Tak Lagi Sama

1.1K 54 0
                                    

1 Januari 2011, menjadi hari dimana aku dan Dilla membuka lembaran baru di atas kertas kosong yang akan segera kubuat berwarna. Aku berharap hubunganku yang sekarang bisa lebih baik dari sebelumnya, dan aku juga berharap tak akan lagi ada kalimat putus yang terucap dari bibirku ataupun Dilla.
Jam tiga dini hari, aku masih berkeliling di kota Bandung. Aku dan teman-temanku belum merasa puas untuk merayakan pergantian tahun. Tapi bagiku, hari ini bukan hanya perayaan tahun baru, tapi perayaan hari jadiku dengan Dilla. Akulah orang yang paling bahagia di antara teman-temanku semua.
Saat aku dan teman-temanku tengah asyik berkeliling kota, handphoneku berdering. Aku langsung membukanya. Ternyata telpon dari Ayahku.
"Kamu dimana?" Tanya ayahku.
"Bandung. Kenapa?"
"Nanti jam lima pagi ayah jemput."
"Kemana? Ngapain?"
"Kan ke Jakarta." Jawab Ayahku.
"Nggak bisa nanti?"
"Nggak, kamu udah berulang kali nolak. Lagian apa salahnya coba nemuin keluarga kamu sendiri?" Tanya Ayahku dengan nada sedikit menyentak.
"Iya deh, nggak usah bawel. Assalamualaikum." Aku langsung tutup telponnya.
Sial, ternyata Ayahku menagih janjiku untuk menemui keluargaku di Jakarta. Ayah dan Ibuku bercerai saat aku berumur empat tahun. Sejak itu aku tak pernah berkomunikasi dengan keluarga dari pihak Ayahku. Dan sekarang, Ayahku memintaku untuk menjalin lagi tali silaturahmi, dengan terpaksa aku harus menurutinya. Yang paling membuatku kesal, aku tak bisa berjumpa dengan Dilla di hari pertama aku dan dia pacaran lagi. Ah, pokoknya aku sangat kesal.
Aku meminta Arif untuk mengantarku pulang. Dengan senang hati dia mau mengantarku, dan ternyata teman-temanku yang lain juga memutuskan untuk pulang.
Setibanya di Rumah, aku langsung membereskan barang-barangku. Karena rencananya aku akan menginap untuk beberapa hari. Bisa kupastikan bahwa beberapa hari kedepan akan menjadi hari paling membosankan di hidupku. Meski orang-orang disana adalah keluargaku, tapi aku tak mengenali satupun dari mereka, kecuali Ayahku.
Hari pertama di Jakarta, aku merasa seperti anak yang baru saja di adopsi dari panti asuhan. Aku diperkenalkan lagi pada keluargaku, disaat umurku sudah lima belas tahun.
Disana, keluargaku hanya membicarakan hal-hal yang membosankan, dan sangat tak penting bagiku. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar, lebih baik aku SMS Dilla, aku sangat merindukannya.
Hari kedua, ketiga, dan keempat, masih sama bahkan semakin membosankan. Aku sudah muak, aku ingin segera pergi dari tempat ini. Hatiku tak disini, tapi hatiku bersama Dilla di Bandung.
Di hari keempat, aku menerima telpon dari sahabatku, Rey.
"Dimana kamu Van?" Tanya Rey.
"Masih di Jakarta." Kujawab.
"Cepet balik dong, kita latihan bareng, bentar lagi kompetisi." Kata Rey.
"Iya deh, dari kemarin udah pengen pulang."
"Iya udah, usahain besok atau lusa udah disini."
"Siap." Kataku langsung menutup telponnya.
Aku baru ingat bahwa beberapa minggu lagi ada kompetisi game online, ini tak boleh kulewatkan. Rey adalah rekan satu timku, makanya dia memintaku untuk segera pulang.
Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar aku bisa pulang. Saat itu, tak ada cara lain selain berbohong. Aku segera menghampiri Ayahku yang saat itu sedang makan siang.
"Yah, kayanya hari ini aku harus pulang." Kataku.
"Kenapa?" Tanya Ayah.
"Barusan pelatih futsalku nelpon, besok harus ke Karawang, ada turnamen besar." Kujawab.
"Nggak bisa izin?"
"Nggak, aku kan kapten tim, wajib ikut." Kataku.
"Kalau kamu pulang sekarang, Ayah nggak bisa anter."
"Nggak apa-apa, aku naik bis aja." Kataku.
"Iya udah terserah kamu aja." Kata Ayah.
Ya! Akhirnya aku diizinkan pulang. Meski Ayah terlihat cemberut, aku tak peduli, yang penting aku bisa pulang.
Aku langsung mengemas barang-barangku, lalu aku diantar Ayah sampai terminal.
Saat bis mulai berjalan, dalam hati aku mengucapkan selamat tinggal pada kota yang membuatku disiksa rasa bosan.
Perjalanan menuju Bandung menghabiskan waktu tiga jam.
