Beberapa bulan setelah aku putus dari Riska, aku dekat lagi dengan Dilla. Entah mengapa, kemanapun aku pergi, hatiku selalu menunjuk Dilla. Dilla tak pernah pergi dari ingatanku. Meski tanpa status pacaran, aku yakin aku dan Dilla masih saling sayang.
Tak terasa, masa SMAku hampir usai. Masa-masa yang katanya fase paling indah dalam kehidupan, masa yang katanya tak akan pernah bisa diulang.
Sampai detik ini, Dilla masih bertahan di dekatku. Sejak masa akhir SMP hingga masa SMAku usai.
Saat itu, Sekolah Dilla mengadakan sebuah acara perpisahan ke Pangandaran. Aku meminta Dilla membawakanku oleh-oleh dari sana.
Keesokan harinya Dilla pulang, Dilla memintaku datang ke rumahnya untuk mengambil oleh-oleh yang ia janjikan.
Malam itu, aku langsung pergi ke rumah Dilla. Saat aku tiba di depan rumahnya, Dilla keluar dari rumahnya sambil memamerkan senyum manisnya seperti biasa. Dilla memberiku sebuah baju berwarna putih yang sejak saat itu menjadi baju favoritku. Baju itu menjadi baju yang paling sering kupakai kemanapun aku pergi. Aku datang ke rumah Dilla bukan hanya untuk mengambil olrh -oleh itu, Aku dan Dilla juga berbincang tentang rencana hidup selanjutnya. Aku dan Dilla berbincang di depan rumahnya.
"Kamu mau lanjut kemana?" Tanya Dilla
"Maunya sih ke perguruan tinggi." Kujawab.
"Hah? Yakin bisa emang?" Tanya Dilla lagi.
"Nggak tahu juga sih, usahain aja."
"Kalau aku kayanya nggak kuat deh." Kata Dilla.
"Itu kan kamu, bukan aku." Kataku tertawa.
Aku memang dituntut keluargaku untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Tapi aku gagal melewati tesnya. Aku membuat keluargaku kecewa. Ayahku memintaku untuj mengambil kursus agar bisa melewati tes masuk perguruan tinggi tahun depan. Ayahku melarangku untuk bekerja. Katanya, jika aku telanjur nyaman mencari uang, aku akan malas untuk kuliah. Keluarga dari pihak Ayahku mewajibkan semua anggota keluarganya memiliki gelar sarjana. Sebenarnya, aku tak merasa keberatan, karena iti juga merupakan bagian dari cita-citaku. Aku akan merasa bangga jika suatu saat nanti aku menikah, ada gelar di belakang namaku. Dan aku akan lebih bangga juga bahagia jika ada nama Dilla di undangan itu, aku pernah membayangkannya. Semoga itu terjadi.
Beberapa bulan kemudian, ada satu hari yang akan selalu kuingat sebagai hari terindah di hidupku, tepatnya tanggal 12 oktober 2013. Hari dimana aku berulang tahun yang ke delapan belas.
Saat tanggal dua belas baru berjalan beberapa menit, Dilla menjadi orang kedua yang mengucapkan ulang tahun untukku. Yang pertama adalah Ibuku. Dilla menghadiahiku sebuah gambar yang ia kirim lewat BBM. Aku sedikit membuat Dilla kesal karena aku bilang bahwa gambarannya seperti anak TK. Tapi bukan berarti gambarannya itu jelek. Aku tak bermaksud begitu. Aku sangat menghargai itu, itu adalah kado terindah yang pernah Dilla berikan. Dan aku sangat tahu perjuangan Dilla membuat gambar itu yang menghabiskan waktu beberapa jam.
Selain itu, Dilla juga mengirim ucapan ulang tahunnya lewat voice note.
"Selamat ulang tahun Evan, semoga panjang umur, semoga sukses. Kalau novelnya udah beres, aku mau baca ya. Kayanya segitu aja deh." Kata Dilla.
Beberapa bulan yang lalu, aku pernah bercerita pada Dilla bahwa aku sedang menulis sebuah buku. aku juga bercerita pada Dilla bahwa aku mendekati wanita yang lebih tua dariku untuk mencari cerita dari dia untuk kujadikan novel. Dilla berkata bahwa caraku itu sangat bagus.
"Terimakasih Dilla, itu kado terindah untukku. Dan hari ini adalah hari ulanh tahun terindah yang pernah aku lewati sepanjang hidupku." Ucapku dalam hati.
Beberapa minggu kemudian, aku pindah ke Jakarta untuk tinggal bersama Omku. Aku merasa bosan jika harus libur dari segala aktivitas. Disana, aku diajarkan banyak ilmu tentang arsitektur. Sebenarnya, disana aku juga bekerja, tanpa sepengetahuan Ayahku.
Aku mulai disibukkan banyak hal, yang membuatku hilang kontak dengan Dilla. Terakhir aku mendengar kabar tentang Dilla, dia kuliah di sebuah universitas yang tak jauh dari rumahnya, dan Dilla mengambil jurusan keperawatan. Aku juga mendengar kabar bahwa Dilla pernah berpacaran dengan lelaki yang katanya teman SD Dilla yang dijumpainya saat acara reuni. Tapi katanya hubungan mereka tak berlangsung lama. Entah karena apa.
Selama aku jauh dari Dilla, aku tak pernah sedikitpun melupakannya, karena aku melepas satu foto Dilla yang kupajang di kamar, lalu kusimpan foto itu di dompetku. Tentu saja hal itu selalu membuatku rindu setiap kali aku membuka dompetku. Tapi, suatu hari dompet itu hilang saat aku menonton sebuah acara band besar di Senayan.
Selama aku jauh dari Dilla, aku selalu menyebutnya dalam doaku. Aku hanya ingin dia baik-baik saja, dan aku ingin dia bahagia. Aku yakin, suatu hari nanti aku akan jadi alasan dibalik kebahagiaannya.
Sampai detik ini, aku masih menyayangi Dilla. Jika ada yang ingin memaksaku untuk menghapus perasaanku untuk Dilla, silakan lakukan. Aku yakin apa yang kalian lakukan akan sia-sia.
Maret 2014, aku kembali ke kotaku. Berjumpa kembali demgan sahabatku, melampiaskan rasa rindu yang kupendam.
Setelah beberapa minggu disini, aku juga merasa rindu pada Dilla. Seperti biasa, aku tak bisa berkata padanya, dan aku tak bisa memberi alasan yang jelas.
Suatu hari, aku mengajak Iyus jalan-jalan ke tempat-tempat yang menjadi kenangan di hidupku. Tempat pertama yang aku tuju adalah sebuah warung kecil tempat aku dan Dilla biasa jajan saat masa-masa pertama pacaran. Warung itu berjarak puluhan meter dari SMPku. Setibanya disana, aku merasa kaget karena ternyata warung itu sudah tak ada, bangunannya sudah berubah. Aku sedikit sedih.
Aku memutuskan untuk pergi ke tempat wisata di Lembang. Aku ingin memastikan tulisan yang kuukir dulu masih ada. Betapa bahagianya aku setelah mengetahui ternyata tulisan itu masih ada. Semoga tulisan itu akan tetap ada, seperti perasaanku untuk Dilla. Disana, aku dan Iyus bersenang-senang sampai matahari terbenam. Sebelum pulang, aku sengaja lewat rumah Dilla seperti yang biasa aku lakukan dulu. Tapi saat itu rumah Dilla dalam keadaan sepi. Sumpah, aku rindu Dilla.
Beberapa bulan setelah aku kembali disini, aku merasa kehidupanku sangat berubah. Sekarang aku anggota sebuah geng motor. Aku tak tahu kapan dan siapa yang membawaku ke lingkungan seperti ini. Berkelahi, tawuran, arau berurusan dengan polisi menjadi hal yang tak aneh bagiku. Memukuli orang sampai pingsan? Pernah. Dipukuli orang sampai babak belur? Pernah juga. Itu biasa, sudah tak asing lagi. Tapi aku tak pernah memukuli orang-orang tak bersalah. Harus diketahui bahwa tidak semua anggota geng motor itu selalu berulah atau melakukan hal yang negatif.
Ini adalah masa yang paling seru dan berbahaya di hidupku, ini juga masa yang cukup kelam di hidupku.
Sejak hidup di geng motor, aku jadi merasa disegani banyak orang, dihargai banyak orang. Selama di geng motor, aku dididik untuk jadi laki-laki yang bertanggung jawab. Aku diajarkan untuk menjaga nama baik diriku sendiri dan geng motorku. Aku diajarkan untuk menjaga harga diriku sebagai lelaki, tapi bukan berarti selalu siap untuk berkelahi. Aku mendapatkan banyak pengalaman dan pelajaran dari geng motor. Dari yang kudapat di geng motor, kurasa aku sudah bisa menjaga Dilla dengan segala kemampuanku. Aku janji tak akan ada yang berani menyakitinya.
Sudah cukup lama aku jauh dari Dilla. Mungkin tak lama lagi aku akan segera pulang ke pelabuhan pertamaku. Kuharap Dilla menyambutku dengan manis saat aku pulang nanti.
"Dilla, aku rindu, tunggu aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomansaBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...