyaku.
"Sekarang." Jawab lelaki itu.
"Dimana?"
"Nanti aku kasih tahu tempatnya." Kata lelaki itu.
Tak lama, aku menerima SMS dari pacarnya Dara. Katanya dia akan menungguku di tempat yang sebenarnya tak jauh dari rumahku.
Aku segera menuju kesana. Aku sudah mengira bahwa sepertinya akan terjadi keributan. Aku bilang pada Rey bahwa aku akan pulang. Aku terpaksa berbohong, karena jika Rey tahu aku akan menemui pacarnya Dara, Ia pasti akan ikut. Rey juga pasti mengira akan terjadi keributan jika aku jujur padanya. Rey adalah sahabat yang selalu ada di belakangku setiap aku ada masalah. Dia itu sahabat terbaikku sejak aku kecil. Aku tak mau mengganggunya karena saat itu Rey sedang bersama pacarnya.
Aku segera pergi menuju tempat yang dijanjikan. Dalam lima menit, aku tiba disana, karena jaraknya tak jauh.
Disana aku melihat Dara bersama enam orang lelaki. Aku tahu salah satu dari mereka adalah pacarnya Dara, karena aku pernah melihatnya di foto. Setahuku, nama pacarnya Dara adalah Rifky. Aku menyimpan motorku agak jauh, lalu aku berjalan menghampiri mereka.
Aku, Dara, dan Rifky memisahkan diri dari teman-temannya untuk bisa berbicara tenang. Aku melihat raut wajah teman-temannya Rifky yang seperti dipenuhi kebencian. Perkiraanku semakin kuat bahwa sebentar lagi akan terjadi keributan. Tapi aku tak peduli.
Aku duduk di sebelah Rifky. Dara duduk di depanku.
"Udah berapa lama pacaran sama Dara?" Tanya Rifky dengan tenang padaku.
"Tanya aja sama Dara." Aku jawab dengan tenang.
"Tapi kamu tahu kalau Dara punya pacar?" Tanya Rifky lagi.
"Tahu, kenapa emang?" Kutanya balik dengan nada yang sedikit menantang.
Rifky sempat terdiam beberapa saat, dia sedang kebingungan harus bicara apa lagi. Aku menatap Dara yang sedari tadi menatap aku dan Rifky secara bergantian.
"Aku nggak bisa terlalu nyalahin Evan. Sekarang aku tanya sama kamu, kamu mau milih siapa?" Tanya Rifky mulai kesal pada Dara.
Dara hanya menunduk dan tak menjawab apapun. Aku tak mendengarnya bersuara sedari tadi aku ada disini.
"Jawab!" Sentak Rifky. Lalu Rifky menampar Dara.
Aku yang tadinya masih tenang, tiba-tiba emosiku memuncak melihat Dara ditampar Rifky dengan keras tepat di depan mataku. Aku paling tak suka pada lelaki yang kasar pada wanita, apalagi wanita itu adalah Dara yang saat itu mulai kusayangi.
Aku berdiri, lalu kutendang wajah Rifky dengan keras sampai ia terjatuh. Kulihat hidungnya meneteskan darah. Lima teman Rifky mulai berlarian menghampiriku. Mereka semua memegang alat. Kulihat ada yang membawa pipa, helm, dan batu. Aku tak langsung melarikan diri, aku mengambil posisi yang bagus untuk menghadapi mereka. Aku masih bisa memukul dua orang pertama yang menyerangku. Aku melihag Rifku terbangun lalu ikut menyerangku. Mereka terus berusaha menyerangku, tapi aku tetap melawan, aku hanya memukul siapapun yang ada di hadapanku. Salah sati dari mereka berhasil memukulku menggunakan helm tepat di wajahku. Hidungku berdarah, penglihatanku mulai samar, aku mulai tak bisa mengendalikan diri. Posisi mereka semakin bagus untuk menghabisiku. Dara mencoba menarikku dari perkelahian. Dara menangis sambil berteriak keras agar perkelahian ini usai.
Suasana semakin ramai, banyak orang yang sengaja memberhentikan kendaraannya untuk mencari tahu apa yang terjadi. Tak sedikit dari mereka yang mencoba untuk melerai perkelahian, tapi mereka kesulitan.
Saat itu, ada satu mobil polisi yang kebetulan lewat. Lalu ada dua polisi yang berlarian menghampiri keributan sambil berteriak. Rifky dan teman-temannya berlarian menuju motornya lalu melarikan diri, begitu juga dengan Dara. Lalu polisi itu mengejarnya.
Aku dikerumuni banyak orang. Mereka bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Aku hanya berkata pada mereka bahwa aku tidak apa-apa.