Setibanya di rumah, tanpa istirahat, aku langsung menemui teman-temanku di warnet. Sebenarnya, aku merasa bahwa aku sedikit melupakan Dilla. Harusnya Dilla jadi orang pertama yang harus ku temui saat aku sudah kembali ke Bandung. Tapi aku tak mencari Dilla, aku malah mencari teman-temanku untuk main game. Aku tak berani bilang bahwa aku disibukkan oleh game online.
Sejak saat itu, aku lebih sering menghabiskan waktuku di warnet, aku jadi lebih gila dari sebelumnya, mungkin karena aku sangat antusias menyambut kompetisi game ini. Aku habiskan waktu dan uangku untuk game online, mulai dari bayar komputernya, voucher untuk membeli senjata di game itu, juga cemilan yang harus menemaniku tiap main game. Saking borosnya, aku tak mampu menyisihkan uangku untuk membeli pulsa. Komunikasikubdengan Dilla jadi berkurang, aku tahu bahwa aku membuat Dilla merasa tak kupedulikan. Aku hanya sempat mengabarinya lewat facebook, dan itupun jarang.
Semakin hari, aku malah semakin fokus pada game online, karena kompetisi itu semakin dekat. Aku selalu merasa rindu pada Dilla, tapi hobiku lebih kuat menggodaku saat itu. Dilla seringkali ku tinggalkan. Saat aku membuka facebooknya, aku melihat Dilla menulis beberapa status yang ditujukan padaku. Seperti yang ia tulis pada tanggal 13 januari 2011.
"Ya udahlah, terserah kamu aja. Kamu emang beda, nggak kaya dulu lagi."
Aku mengomentari status itu hanya dengan satu kata "Maaf."
Saat itu, Dilla masih memaafkanku. Tapi aku sendiri tak mengerti mengapa aku tak bisa berubah, aku masih tetap begini. Mementingkan game online daripada orang yang kusayangi.
Semakin hari hubunganku dengan Dilla semakin berantakan. Aku merasa Dilla tak sanggup lagi dengan tingkahku.
Dilla menulis status lagi di facebooknya.
"Serasa masih jomblo."
Aku sangat tahu apa yang Dilla rasakan. Aku akan melakukan hal yang sama jika aku ada di posisi Dilla. Aku menyayangi Dilla, sangat menyayanginya. Tapi aku sendiri tak tahu mengapa aku lebih mementingkan hal lain dan tak sedikitpun mencoba untuk mengerti perasaan Dilla. Aku tak bisa menjelaskannya. Aku berkata pada Dilla, jika ia sudah tak sanggup lagi, aku mengizinkannya pergi kapanpun ia mau. Dan sepertinya sekarang Dilla benar-benar tak sanggup lagi. Aku tahu sekarang Dilla sangat menyayangiku, makanya dia tak berani untuk memutuskanku.
23 januari, Dilla menulis status lagi di facebooknya.
"Kalau emang udah nggak sayang dan nggak peduli sama aku, lebih baik putusin aku aja."
Aku langsung menghubungi Dilla lewat SMS untuk membicarakan kelanjutan hubungan kita.
Dan sepertinya aku tak bisa mempertahankan hubungan ini. Aku membiarkan Dilla pergi, aku tak mau membuatnya lebih tersiksa lagi. Bagi Dilla, hubungan ini berakhir tanpa alasan yang jelas, sama seperti hubungan sebelumnya. Tapi aku berani bersumpah bahwa tak ada sedikitpun maksud untuk balas dendam.
Aku mengomentari status yang Dilla tulis tadi.
"TERKABUL!"
Itu adalah pemberitahuan tertulis bahwa hubunganku dengan Dilla sudah berakhir. Dilla membalas komentarku.
"Emang itu mau kamu kan? Selamat ya udah single."
Sebenarnya aku tak pernah mau seperti ini. Tapi aku tak bisa menjelaskan mengapa aku bisa seberani ini meninggalkan orang yang saat itu sangat menyayangiku. Aku menyayangi Dilla, aku berharap jika suatu saat nanti Dilla tahu apa yang membuatku membiarkannya pergi, Dilla mau memaafkanku. Aku tak pernah berniat menyakiti Dilla. Semoga Dilla mengerti, saat ini aku tak bisa meninggalkan hobiku, duniaku.
Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengan temanku yang merupakan teman sekelasnya Dilla. Temanku memberitahuku bahwa Dilla menangis di kelasnya. Aku tak menjawab apapun, aku langsung pergi dari hadapan temanku itu. Aku menyesal mendengar kabar itu, membuatku semakin merasa bersalah.
Suatu malam, aku juga menangisi Dilla. Aku kesal pada diriku sendiri atas apa yang telah kulakukan.
Maafkan aku Dilla, maafkan keegoisanku. Maafkan aku yang tak lagi sama seperti dulu. Aku mencintaimu, aku menyayangimu sekeras mungkin. Jika kamu punya rasa yang sama, aku yakin suatu hari nanti kita akan jumpa lagi dengan diriku yang baru, yang sudah benar-benar puas dengan duniaku. Aku tak mau menyakitimu, sekali lagi maafkan aku harus melepasmu.
Aku sayang kamu, meski aku tak lagi sama seperti dulu.

KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang