Di lembar baru ini, cerita jauh lebih berbeda dari bagian sebelumnya. Ini cerita tentang sejauh mana perjuanganku bisa melepas dan memupus perasaanku untuk Dilla.
Ini bagian dimana Dilla menempatkanku di posisi paling tidak nyaman di Dunia.
Minggu, 28 Juni 2015, tanpa pernah aku sangka bahwa hari itu adalah hari terakhir kali aku bertemu Dilla di acara buka puasa bersama kawan-kawan smp.
Setelah hari itu, dengan berat hati aku harus kembali membuka lembar baru. Lembar yang bercerita tentang semakin jauhnya Dilla, semakin bahagianya Dilla dengan pilihannya, semakin hancurnya mimpi dan tujuan yang sudah kubuat.
Aku tak pernah lagi melihat Dilla, meski aku selalu mencari cara bagaimana agar bisa berjumpa dengannya seolah tak disengaja. Tuhan belum berkenan memberiku beberapa detik yang tepat dimana mataku dan Dilla bertemu.
Disaat Dilla semakin jauh, aku malah semakin dekat dengan kelamnya masa nakalku yang sempat kutinggalkan dulu. Aku bergabung lagi di geng motor, dan kali ini aku tampil lebih menonjol dari sebelumnya. Hampir tiap minggu aku terlibat serang menyerang dengan geng motor lain yang membuat namaku melesat tinggi tanpa aku sadari. Dalam dua bulan sejak aku kembali ke geng motor, saat itu aku diangkat sebagai wakil ketua di geng motorku.
Entah kebodohan macam apa yang singgah dipikiranku saat itu, aku sangat merasa bangga memiliki banyak pasukan yang selalu ikuti apapun mauku. Entahlah, saat itu aku seperti memiliki tempat pelampiasan terbaik atas segala rasa pedih yang aku dapat selama beberapa bulan terakhir.
Di masa-masa itu, aku coba sebisa mungkin menyingkirkan Dilla sebagai pemeran utama dihatiku. Berat memang, sangat berat, aku masih saja mencari tahu apapun tentang Dilla di semua sosial media miliknya. Aku masih sering sengaja berkendara melewati rumahnya, tak jarang juga aku datang ke kampusnya, dengan setelan sangat tertutup bahkan sampai menutupi wajahku. Jika ada yang ingin tahu untuk apa aku melakukan itu, aku tak akan jawab karena akupun tak tahu, ini semacam keinginan konyolku saja. Jadi, mungkin alasannya karena aku ingin saja melakukan itu meski aku tak pernah cicipi sedikit hasil dari semua itu.
Hidupku kembali ke jalan dimana aku terlihat semakin berantakan, tapi aku tak ada sedikitpun maksud menyalahkan Dilla atas apa yang kulakukan. Ini tetap salahku, ini bodohnya aku memakai cara yang salah menghadapi risauku.
Aku sangat tahu seberapa dalam kepedihanku, dan yang tak pernah aku tahu adalah bagaimana caraku agar bisa berhenti mencari tahu apapun tentang Dilla. Aku malah tak henti melihat photo Dilla bersama Fikri. Itu pedih, harusnya bahuku yang dijadikan tempatnya bersandar, harusnya tanganku yang ia genggam, harusnya aku yang membuatnya tersenyum, dan harusnya aku yang ada disetiap mimpi dan doanya.
Suatu hari, aku pernah terlibat sebuah perbincangan dengan kawanku. Dia berkata bahwa dia sedang tidak berteman dengan aku yang sebenarnya. Aku bukanlah Evan yang ia kenal sejak dulu. Dan disaat aku mencoba untuk berpikir lebih tajam lagi, aku memang merasa terlalu banyak perubahan yang membawaku ke kehidupan yang lebih buruk lagi.
Di setiap aku akan terlibat suatu perkelahian, aku selalu ingat Dilla, tapi yang aku ingat malah rasa sakitku, sampai akhirnya membuatku lebih terpacu untuk melampiaskan segala kesalku pada orang-orang yang mengusikku dijalanan.
"Kamu beda banget, beberapa bulan ini. Kenapa?" Tanya Rey.
"Beda gimana? Biasa aja." Kujawab datar.
"Kaya ada yang ambil alih pikiran kamu, kami jadi makin beringas di jalan, bukan lagi Evan yang penyabar kaya dulu." Kata Rey.
"Perasaan kamu aja kali, Rey." Kataku.
"Kamu itu bareng aku tiap hari Van. Aku bisa nilai apapun tentang kamu. Dulu kamu udah niat buat mundur dari geng motor, kok malah balik lagi?"
"Aku nyaman seperti ini." Kataku.
"Karena apa kamu kaya gini? Terserah kamu sih sebenernya mau gimana juga, tapi sebagai sahabat ya aku wajib ingetin kamu, aku berhak tahu masalah kamu." Kata Rey.
"Tenang aja, aku baik-baik aja."
"Apa karna Dilla?" Tanya Rey.
"Nggak usah libatin Dilla." Kujawab.
"Van, kenapa masih aja sih mikirin dia? Banyak kali Van cewek yang sayang sama kamu, kenapa kamu nggak pilih cewek lain aja sih yang bisa lebih hargain perasaan kamu." Kata Rey.
"Rey, yang nasihatin tuh beda sama yang rasain. Lagian aku kaya gini bukan karna Dilla, aku cuma lagi nikmatin dunia baru aku aja. Aku jalan dulu ah." Kataku lalu pergi dengan motorku.
Di sepanjang perjalanan, aku mencoba mencerna apa yang Rey ucapkan. Rey memang benar, aku sudah terlalu banyak berubah, tapi aku pastikan lagi untuk siapapun, bahwa aku seperti ini bukan karena Dilla yang membuat rasaku bertepuk sebelah tangan. Aku sedang mencari kehidupan yang bisa menutupi rasa risauku. Entah caraku benar atau salah, yang pasti aku sedang berusaha, untuk kebahagiaanku, dan Dilla.
Di masa-masa itu hidupku terasa sangat berat, terlebih saat disiksa rasa rindu apapun tentang Dilla.
"Sedang apa Dilla? Bagaimana kabar Dilla? Bahagiakah Dilla?" Selalu saja pertanyaan-pertanyaan itu yang berputar di pikiranku. Selalu jadi tanya yang tak pernah terjawab.Malam itu, di sebuah warung kopi di Lembang, diatas dataran yang cukup tinggi, di tempat dingin yang menusuk tubuh ini, aku menitipkan sebuah kalimat kecil pada bintang, dengan harapan bahwa bintang itu bisa menyampaikannya. "Aku rindu Dilla, aku sayang Dilla."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...