Saat itu, Azzuri, teman SMPku, lewat di depan lokasi keributan. Dia melihatku, lalu menghampiriku. Melihat keadaanku yang berantakan, Azzuri membawaku ke rumahnya untuk mengobati luka-lukaku.
Di rumah Azzuri, aku diobati oleh Ibunya.
"Kenapa Van kok bisa gini?" Tanya Ibu Azzuri sambil membersihkan wajahku dari darah dan tanah.
"Biasa Bu, lagi bosen ganteng. Jadi mukanya diginiin." Kataku becanda.
"Dasar, lagi kaya gitu masih aja bisa becanda." Kata Azzuri.
Setelah selesai, aku pamit pulang. Aku mengucapkan terimakasih pada Azzuri dan Ibunya.
Sebenarnya, saat itu aku tak langsung pulang. Aku kembali ke rumah Rey.
Aku tiba di rumah Rey dengan keadaan yang sangat berantakan. Aku baru sadar bahwa saat itu aku memakai kaus putih pemberian Dilla dulu. Kaus putih itu kini menjadi kotor dipenuhi darah.
Rey kaget melihatku seperti itu. Saat itu juga ada Ilham yang merupakan anak didik baru di geng motor. Aku melihat keduanya emosi.
"Coba telpon dimana si Dara." Kata Rey.
"Nggak aktif." Kataku.
Saat itu, aku menerima SMS dari Ibuku. Ibu memintaku segera pulang. Sejak aku sakit, aku tak boleh berada di luar rumah lebih dari jam sembilan malam.
"Rumahnya dimana?" Tanya Rey.
"Nggak jauh sih." Kujawab.
"Iya udah, kita kesana sekarang."
"Nanti deh, Ibuku udah SMS. Biar aku tenangin diri dulu." Kataku.
Tak lama setelah itu, akupun pulang. Aku punya perkiraan bahwa Rey dan Ilham akan pergi mencari keberadaan Dara dan Rifky tanpa sepengetahuanku.
Setibanya di rumah, aku sembunyikan baju putihku yang penuh darah itu. Aku takut Ibu tahu bahwa aku baru saja berkelahi.
Aku memutuskan untuk langsung beristirahat. Aku rebahkan badanku di atas tempat tidurku. Aku melamun mengingat lagi peristiwa tadi.
Tiba-tiba emosiku naik lagi, mengalahkan rasa sakit yang menyerang badanku ini. aku berpikir bahwa aku harus segera melakukan pembalasan. Aku harus melakukan penyerangan balik. Malam ini juga harus kubalas.
Aku coba telpon Azzuri.
"Halo? Dimana kamu?" Tanyaku.
"Rumah temen. Kenapa?"
"Bisa jemput? Aku pengen keluar." Kataku.
"Ya tunggu." Kata Azzuri.
Tak lama, Azzuri sudah tiba di depan rumahku. Aku pergi tanpa sepengetahuan Ibu. Aku loncat dari lantai dua.
"Kalau aku minta anter boleh nggak?" Kutanya.
"Kemana?" Tanya Azzuri.
"Aku kesel, pengen nyerang balik." Kujawab.
"Berdua?" Tanya Azzuri.
"Berani nggak?"
"Ngapain takut? Tapi ajak Rizki sama Hanavi deh, buat jaga-jaga." Kata Azzuri.
"Dimana emang mereka?" Tanyaku.
"Warnet deket rumah."
"Iya udah, kita kesana dulu." Kataku.
Aku dan Azzuri menemui Rizki dan Hanavi di sebuah warnet. Aku menceritakan rencanaku pada mereka. Tanpa keberatan, mereka bersedia untuk ikut dan membantuku. Aku senang, solidaritas mereka masih begitu tinggi meski sudah lama tak jumpa denganku.
Sebelum berangkat, aku berpesan pada teman-temanku.
"Kalau nanti kondisinya mulai nggak bener, atau sekiranya ngebahayain kalian, kalian pergi aja, tinggalin aku, jangan sampai kalian kenapa-kenapa, ini masalah pribadi aku."
Sebenarnya, aku tak tahu dimana keberadaan Rifky sekarang. Tapi perkiraanku sangat kuat bahwa Rifky ada di rumah Dara. Jadi saat itu aku dan teman-temanku pergi menuju rumah Dara. Aku satu motor dengan Azzuri, Rizki bersama Hanavi.
Rumah Dara ada di sebuah gang kecil berukuran satu meter. Aku meminta Azzuri untuk memberhentikan motor agak jauh. Aku masuk ke gang itu untuk melihat situasi sekitar, Hanavi mengikutiku. Rizki dan Azzuri bersiap si motor untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu.
