Setelah lebih dari satu bulan aku dan Dilla berpisah, aku masih bisa hidup baik-baik saja, meski sebenarnya hati kecilku masih mengharapkan hadirnya. Ini resiko yang harus kutanggung. Terlalu cinta pada orang yang salah.,
Suatu hari, saat aku membuka akun facebookku, aku melihat Dilla menulis sebuah lirik lagu di akun facebooknya. Lirik lagu itu ditujukan pada orang yang berinisial "A". Dan aku tahu orang yang dimaksud Dilla. Siapa lagi jika bukan Asyari? Aku hanya tersenyum melihat tulisan itu, ternyata Dilla sudah tak mau memberiku tempat di hatinya. Dilla sudah benar-benar pergi, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Dilla kembali pada cintanya yang dulu. Mungkin selama ini aku hanya dijadikannya tempat singgah atau pengisi kekosongannya saja. Mungkin Asyarilah lelaki yang benar-benar dicintai Dilla.
Aku pikir, mungkin ini saat yang tepat bagiku untuk jatuh cinta lagi. Jika Dilla bisa bahagia, aku harus bisa lebih bahagia, aku pasti bisa. Aku sadar aku lelaki, sangat tak pantas jika harus terus seperti ini. Sangat tak baik jika aku terlalu lama bersedih.
Saat di Sekolah, aku bertemu Iyus, tapi ia terlihat beda, tak ceria seperti biasanya.
"Kenapa Yus? Bengong mulu." Kutanya Iyus lalu duduk di sampingnya.
"Lagi galau Van." Jawab Iyus.
"Sama siapa?" Kutanya Iyus.
"Si Nia." Jawab Iyus dengan nada sedikit kesal.
"Kelas sebelah?" Kutanya.
"Iya." Iyus menjawab singkat. Dia terlihat sangat sedih. Entah karena apa.
"Kenapa emang dia?" Kutanya lagi.
"Aku jadian sama dia dua hari yang lalu. Eh, tadi malem dia putusin aku." Kata Iyus.
"Gara-gara apa?"
"Nggak tahu, nggak jelas." Kata Iyus.
Lagi-lagi aku ingat Dilla. Aku pernah merasakan berada di posisi Iyus. Dan aku sangat tahu bagaimana sakitnya. Nasib Iyus tak jauh berbeda denganku. Disia-siakan saat rasa cinta begitu menggelora.
"Kamu bisa bantu aku kan Van?" Tanya Iyus.
"Bantu apa?" Kutanya balik.
"Kamu pacarin si Nia, dua hari aja." Kata Iyus.
"Gila kamu, nggak ah." Kataku.
"Ayolah Van, masa kamu tega temen kamu kaya gini. Aku mau balas dendam. Lewat kamu."
"Kan dia belum tentu mau sama aku Yus."
"Pasti mau Van. Kalau kamu berhasil, aku traktir kamu sepuasnya." Kata Iyus.
Aku berpikir sejenak untuk menyanggupi permintaan Iyus. Aku sedikit ragu untuk berhasil. Nia adalah salah satu wanita cantik di sekolahku, pasti banyak yang menyukainya, aku tak terlalu yakin bisa mendapatkannya.
"Iya deh. Aku coba, tapi bukan berarti aku suka sama dia ya. Aku cuma balesin dendam kamu." Kataku menyanggupi.
"Iya Van."
"Kalau ada apa-apa, kamu tanggung jawab ya. Mana nomor handphonenya?" Kataku. Aku menyerahkan handphoneku pada Iyus untuk menyimpan kontak Nia.
"Siap Van." Kata Iyus. Lalu iyus menyimpan kontak Nia di handphoneku.
Saat pulang sekolah, aku langsung mengirim SMS untuk Nia. Aku mencoba bergerak cepat untuk mendapatkan Nia.
"Selamat siang Nia."
"Siang. Siapa ini?" Balas Nia.
"Ini Evan." Kujawab.
"Evan mana?" Tanya Nia.
"Tetangga kelas kamu." Kataku.
"Oh, iya aku tahu. Ada apa? Tahu nomorku dari siapa?"
"Kalau nanya gitu, paling aku cuma bisa jawab dapet dari lotre. Jadi mending nggak usah nanya gitu." Kataku.
"Terus ada apa SMS aku?"
"Nggak ada apa-apa, pengen kenal aja. Boleh?"
"Oh, kirain ada apa. Iya boleh-boleh aja Van."
