Cukup lama komunikasiku terputus dengan Dilla. Aku berusaha mencari ketenangan atas beberapa kejadian akhir-akhir ini. Aku mencoba mencerna apa yang dilakukan Dilla padaku. Tapi entah mengapa, sesakit apapun pedih yang kuterima, aku tak bisa sedikitpun membenci Dilla. Dilla selalu menjadi wanita kedua yang paling kucintai setelah Ibu. Dilla selalu menjadi ceritaku pada mereka yang sedang mencoba mengerti keadaanku.
Akhir-akhir ini, aku jadi sering menghabiskan waktu di Bogor. Aku sedang begitu rindu kesejukan. Suatu malam, aku pergi ke sebuah cafe di kawasan Sentul untuk makan. Aku sendiri dan duduk di meja yang diperuntukkan untuk dua orang. Cafe terlihat sangat penuh saat itu, hampir tak ada satupun meja yang kosong.
Saat itu, ada seorang wanita memakai pakaian serba putih yang merupakan seragam perawat. Dia kebingungan mencari meja yang kosong, lalu entah bagaimana awalnya, aku dan dia saling menatap dan aku memberikan sedikit senyumku untuknya. Lalu wanita itu menghampiriku dan berkata "Boleh ikut duduk disini?"
"Tentu." Kujawab.
"Mikha, Mikhaila." Katanya sambil menyerahkan tangannya untuk kujabat.
"Evan." Kataku.
Kutatap Mikha, tak terlihat mirip dengan Dilla sebenarnya. Tapi entah mengapa aku merasa sedang berhadapan dengan Dilla saat itu, tapi bukan karena mereka punya profesi yang sama. Senyum manisnya, gerak-geriknya hampir sama.
"Stay dimana? Aku harus panggil apa? Mas? Bang? Aa?" Tanya Mikha.
"Aku di Jakarta. Panggil nama aja." Kataku.
"Oh, oke deh. Ini nggak apa-apa kan aku duduk disini? Abis penuh banget ini cafe." Katanya.
"Iya nggak apa-apa, santai aja lagian aku juga sendiri. Kamu perawat? Kerja dimana?" Kataku.
"Aku di klinik." Jawab Mikha. "Kamu? Kerja atau kuliah?" Tanya Mikha.
"Aku kerja, kuliah sih baru aja mau masuk." Kujawab.
Begitulah perkenalan singkatku dengan Mikha yang berujung perbincangan panjang mengenai kehidupan kita masing-masing.
Dari cara bicara, cara becandanya, cara ngeyelnya itu Dilla banget, aku tahu. Dia semacam manusia kiriman Tuhan untuk menggantikan posisi Dilla di hatiku. Dia orang yang asyik, bawel, murah senyum, seperti Dilla banget deh pokoknya.
Setelah hampir dua jam bersama di Cafe itu, aku dan Mikha akan pulang. Aku berniat untuk mengantarnya, tapi ternyata dia membawa kendaraan sendiri. Kami pun berpisah menuju arah berbeda. Tadi, dia memintaku untuk bertukar kontak. Dengan senang hati aku memberikannya.
Semakin hari, aku dan Mikha lebih saling mengenal. Kita jadi sering bertemu, bahkan pergi jalan bersama.
Dari yang kutahu, Mikha adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, terlahir dari keluarga sederhana, namun Mikha tumbuh menjadi seorang wanita mandiri yang tidak menggantungkan hidupnya pada orang tuanya. Mikha berumur dua tahun lebih tua dariku.
Setelah lebih saling mengenal, Aku mulai merasakan ada sesuatu yang beda di hatiku, aku mulai merasakan suka dan sayang pada Mikha. Meski di sisi lain aku tetap tak bisa melepaskan Dilla dari hatiku.
Entah apa yang membuatku suka pada Mikha, mungkin karena dia punya banyak kesamaan dengan Dilla. Tapi, sejujurnya, Dilla takkan pernah bisa terganti. Aku masih mengawasinya. Dilla kembali bersama Fikri, entah apa yang membuaf Dilla putus dengan Rendi. Aku sempat berpikir bahwa Rendi hanya dijadikan pelampiasan saja. Saat itu, aku berani akui bahwa memang hanyalah Fikri alasan dibalik bahagianya Dilla. Tapi aku yakin, suatu saat aku akan ada di posisi itu."Selamat malam Dilla, Mikha."
*Untuk bab berikutnya di private. Silakan follow agar bisa membaca seluruh isi cerita. Jangan sungkan untuk minta follow back.
Terimakasih....
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...