Saat itu, aku melihat Rifky dan satu temannya sedang memutarbalikkan motor. Sepertinya mereka baru mau pulang. Aku dan Hanavi berlari keluar gang, lalu bersembunyi di balik gang untuk bersiap-siap.
Tak lama, kudengar suara motornya semakin dekat. Saat baru saja keluar dari gang, kupanggil mereka yang saat itu hanya berjarak satu meter dari hadapanku.
"Hey!" Teriakku.
Saat mereka berbalik, aku melempar helmku tepat di wajah Rifky sampai membuatnya terjatuh dari motor. Lalu aku dan Hanavi memukuli mereka sampai benar-benar hancur. Aku masih ingat wajah teman Rifky yang tadi memukulku menggunakan helm hingga membuatku berdarah. Kini kubalas dia.
Rifky terlihay tak sadarkan diri, sedangkan temannya berteriak minta tolong tanpa bisa melawan. Aku dan Hanavi menghajar mereka sampai benar-benar puas, karena saat itu suasana sudah sangat sepi.
Sebelum pergi, ku ambil kunci motor Rifky. Lalu aku pergi bersama teman-temanku yang menunggu di pinggir jalan. Dari jauh, aku melihat Rifky belum terbangun. Aku benar-benar menghabisinya.
Di perjalanan, aku melihat Rizki mengemudikan motornya dengan terburu-buru seperti sedang melarikan diri.
"Pelan-pelan aja, nggak akan ada yang ngejar." Teriakku pada Rizki.
"Kenapa?" Tanya Rizki lalu mengurangi kecepatan motornya.
"Nih." Kataku menunjukkan kunci motor Rifky yang tadi kuambil.
"Hahaha, mampus tuh orang." Kata Rizki tertawa. Aku dan uang lainnya pun tertawa.
"Warung depan berhenti dulu ya? Kalian haus kan?" Kataku.
"Siap kapten." Kata Rizki.
Suasana hatiku yang tadinya kesal dan emosi, kini jadi ceria berkat teman-temanku. Aku berterimakasih pada mereka karena sudah membantu membalaskan dendamku.
Setelah itu, aku diantar ke rumah Rey. Aku berencana untuk menginap di rumah Rey.
Setibanya di rumah Rey, Rey bercerita padaku bahwa tadi dia dan Ilham mencari keberadaan Rifky. Perkiraanku benar. Lalu aku juga bercerita pada Rey bahwa aku sudah membalas apa yang mereka perbuat padaku.
"Udah puas belum?" Tanya Rey.
"Puaslah, lima kali lebih hancur." Kataku tertawa.
"Iya udah deh. Tadinya kalau belum puas, besok tambahin." Kata Rey.
"Udah deh cukup." Kataku.
Esok harinya, aku menerima telpon dari Dara. Dara meminta maaf atas apa yang terjadi. Dara juga sudah tahu bahwa aku sudah membalas Rifky. Rifky juga menyampaikan permintaan maafnya, dan memohon agar masalah ini tidak diperpanjang, mungkin dia takut.
Ada satu kabar yang membuatku sangat kaget. Ternyata Rifky bukanlah pacarnya Dara, tapi suaminua Dara. Berarti selama dua minggu ini aku berpacaran dengan istri orang. Tapi aku tak merasa terlalu bersalah, karena Dara tak pernah bicara apapun tentang itu.
Setelah tahu tentang itu, aku meminta maaf pada Rifky dan berjanji tidak akan mengganggu hubungan mereka lagi. Dan Rifkypun memaafkanku.
Beberapa hari setelah itu, Dara seringkali menelponku. Memohon agar aku mau untuk terus melanjutkan hubungan denganya, Dara juga berjanji akan segera menggugat cerai Rifky. Tapi aku menolak, tentu saja aku tak mau, meskipun saat itu aku mulai menyayangi Dara, tapi aku harus menjaga nama baikku.
Aku baru ingat pada baju yang kusembunyikan. Saat aku mencucinya, aku langsung ingat Dilla. Aku langsung merindukannya. Sesulit inikah mencari pengganti Dilla? Disaat aku berusaha mencari cinta yang baru, malah berujung masalah. Aku pikir, sekuat apapun aku mencari cinta, saat hubungan baruku berakhir, aku langsung dibuat rindu pada Dilla. Seperti tak ada cinta yang lebih baik lagi dari cinta yang pernah Dilla berikan padaku dulu.
"Aku disiksa rindu yang berat, gara-gara kisah cinta rumit yang berujung masalah, menjadi sebuah perkelahian yang membuat kaus putih kesayanganku memerah. Kaus putih yang pernah kudapat dari orang yang paling kusayangi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...