Setelah itu, aku berbincang banyak hal dengan Nia. Dengan cepat, aku dan Nia saling mengenal lebih dekat lagi. Aku tak menemukan kesulitan untuk mendekati Nia. Responnya sangat bagus. Sedikit demi sedikit, rasa pesimisku mulai hilang.
Malam harinya, aku berniat untuk langsung menembak Nia, aku merasa tak perlu waktu lama untuk dekat dengan Nia. Jika ditolak, tak apa, aku tak akan merasa sedih ataupun sakit hati. Lagipula aku tak benar-benar menyukainya.
"Pacar kamu siapa?" Kutanya Nia lewat SMS.
"Nggak punya." Jawab Nia.
"Kalau aku suka sama kamu boleh?" Kutanya lagi.
"Ah, basi, palingan kamu becanda doang."
"Kalau aku serius gimana?"
"Nggak tahu deh. Terserah kamu aja."
"Kalau aku nembak kamu sekarang, kamu mau terima aku atau tolak aku?"
"Coba aja dulu."
"Iya deh, aku coba. Aku nggak pintar ngerangkai kata, jadi langsung ke intinya aja. Aku suka sama kamu. Kamu mau jadi pacarku?" Aku merasa tenang saat bicara seperti itu. Tak seperti saat aku mengungkapkan rasa pada Dilla.
"Iya Van. Aku mau."
Aku kaget. Mengapa Nia bisa secepat itu menerimaku untuk menjadi pacarnya. Bahkan aku dan Nia baru memulai komunikasi beberapa jam yang lalu, belum pernah ngobrol secara langsung. Baru saja tadi siang aku mulai SMSan dengannya. Malamnya, aku dan Nia berstatus pacaran.
Aku bukan merasa senang. Aku hanya dibuat tertawa, ternyata semudah itu untuk mendapatkan Nia. Tanpa pendekatan sedikitpun.
Saat itu, aku langsung menelpon Iyus.
"Halo, Yus?"
"Iya Van, kenapa?"
"Besok traktir aku ya." Kataku.
"Traktir? Kamu udah jadian sama Nia?" Tanya Iyus.
"Udah. Empat menit yang lalu." Kujawab.
"Gila, kok bisa? Kamu nggak bohong kan?" Tanya Iyus.
"Beneran Yus. Aku juga nggak tahu kenapa dia bisa langsung nerima gitu, entah karena dia emang suka sama aku, mungkin juga dia cewek gampangan." Kataku.
"Haha, Iya deh Van. Besok aku traktir." Iyus tertawa senang.
Esok harinya, Iyus menepati janjinya. Aku ditraktir Iyus makan di kantin Sekolah. Memang tak seberapa, tapi lumayan. Lagipula aku tak terlalu menginginkan traktiran dari Iyus, aku hanya menguji diriku sendiri, seberapa hebat aku di depan wanita. Selebihnya, aku hanya membalaskan dendam Iyus.
"Kemarin gimana Van? Bisa cepet gitu." Tanya Iyus.
"Iya gitu aja, dari siang sampai malem SMSan. Langsung aku tembak, dan dia nerima aku." Kataku tertawa.
"Haha, bagus deh." Kata Iyus.
"Terus nanti aku putusin dia gimana?" Tanyaku.
"Lakuin aja sama seperti yang dia lakuin ke aku." Jawab Iyus.
"Iya deh." Kataku.
"Ini baru permulaan. Kalau kamu bisa bikin dia sakit hati, aku traktir kamu lebih dari ini." Kata Iyus.
"Asyik, iya deh. Kapan aku harus putusin dia?" Tanyaku.
"Besok, biar sama dua hari." Jawab Iyus.
"Siap."
"Sekarang dia dimana?" Tanya Iyus.
"Di kelas kayanya." Kujawab.
"Suruh sini dong."
"Males ah." Kataku.
Aku tak menyangka bisa sejahat ini. Menjadikan wanita sebagai bahan taruhan. Dan aku juga tak mengerti mengapa aku mau dijadikan alat untuk membalaskan dendam temanku. Tapi biarlah, ada hiburan tersendiri untuku. Setidaknya aku bisa melampiaskan rasa sakit hatiku yang masih saja terngiang hingga saat ini. Aku tak peduli tentang karma. Bagiku, karma hanyalah mitos.
Esok harinya, sudah saatnya aku mengakhiri hubunganku dengan Nia. Karena tak ada gunanya untuk kulanjutkan, aku tak punya sedikitpun rasa untuk Nia.
Aku memutuskan Nia lewat SMS.
"Hey, aku mau ngomong." Kataku.
"Ngomong aja sayang."
"Kita udahan aja ya. aku pengen bebas, lagi males pacaran." Aku menggunakan kata-kata Dilla yang dulu dia gunakan saat memutuskan aku.
"Heh! Maksud kamu apa?"
"Aku mau putus."
"Kamu kenapa sih? Aku salah apa sama kamu?"
"Kamu nggak salah apa-apa. Aku takut kamu sakit hati kalau kita lanjut." Kataku.
"Anjing! Dasar cowok brengsek! Kalau kamu males pacaran ngapain kamu nembak aku kemarin hah?!" Nia sangat marah sampai berani berbicara kasar.
"Maaf. Kemarin lagi mau, sekarang males." Kataku.
"Kamu kenapa sih? Aku sayang sama kamu Van. Kenapa kamu gini?"
"Jangan sayang sama aku. Aku kan anjing, brengsek juga. Banyak yang lebih dari aku." Kataku. Aku aneh pada Nia saat dia berkata bahwa dia menyayangiku. Tak mungkin rasa sayang tumbuh dalam beberapa hari. Bagiku itu hanya omong kosong.
"Aku kecewa sama kamu Van. Ternyata kamu bukan cowok baik-baik. Aku salah nilai kamu."
Aku tak membalas lagi SMS dari Nia. Bagiku itu sangat tak penting. Sekarang aku tahu, bagaimana rasanya menjadi orang jahat. Aku berhasil melampiaskan rasa sakitku. Dan tentunya ada kepuasan tersendiri untukku.
Tak lama kemudian, ada nomor tak dikenal menelponku.
"Evan?"
"Iya? Siapa ini?" Kutanya.
"Ini Indah." Jawabnya. Indah adalah salah satu teman dekatnya Nia. Aku langsung tahu tujuan Indah menelponku.
"Oh. Ada apa?" Kutanya.
"Kamu ngapain si Nia? Dia nangis nelpon aku." Tanya Indah.
"Nggak tahu, aku nggak ngapa-ngapain dia. Kukunya patah kali, makanya dia nangis." Kataku.
"Kamu udah berani nyakitin temen aku? Lihat besok, kamu akan malu dan lebih sakit hati dari Nia." Indah mengancamku.
"Silakan. Aku tunggu." Kataku lalu menutup telponnya.
Sebenarnya, aku merasa sedikit khawatir dengan ancaman Indah. Tapi tak terlalu kupikirkan. Lagipula siapa dia? Bisa ikut campur urusanku seenaknya.
Esok harinya, di Sekolah, saat jam istirahat, aku masih belum selesai menulis. Tapi sebagian murid di kelasku sudah selesai menulis. Saat aku menulis, aku melihat Indah masuk ke kelasku dengan wajah yang sangat menyeramkan, lebih menyeramkan dari film horror manapun.
Indah menghampiriku, lalu Indah menyiramkan air ke wajahku dan menampar pipiku.
"Heh anjing! Jangan sok cakep kamu! Seenaknya mainin perasaan orang. Sekali lagi aku denger kamu nyakitin Nia. Lihat aja akibatnya." Kata Indah dengan nada menyentak lalu pergi.
Suara Indah sangat keras saat dia memarahiku. Tentu saja aku menjadi pusat perhatian orang-orang di kelasku. Bahkan tak sedikit orang mengintip dari jendela kelas untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Aku memang kesal atas apa yang dilakukan Indah. Andai saja Indah lelaki, sudah pasti kuhajar.
Untung saja aku masih bisa meredam emosiku. Tapi biarlah, lagipula ini salahku. Aku harus tanggung jawab atas perbuatanku menjadikan Nia sebagai bahan taruhan, pelampiasan, dan membalaskan dendam temanku, Iyus. Ternyata, ada asyiknya menjadi orang jahat. Maafkan aku Tuhan.
Tak lama, Iyus menghampiriku.
"Kenapa si Indah marah-marah?" Tanya Iyus.
"Lagi nggak ada kerjaan dia, ikut campur urusan orang." Kataku sambil terus menulis.
"Haha, iya udahlah. Gimana rasanya jadiin Nia pelampiasan?" Tanya Iyus.
"Lumayan, sedikit ngehibur juga." Aku dan Iyus tertawa seperti merayakan kemenangan.
Sekarang aku tahu bagaimana rasanya menyakiti seseorang. Ternyata memang begini, aku tak punya rasa bersalah sedikitpun. Mungkin juga Dilla seperti itu saat meninggalkanku.
Maafkan aku Tuhan, yang sudah menjadikan ciptaanMu sebagai pelampiasan rasa sakit hatiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...