Cahaya matahari pagi masuk menyelinap ke kamarku, membuatku harus menyudahi mimipi indahku semalam. Aku memimpikan Dilla sedang bersamaku. Iya, itu mimpi indah, harusnya aku bisa tidur lebih lama lagi.
Saat itu, aku langsung membuka handphoneku untuk meminta foto Dilla pada Azzuri seperti biasa. Tak lama, Azzuri mengirimkan foto itu. Saat itu Dilla memakai foto bersama Fikri. Aku hanya tersenyum meratapi takdir yang kini tak berpihak padaku. Andai saja Dilla bersamaku di foto itu.
Tak lama, Rini masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu.
"Heh, jam berapa ini? Masih tiduran aja." Kata Rini lalu duduk di sampingku.
"Lagi males ngapa-ngapain." Kataku.
"Eh, foto siapa ini?" Tanya Rini lalu menatap foto Dilla yang baru tadi malam kupajang.
"Mahakarya Tuhan." Kataku.
"Yaelah lebay banget. Eh, tapi cantik deh, pacar kamu ini?" Tanya Rini.
"Bukan." Kataku. Aku masih fokus pada handphoneku.
"Terus siapa? Kok dipajang? Cerita dong, lagi kepo nih." Kata Rini.
"Dia itu cewek yang paling aku sayang." Kataku.
"Tapi kan bukan pacar kamu? Statusnya apa kalau gitu?" Tanya Rini.
"Mantan. Dia pacar pertamaku, cinta pertamaku, dulu dia sayang banget sama aku." Kataku.
"Dulu? Kalau sekarang?"
"Ada yang lebih dia sayang." Kujawab.
"Kenapa bisa?"
"Dulu aku sia-siain dia."
"Sia-siain gimana?" Tanya Rini semakin penasaran.
"Dulu, waktu pacaran, aku sering ninggalin dia cuma buat hobi aku sendiri sampai akhirnya putus. Terus aku bikin dia nunggu bertahun-tahun. Pas aku balik lagi ke dia, dia udah punya orang lain." Kataku.
"Kamu yang salah sih, cewek emang paling nggak suka buat nunggu." Kata Rini.
"Iya, aku tahu. Beberapa bulan kemarin aku udah usaha ngambil dia lagi, tapi sekarang keadaanya udah beda, dia udah telanjur sayang sama orang lain." Kataku.
"Iya udah, kalau gitu biarin aja dia sama kebahagiaannya sendiri. Udahlah, jangan diganggu. Kasian dia, udah kamu bikin nunggu bertahun-tahun, terus sekarang dia udah bahagia, masa mau kamu ganggu?" Kata Rini.
"Pengen banget Rin, aku pengen banget buat berhenti ganggu dia. Tapi aku juga nggak bisa nahan diri buat terus bilang ke dia kalau aku masih sayang sama dia, masih berharap sama dia." Kataku.
"Dia tahu kalau sekarang kamu sayang banget sama dia?"
"Pasti, aku yakin pasti dia tahu. Dia itu cewek yang baik, makanya dia lebih menghargai pacarnya yang sekarang." Kataku.
"Hubungan kamu sama dia gimana sekarang?" Tanya Rini.
"Jauh banget pokoknya." Kujawab.
"Iya udah deh lepasin aja, jangan nyiksa diri gitu." Kata Rini.
"Iya, gimana nanti. Aku kesel sama diri sendiri, nggak nunjukkin rasa sayang aku sama dia pas ada kesempatan. Aku malah mohon-mohon saat semuanya terlambat." Kataku.
"Kan semua juga nggak tahu masa depan kaya gimana." Kata Rini.
"Nah, itu bener." Kataku.
"Kamu emang nggak ada niat buat berpaling gitu?" Tanya Rini.
"Ada. Dari dulu juga udah ada, tapi sia-sia. Ujung-ujungnya malah inget dia lagi, susah emang."
"Susah karena belum terbiasa." Kata Rini.
"Aku belum punya keinginan buat bisa terbiasa tanpa dia." Kataku.
"Nanti juga ada, yakin deh. Emang segimana sih rasa sayang kamu sama dia?" Tanya Rini.
"Ah, udah nggak bisa diungkapin lagi sama kata-kata."
"Daripada kaya gini terus, mending keluar yuk. Kita olahraga. Galau itu jangan dijadiin rutinitas. Kamu kan hidup bukan cuma buat dia aja, masih ada orang tua kamu, keluarga kamu." Ajak Rini.
"Tuh kan, ujung-ujungnya diceramahin." Kataku.
"Abisnya kamu gitu, nggak ada semangat banget sih. Udah deh kita jalan-jalan, siapa tahu ketemu cewek cantik yang bisa bikin kamu lupa sama dia, cewek Jakarta kan nggak kalah cantik sama cewek di Bandung." Kata Rini.
"Iya deh." Kataku lalu beranjak dari tempat tidur.
"Iya udah, mandinya jangan lama. Sarapan kamu udah disiapin."
"Siap Komandan." Kataku.
"Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang." Rini berjalan keluar sambil mengejekku dengan sebuah lagu. Aku dibuatnya tertawa.
Aku tak menyangka bisa curhat dengan Rini sepagi ini. Tapi aku suka cara dia berpikir. Aku memang hidup bukan hanya untuk Dilla, masih ada orang lain yang harus kusayangi. Aku harus segera membangun semangatku lagi. Aku tak boleh menjadikan risau sebagai rutinitasku. Aku menyayangi Dilla, tapi aku juga harus bisa menyayangi dirku sendiri, aku tak boleh menyiksa diri lebih lama lagi. Aku yakin, kebaikan akan berpihak pada orang yang bersabar. Dan aku sangat yakin bahwa Tuhan takkan pernah tega melihat hambaNya terus seperti ini.
Aku bangkit dari tempat tidurku lalu menuju kamar mandi untuk bersiap-siap.
Saat itu, Rini mengajakku ke sebuah cafe kecil tempat dia biasa nongkrong. Disana ada teman-temannya Rini. Aku diperkenalkan pada mereka semua.
"Silakan pilih Van." Rini berbisik.
Aku hanya tersenyum menatap Rini. Teman-teman Rini memang cantik dengan penampilannya yang serba glamour. Tapi aku tak sedikitpun tertarik. Aku banyak berdiam dengan mata yang terus menatap layar handphoneku. Aku hanya membuka foto-foto Dilla yang kusimpan di handphoneku. Sumpah, rindu macam ini tak mudah untuk kulawan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...