Malam itu, aku sedang latihan musik di studio. Tapi saat itu aku merasakan sesuatu yang aneh, aku tak enak hati, seperti akan terjadi sesuatu. Aku latihan selama dua jam.
Saat latihan selesai, aku membuka handphoneku yang daritadi kusimpan di tas. Ada BBM dari Dilla.
"Ini maksudnya apa? Biar apa? Kalau itu cara kamu buat nyari masalah sama Fikri, kamu salah. Ilfeel!" Tanya Dilla. Dilla mengirim sebuah gambar screenshot. Di gambar itu ada beberapa komentar temanku pada fotonya Fikri di instagram. Komentar itu menghina sebuah organisasi, dan secara tidak langsung berniat mencari masalah.
"Itu bukan aku, itu emang temen aku." Kataku.
"Iya maksudnya apa? Jangan usil lah, jangan ganggu hubungan orang." Dilla marah.
"Iya maaf, sumpah aku nggak nyuruh apa-apa ke temen aku."
"Bilangin ke temen kamu, nggak usah ganggu, jadi nggak suka aja sama temen kamu."
"Iya udah maaf, tapi sumpah itu emang bukan aku. Kalau aku niat nyari masalah sama Fikri gampang. Tinggal kontak orang sana sini, ketemu, bawa, udah deh nggak usah cape." Kataku.
"Apaanlah kaya gitu, nggak keren malah jelek."
Aku memang tak punya maksud agar bisa terlihat keren di mata Dilla, tapi aku hanya ingin membuat Dilla percaya bahwa aku memang tidak melakukan itu. Mungkin caraku salah.
"Aku nggak minta dilihat keren sama kamu. Aku nggak pernah punya niat nyari masalah sama Fikri, malah aku pengen kenal biasa. Aku nggak pernah usil sama dia."
"Iya udah makasih kalau nggak usil. Suruh temen kamu hapus komentarnya."
"Iya, biar aku yang urus." Kataku menyudahi pembicaraan.
Saat itu, aku langsung melihat instagram Fikri untuk memastikan bahwa komentar itu ada. Dan ternyata komentar itu memang ada. Aku langsung telpon temanku untuk menanyakan maksud dibalik apa yang dilakukannya. Temanku bernama Deni.
"Halo, dimana Den?" Kutanya.
"Di rumah Van, kenapa?"
"Bisa ke studio?"
"Kapan?" Tanya Deni.
"Sekarang."
"Iya, aku kesitu sekarang."
Tak lama, Deni tiba di studio. Aku langsung menghampirinya.
"Kamu apa-apaan kaya gini?" Kutanya Deni sambil menunjukkan handphoneku.
"Iseng aja Van."
"Ngapain iseng kaya gitu?"
"Pengen aja Van, lagi bete."
Aku kesal mendengar jawabannya yang sangat dingin seolah tak bersalah sedikitpun. Aku menampar wajahnya sangat keras. Deni kaget, tapi tak berani melawan.
"Kamu kenapa Van?" Tanya Deni yang masih memegang pipinya yang memerah.
"Kamu kalau nyari masalah mikir dulu! Jangan seenaknya!"
Aku langsung pergi meninggalkan Deni. Aku tak mau melihat wajahnya lagi, aku merasa sangat kesal padanya. Disaat Dilla baru saja kembali berkomunikasi dan menjalin hubungan yang baik denganku, kini jadi rusak gara-gara ulah temanku sendiri.
Aku tak tahu bagaimana cara agar Dilla mau memaafkanku. Yang jelas, saat itu Dilla sangat membenciku. Dilla seperti tak mau kenal lagi denganku. Mungkin Dilla mengira bahwa akulah yang meminta temanku itu untuk mengganggu Fikri. Tapi kenyataannya tidak, aku berharap suatu saat nanti Dilla akan tahu. Dan mungkin inilah yang membuat perasaanku tak nyaman saat tadi latihan. Aku sangat tak menduga akan jadi seperti ini. Selalu saja ada hal yang membuat Dilla semakin menjauh dariku."Dilla, maafkan aku, jika memang sangat bersalah di matamu. Akupun tak tahu mengapa ini bisa terjadi. Aku tak mau kamu membenciku. Aku tak akan pernah mau. Maafkan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...