Setelah ujian nasional selesai, aku kira, aku sudah bisa tenang. Tapi nyatanya, aku harus menyelesaikan beberapa pelajaran lagi yang nilainya belum tuntas.
Saat itu, salah satu murid di kelasku mengumumkan siapa saja yang harus memperbaiki nilai pelajaran bahasa sunda. Aku sudah yakin bahwa namaku akan disebut, tapi aku tenang saja, bukan hal aneh bagiku harus mengerjakan remedial seperti ini, aku sudah terbiasa dengan ini. Di kelasku, cukup banyak murid yang harus mengerjakan remedial bahasa sunda. Ada sekitar sepuluh orang. Aku sedikit kaget saat mendengar nama Dilla disebut. Aku sempat tak menyangka mengapa Dilla termasuk daftar murid yang harus memperbaiki nilai, tapi itu tak membuat rasa sukaku padanya berkurang. Aku malah senang, mungkin dengan adanya remedial ini, bisa memberiku jalan untuk bisa lebih dekat dengan Dilla. Mungkin nanti aku bisa duduk atau menatapnya lebih dekat. Karena selama ini tempat dudukku dan Dilla cukup berjauhan, dan aku tak pernah bicara satu kalimatpun pada Dilla selama lebih dari sembilan bulan belajar di satu kelas.
Hari itu, semua murid yang remedial pergi menuju rumah guruku yang letaknya tak jauh dari sekolahku. Aku datang sedikit telat. Disana aku melihat Dilla bersama sahabatnya. Seingatku, namanya Mega. Teman-temanku yang lain juga ada disana.
Di rumah guruku, aku dan teman-temanku disambut baik oleh guruku. Aku merasa aneh, mengapa guruku masih bisa bersikap ramah terhadap murid-murid yang tak mampu menyelesaikan pelajarannya dengan baik. Disana, guruku memberi tugas kepadaku dan teman-temanku. Selama guruku menerangkan tentang apa yang harus dikerjakan, yang aku perhatikan bukanlah guruku, tapi Dilla. Dilla yang saat itu duduk di karpet di samping meja ruang tamu, Dilla yang saat itu tengah serius mencatat apa yang menjadi tugasnya. Dilla yang saat itu hanya berjarak dua meter dariku. Sumpah, Dilla terlihat sangat manis saat itu. Lebih manis dari kue cupcake yang dijual di restoran mewah manapun, lebih cantik dari artis sekelas Emma Watson sekalipun. Aku dibuat semakin jatuh hati padanya.
Setelah pembagian tugas selesai, aku dan teman-temanku tidak langsung pulang. Kita berbincang tentang tugas yang akan dikerjakan agar bisa saling kerja sama untuk menyelesaikannya.
Saat itu, Dilla meminta nomor telponku, mungkin agar bisa saling bantu saat mengerjakan tugas. Tentu saja dengan senang hati aku memberikannya, sangat tak mungkin jika aku menolaknya, aku tak akan sebodoh itu. Akupun bertukar nomor telpon dengan Dilla.
Setelah semua urusan selesai, aku memutuskan untuk pulang, membawa perasaan senang, suasana hati yang berseri-seri, sampai membuatku bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan. Tak sedikitpun aku menyesal harus mengerjakan remedial ini, aku malah ingin mengucapkan terimakasih pada kebodohanku, yang membuatku harus mengerjakan tugas remedial, lalu memberiku pintu masuk menuju Dilla. Tak apa jika semua pelajaranku harus remedial, asalkan Dilla juga sama. Ah, senangnya.
Saat malam tiba, aku disiksa rasa bingung. Aku sedang memutar otakku, bukan untuk mengerjakan tugas remedialku, tapi aku ingin sekali mengirim SMS pada Dilla, tapi aku tak tahu harus bicara apa. Aku sangat kaku, dan aku benar-benar tak tahu apa yang bisa kubicarakan dengannya. Aku takut membawanya ke sebuah perbincangan yang tidak menarik lalu membuatnya bosan, dan akhirnya dia tak bisa suka padaku. Ah, aku takut sekali.
Setelah aku berpikir cukup lama, aku memberanikan diri untuk mengirim SMS pada Dilla.
"Malam, tugas udah selesai?"
Untuk bertanya seperti itu saja aku sudah gugup setengah mati. Jantungku berdebar kencang. Membuatki ingin segera menerima balasan dari Dilla.
Tak lama, Dilla membalas pesanku.
"Belum, kamu udah?" Tanya Dilla.
"Belum juga, hehe." Kubalas.
Ah! Aku kesal pada diriku sendiri, mengapa aku bisa kaku seperti ini? Aku ingin sekali berbincang banyak hal dengan Dilla malam ini, tapi beginilah aku, lagi-lagi harus gugup. Aku bingung, apa aku harus bertanya pada temanku tentang bagaimana cara mendekati wanita? Sepertinya aku takkan pernah mau, rasa gengsiku masih terlalu tinggi untuk melakukan itu. Aku mencoba untuk tak terlalu memikirkan hal itu, tunggu nanti saja, mungkin akan segera terbiasa, aku yakin nanti keberanianku terkumpul dengan sendirinya.
Meski aku belum bisa berbicara lepas dengan Dilla, tapi kurasa apa yang kudapat hari ini sudah lebih dari cukup. Mungkin remedia yang kudapat adalah pintu pertama yang Tuhan berikan untukku agar bisa mendapatkan Dilla. Jika aku tak punya tugas remedial, entah dari mana aku akan memulai untuk dekati Dilla. Sejak saat itu, Dilla sudah menjadi ratu di pikiranku. Hatiku terus membicarakan Dilla.
"Selamat malam Dilla. Kupikir, kita mendapat tugas remedial bukan karena kita bodoh, tapi ini adalah rencan Tuhan untuk mempersatukan kita. Sekarang aku belum bisa apa-apa. Tapi kamu harus percaya bahwa aku dan kamu akan segera bersatu sebagai sepasang kekasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...