Jatuh Sakit

1K 47 0
                                    

Setelah Dilla memutuskan untuk kembali melanjutkan hubungannya dengan Fikri, aku masih terus berusaha menjalani hari-hariku yang semakin berat. Aku tak bisa begitu saja melepas Dilla lalu melupakannya. Aku masih mau untuk berjuang dengan caraku sendiri. Aku tak peduli jika harus mempertaruhkan harga diriku karena terus memohon pada Dilla.
Aku tahu Dilla tak bermaksud untuk menjauh dariku, Dilla hanya mencoba menjaga hatinya untuk Fikri. Tapi sejauh ini Dilla masih mengizinkanku untuk menemuinya.
Sabtu, 7 Februari 2015. Dilla mengabulkan permintaanku untuk bisa bertemu dengannya, tapi Dilla memintaku untuk datang ke rumahnya.
Malam minggu itu akan menjadi yang pertama untukku bisa datang ke rumah Dilla. Aku segera pergi menuju rumahnya. Hujan yang cukup deras tak membuat semangatku rapuh untuk bertemu dengannya.
Setibanya di rumah Dilla, aku mengirim BBM padanya. Tak lama, Dilla pun keluar dengan senyum manisnya.
"Ih, bajunya." Kata Dilla sambil menatap ke arah baju yang kupakai. Baju itu adalah baju yang pernah Dilla berikan. Aku memang sering memakai baju itu. Aku tak sengaja memakainya hari itu.
Setelah itu, Dilla mengajakku untuk masuk ke dalam rumah. Disana ada Ibu dan tantenya. Ini adalah pertama kalinya aku bertatap muka dan berjabat tangan dengan Ibunya Dilla. Setelah lebih dari lima tahun aku mengenal Dilla. Aku sedikit mengira bahwa Ibunya Dilla kurang menyukaiku. Dia terlihat sangat cuek bahkan seperti tak menginginkanku ada di rumahnya. Tapi aku tetap mencoba untuk tidak sensitif.
Saat itu, aku dan Dilla hanya membicarakan hal biasa. aku tak berani membicarakan tentang perasaanku. Entah mengapa saat itu aku berpikir bahwa itu akan membuat Dilla menjauh dariku. Aku tahu Dilla merasa nyaman dengan statusku yang hanya teman untuknya.
Saat itu Dilla menunjukkan sebuah buku padaku. Buku yang isinya tentang curahan hati Dilla untukku saat masih sekolah. Aku hanya membuka sebagian. Aku meminta buku itu, aku ingin membacanya di rumah.
Saat aku pulang, aku tak sabar untuk membaca buku itu. Banyak sekali coretan-coretan tentang kata hati Dilla untukku.
"I wish get a miracle."
"Fuck You, Evan."
"You did it again, you hurt me."
Di buku itu juga ada banyak lirik lagu. Ada juga namaku yang dicoret Dilla lalu diganti dengan nama lelaki lain. Mungkin saat itu Dilla kesal dan sakit hati padaku. Dilla juga menuliskan tanggal jadian dan tanggal putusnya saat berpacaran denganku. Aku semakin sadar bahwa dulu Dilla sangat mencintaiku. Dan sekarang aku semakin menyesal.
Setelah membaca semua isi di buku itu, aku mengirim BBM pada Dilla.
"Ibu kamu tadi nanyain nggak?" Kutanya. Aku mencoba memulai pembicaraan tentang Ibunya yang tadi terlihay sedikit jutek padaku.
"Iya." Jawab Dilla singkat.
"Nanya apa?"
"Negur sih, katanya jangan ganti-ganti cowok."
Aku sudah menduga, tak aneh jika Ibunya kurang menyambutku tasi. Saat itu Dilla juga jadi cuek lagi, selalu membalas pesanku sangat singkat. Sudahlah, saat itu aku tak bisa berkata apa-apa lagi, aku tak bisa berbuat banyak. Aku tak berani bertanya, aku cukup tahu bahwa saat itu aku mengganggu kenyamanan Dilla
Esok harinya, saat aku bangun tidur, badanku gemetar hebat, badanku panas, dan aku merasa pusing. Saat itu aku mengira bahwa aku hanya sakit biasa gara-gara kehujanan tadi malam.
Dua hari kemudian, kondisi badanku tak kunjung membaik. Aku memeriksakan diri ke dokter terdekat. Dan hasilnya buruk. Penyakitku cukup serius, membuatku harus di rawat di rumah sakit.
Suatu malam, saat aku dirawat di rumah sakit, aku melihat Dilla menulis status di BBMnya. "Bismillah."
Aku tahu saat itu Dilla akan pergi keluar kota untuk bertamasya bersama Fikri dan teman-teman kuliahnya. Tentu saja disaat seperti ini aku merasa sangat kesal dan sakit hati. Aku masih bisa menahan sakit yang menyerang tubuhku, tapi aku tak kuasa menahan sakit di hatiku.
Dilla tahu aku sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Dilla hanya berkata "Cepet sembuh ya." Mungkin bagi Dilla iti sudah cukup, tapi bagiku itu tak cukup, aku merasa Dilla tak terlalu peduli padaku. Padahal yang ku mau, Dilla ada di sampingku, menemaniku, merawatku, harusnga seperti itu. Karena bagiku Dilla adalah obat dari segala rasa sakitku.
Setelah lebih dari satu minggu dirawat, aku dibolehkan untuk pulang. Meski aku harus terus memeriksa kesehatan secara rutin.
Beberapa hari setelah pulang dari rumah sakit, aku sudah bisa bepergian lagi. Saat itu aku ingin bertemu Dilla, aku sangat merindukannya. Tapi entah mengapa saat itu Dilla menolak.
Aku memutuskan untuk menunggunya di depan pintu masuk kampusnya. aku hanya ingin melihatnya dari jauh, mungkin itu cukup untuk mengurangi rasa rinduku.
Sudah lebih dari dua jam aku menunggu, tapi Dilla tak kunjung keluar. Aku mengirim BBM padanya, tapi Dilla tak membalas. Bahkan Dilla tak membaca pesanku. Sore itu hujan mulai turun, tapi aku tak peduli jika aku harus sakit lagi. Aku hanya ingin bertemu Dilla.
Saat itu, perjuanganku untuk bertemu Dilla tak membuahkan hasil.
Beberapa hari kemudian, aku mengajak Dilla untuk bertemu lagi. Tapi entah mengapa, bertemu dengan Dilla jadi hal yang cukup sulit bagiku.
Aku mencoba untuk datang ke rumahnya. Aku sudah bilang pada Dilla bahwa aku ada di depan rumahnya. Tapi Dilla tak mau keluar. Dilla malah menghapus kontakku di BBMnya.
Aku kesal, aku sakit hati, aebenci itukah Dilla padaku. Aku rindu dia yang dulu. Begitulah Dilla sekarang, aku tak tahu apa yang Dilla pikirkan sampai tega melakukan ini padaku. Aku sudah tak berarti sedikitpun bagi Dilla, aku sudah tak diharapkan lagi oleh Dilla.

"Kemarin, aku jatuh sakit. Sekarang juga masih sakit. Rasa sakit ini adalah sakit yang tak pernah ku tahu bagaimana cara mengobatinya. Aku benar-benar jatuh sakit, karena harus merasa selalu jatuh hati pada wanita yang kini sudah tak mengharapkanku lagi. Aku mencintaimu Dilla."

KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang