Merantau

529 28 0
                                    

Akibat dari kasus kemarin, dengan terpaksa aku kembali ke Jakarta. Kali ini aku harus benar-benar menetap, tak bisa seenaknya pulang pergi seperti dulu.
Sekarang, aku dipekerjakan sebagai seorang tukang listrik, pekerja lapanh di sebuah proyek apartemen di Jakarta oleh pamanku. Pamanku memiliki sebuah perusahaan besar yang bergerak dibidang kontraktor. Kali ini aku benar-benar terkurung suasana, tak sebebas kemarin, dibuat jadi lelaki pekerja keras, melawan panas matahari, membasahi pakaian dengan keringat lelah. Aku sempat terpikir untuk kabur dan kembali ke Bandung, tapi di sisi lain aku takut untuk mengecewakan Ibu lagi. Sebengal apapun aku hidup, Ibu adalah salah satu manusia yang sangat tak boleh kukecewakan.
Hari demi hari berlalu, aku terus dipekerjakan seperti ini oleh pamanku. Berangkat kerja jam delapan pagi, dan pulang jam sepuluh malam. Terasa tak mungkin jika pamanku memperlakukanku seperti ini, jadi aku berpikir bahwa ini pasti hanya sementara. Mungkin ini semacam hukuman, atau mungkin pamanku sengaja menguji sejauh mana kelelakianku, tanggung jawabku terhadap sebuah pekerjaan.
Di suatu hari aku hampir saja menyerah dengan keadaan seperti ini, aku bolos berangkat ke proyek dan lebih memilih untuk bermalas-malasan di kost. Di tengah rasa lelah, gundah, dan marah seperti ini, aku membayangkan kehidupanku di masa lalu, masa dimana aku masih sekolah.
Mengenang sekolah, tentu saja Dilla juga ikut terkenang. Aku sedang mengenang saat-saat dimana aku dan dia saling memanggil bep, lucu sekali aku waktu itu. Aku ingat lagi saat aku dan Dilla hampir setiap hari bermain ke Lembang dengan kawan-kawanku yang juga berpasangan. Aku ingat saat pdkt, aku dan Dilla pergi ke sebuah mall, masuk bioskop dan nonton film dewasa disaat umurku bahkan belum menginjak lima belas tahun. Aku ingat beberapa waktu saat SMA aku pernah menjemputnya, ataupun mengantarnya pulang. Tapi, sekarang, di tengah derita ini, aku merasa Dilla semakin jauh dariku, semakin mengukir jarak antara aku dan dia, semakin tinggi dinding kokoh yang Dilla buat untuk menghalangiku.
Tak pernah lepas perhatianku untuk Dilla meski hanya lewat media sosial. Tapi yang selalu kutangkap adalah kemesraannya dengan Fikri yang sampai saat ini masih berjalan dan selalu sukses membuatku cemburu dan semua harus tahu bahwa aku benci cemburu!
Kenapa mereka bisa begitu awet? Sebaik apa lelaki itu? Sejauh mana Dilla mencintai lelaki itu? Kenapa lelaki itu bukan aku? Argh!
Selalu seperti ini kehidupanku, dalam situasi apapun selalu Dilla yang jadi pikiran utamaku. Seperti tak pernah ada ruang bahagia jika Dilla tak bersamaku. Aku terlalu mencintai Dilla lebih dari batas wajar rasa cinta manusia.

Hampir dua minggu aku di Jakarta, tebakanku benar, pamanku hanya mengujiku. Kali ini aku ditempatkan sebagai admin keuangan. Syukurlah, aku tak perlu lagi melawan panas matahari. Kali ini, aku juga akan difasilitasi kendaraan. Pamanku bertanya aku ingin memakai mobil yang mana, karena di kantor pusat memang ada beberapa mobil tak terpakai. Tapi aku tak meminta mobil karena aku tak bisa mengemudikannya dan aku memang tak begitu suka mobil, apalagi di Jakarta. Akhirnya aku minta dibelikan saja motor sport dan pamanku menyanggupi.
Entah apa ini, mungkin ini yang digariskan Tuhan untuk membawaku pada kehidupan baru sebagai pekerja. Mungkin Tuhan ingin memberiku kesibukan agar aku tak menerus memikirkan Dilla. Entah harus kusyukuri atau tidak, yang pasti aku masih rindu Dilla.

KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang