Semakin hari, aku merasa semakin mahir dalam hal mendekati wanita. Aku tak kaku lagi, dan tak ada rasa gugup sedikitpun. Aku ingin berterimakasih pada Dilla. Karena Dilla yang mengajarkan aku cinta, saat aku tak mengerti apa-apa.
Tentang hubunganku dengan Dilla, aku masih sering berkomunikasi dengannya. Hubunganku membaik setelah pertengkaran hebat saat putus. Tentang perasaanku pada Dilla, aku masih menyayanginya, aku masih berharap padanya. Rasa sayangku tak berkurang sedikitpun. Tapi sekarang, aku bisa lebih mengendalikan diri. Aku tak mau terlalu menyiksa diri. Aku tak tahu seperti apa perasaan Dilla padaku sekarang. apa Dilla menyesal meninggalkan aku? Apa Dilla masih menyayangiku? Masih mengharapkanku? Aku tak pernah tahu. Aku hanya tahu bahwa Dilla bahagia dan baik-baik saja. Untuk mendapatkan Dilla kembali, aku tak merasa pesimis, tapi aku juga harus belajar realistis. Menanti waktu yang tepat.
Sekarang, aku dekat dengan beberapa wanita. Salah satunya Dita, teman SMPku. Aku ingin bisa jatuh cinta pada wanita lain, aku ingin berhenti mengharapkan Dilla. Meski aku tahu itu sulit.
Setiap aku dekat dengan wanita, Iyus selalu memberi saran tentang wanita mana yang pantas untuk kujadikan pacar. Saat itu, Iyus menunjuk Dini, kakak kelasku. Sekarang aku tak harus menunggu hatiku untuk memilih sendiri. Tak seperti saat jatuh cinta pada Dilla. Hatiku tak pernah sabar untuk segera berlabuh di hatinya Dilla.
Di Sekolah, saat jam istirahat, aku dan Iyus pergi ke Kantin yang ada di samping lapang.
Sambil makan, aku berbincang tentang wanita dengan Iyus.
"Kenapa aku harus deketin Dini?" Kutanya Iyus.
"Dia gebetannya Raka." Jawab Iyus. Raka adalah murid yang disukai banyak wanita di Sekolah.
"Terus kenapa kalau dia gebetannya Raka?" Kutanya lagi.
"Ya kamu embatlah Van. Saingan kamu disini cuma Raka doang. Biar naik nama kamu." Kata Iyus.
"Susah nggak?" Tanyaku.
"Aku traktir kamu lagi kalau dapet. Biar jadi motivasi buat kamu." Kata Iyus.
"Siap. Aku mau ditraktir voucher game, buat beli senjata, kan lumayan." Kataku tersenyum lalu mengangkat alis berulang-ulang.
"Sip, gampang." Kata Iyus.
Tak lama kemudian, aku melihat Dini dan temannya berjalan menuju Kantin sebelah. Aku meninggalkan Iyus untuk menghampiri Dini.
"Van! Mau kemana?" Teriak Iyus. Aku tak menghiraukannya.
Aku menghampiri Dini yang saat itu sedang memesan makanan. Ternyata dia memang cantik, dengan rambutnya yang panjang terurai.
"Bu, aku pesan teh hangat ya." Kataku.
"Yang manis?" Tanya Ibu Kantin.
"Nggak usah, nanti aku minumnya sambil liat kakak kelasku yang ini, biar manisnya sehat." Aku berbicara keras lalu menatap Dini. Dini juga menatapku dan terlihat seperti sedang menahan tawa. Orang-orang disekitarku meneriakikku dengan berbagai macam suara siulan.
Setelah itu, aku menghampiri Ibu Kantin untuk membayar.
"Dia jajannya berapa?" Tanyaku.
"Lima ribu paling." Jawab Ibu Kantin.
"Nanti, kalau misalnya uangnnya kembalian. Kasih uang yang ini ya Bu." Kataku. Aku menyerahkan uang yang sudah kutulis dengan nama dan nomor handphoneku. Ibu Kantin hanya mengangguk. Aku pergi untuk menemui Iyus.
"Abis ngapain Van?" Tanya Iyus.
"Ada deh. Yuk ah, ke kelas." Kataku.
"Yuk."
"Pulang sekolah mau ke mana?" Kutanya Iyus sambil berjalan menuju kelas.
"Kalau nggak ke warnet, kayanya pulang." Jawab Iyus.
"Bantu aku cari tempat kursus musik yang bagus yuk." Kataku.
"Kaya yang bisa aja." Iyus meledek.
"Makanya mau kursus juga biar bisa, bego!" Kataku.
"Oh iya, lupa hehe."
Setibanya di Kelas, aku menunggu handphoneku berdering. Aku menunggu SMS dari Dini.
Sampai akhirnya bel sekolah berbunyi, tak ada satupun SMS dari Dini. Aku merasa pesimis, mungkin dia tidak bisa menyukaiku.
Saat pulang sekolah, aku dan Iyus pergi menuju tempat kursus musik terdekat untuk daftar. Aku masih saja membuka handphoneku untuk memeriksa jika ada pesan. Tapi masih saja tak ada, kututup lagi handphoneku. Aku lakukan itu berulang-ulang.
Setelah selesai daftar, aku dan Iyus tidak langsung pulang. Aku pergi ke warnet untuk main game online. Setelah putus dari Dilla, aku memang kembali ke hobi lamaku, yaitu main game. Dan mulai sekarang, hobiku bertambah. Aku akan menekuni musik, karena seseorang pernah berkata "Cara terbaik mengungkapkan perasaan itu lewat musik." Lalu aku berpikir bahwa suatu hari nanti aku akan membuatkan lagu untuk Dilla.
Aku dan Iyus main game online sampai jam delapan malam. Saat aku keluar dari warnet, aku membuka handphoneku. Ternyata ada SMS dari Dini.
"Hey, adik kelas paling lancang. Berani-beraninya gombalin aku depan banyak orang."
"Hehe, maaf." Kubalas.
"Udah gitu, bisa-bisanya nulis nomor kamu di uang kembalian."
"Biar kakak SMS aku aja."
"Biar apa kalau aku sms?"
"Biar bisa deket."
"Kalau udah deket mau apa?"
"Ngajak pacaran mungkin."
"Berani emang?"
"Nggak punya alesan buat takut."
"Saingan kamu banyak."
"Mulai sekarang, usaha mereka sia-sia. Karena ada aku."
"Haha. Kamu orang yang optimis. Aku suka."
"Tuh kan, belum apa-apa kakak udah bilang suka."
"Keceplosan. Mulai besok jangan panggil kakak. Kalau masih panggil kakak, aku nggak akan bales sms kamu. Aku tidur duluan, capek. Selamat malam Van."
Aku senang akhirnya bisa berbincang dengan Dini lewat SMS. Aku menunjukkan semua SMS itu pada Iyus. Dia mendukungku. Karena setahu Iyus, Dini adalah orang yang sangat jutek pada orang-orang yang mendekatinya. Tapi Dini sama sekali tidak jutek padaku. Aku semakin optimis, sepertinya aku tak akan menemukan kesulitan untuk mendapatkan Dini.
Malam itu, aku juga merasa ngantuk. Dan saat itu Iyus menginap di rumahku. Sebelum tidur, aku selalu mendengarkan lagu di handphoneku sampai aku benar-benar tertidur. Aku mendengarkan lagu dengan mode acak, lalu aku memejamkan mataku.
Setelah beberapa lagu kudengarkan, tiba-tiba aku rindu Dilla, karena lagu yang baru saja kuputar adalah lagu kesukaannya Dilla, membuatku ingat Dilla. Waktu seakan melambat, segala kenangan tentang Dilla datang menyerang kepalaku. Aku langsung mengambil foto-foto Dilla dari laci, lalu aku kembali ke tempat tidur, aku menatap foto itu begitu dalam, penuh rasa sedih dan kehilangan. Andai saja tak ada Iyus, sepertinya aku sudah tak sanggup menahan tangis pedih ini. Ingin sekali aku menelpon Dilla, aku ingin dia tahu bahwa aku sangat merindukannya. Tapi berat sekali rasanya, aku tak tahu mengapa, aku tak sanggup. Aku hanya bisa mencari tahu kabarnya lewat media sosial.
Saat aku menatap foto Dilla. Iyus bertanya tentang Dilla, karena memang aku belum bercerita banyak tentang Dilla. Tentang wanita yang sangat kucintai.
"Masih belum bisa lupain Van?" Tanya Iyus.
"Nggak tahu deh. Kadang lupa, kadang inget lagi. Kalo lagi inget gini, bawaannya kesel." Kataku.
"Gini deh Van, kalau kamu emang sayang sama dia, ya tunggu aja. Tapi bukan cuma nunggu, kamu kan bisa pacaran sama yang lain dulu. Lumayan kan buat iseng-iseng, daripada sendiri. Kalau bosen ya tinggalin." Kata Iyus.
"Iya juga sih, gimana nanti deh." Kataku.
"Ayolah Van. Sambil menyelam minum air."
"Tapi aku takut kejebak Yus, takut sayang sama yang lain. Aku nggak mau, aku cuma mau Dilla." Kataku.
"Kenapa kamu masih bisa sayang sama dia Van? Bukannya dia udah nyakitin kamu?" Tanya Iyus.
"Tapi rasa sayang aku lebih dari itu Yus, lebih dari rasa sakit hati aku." Kataku.
"Iya terserah sih, aku cuma ngasih tahu. Jangan sia-siain masa jaya kamu." Kata Iyus.
Aku memang kurang mengerti apa maksud Iyus tentang masa jayaku. Mungkin karena sekarang ada banyak wanita yang mendekatiku. Tapi aku tak merasa bangga, aku tak mau meninggikan diriku sendiri. Yang aku banggakan adalah, perasaanku yang ada hanya untuk Dilla. Di antara banyaknya wanita, hanya Dilla.
Aku memang masih labil. Terkadang aku ingin setia menunggu Dilla, tapi tak jarang juga terlintas untuk berpaling.
Seseorang pernah berkata "Berlayarlah kemanapun kau mau. Buat cerita seindah mungkin, cari pelajaran sebanyak mungkin. Tapi jangan sampai kau lupa arah jalan pulang. Pulanglah saat kau merasa cukup, kembalilah ke tempat pertama kau berlabuh."
Iya, aku setuju dengan kalimat itu. Aku harus pergi mencari cinta yang lain, tapi aku juga harus bisa mengendalikan diri. Sekarang adalah masa jayaku. Tak boleh aku sia-siakan. Aku hanya tinggal memilih diantara mereka yang dekati aku. Aku juga biarkan Dilla mencari apa yang dia mau. Tapi suatu saat Dilla akan tahu bahwa akulah yang paling menyayanginya, mencintainya.
Aku melakukan pendekatan biasa pada Dini hanya selama satu minggu. Saat itu aku mengajak Dini untuk pulang bareng. Dini setuju, tapi aku tak langsung mengantarnya pulang. Aku mengajaknya makan siang di cafe kecil dekat sekolah.
"Maaf ya, cuma bisa ajak makan disini." Kataku.
"Nggak apa-apa kok." Kata Dini.
"Eh, pacar kamu yang mana sih?" Kutanya.
"Pacar? Aku nggak punya pacar." Kata Rini.
"Banyak yang bilang kamu udah punya pacar." Kataku.
"Cuma gosip."
"Haha bagus deh." Aku sengaja bertanya tentang status Dini. Aku harus tahu dia milik siapa sebelum aku menembaknya."
"Kok bagus?" Tanya Dini.
"Berarti aku punya kesempatan." Kataku.
"Buat?" Tanya Dini.
"Jadi pacar kamu." Kujawab.
"Haha, kapan emang mau nembak aku?" Tanya Dini.
"Nanti ya, beres makan." Kataku lalu tersenyum.
"Ih dasar." Kata Dini.
Aku dan Dini makan bersama. Aku tampak tenang, tak pernah lagi gugup di depan wanita. Aku semakin optimis untuk bisa mendapatkan Dini. Aku merasa dia sudah memberi sinyal bahwa dia akan menerimaku.
Setelah aku dan Dini selesai makan, aku langsung mengungkapkan perasaanku padanya.
"Udah beres makan kan? Sekarang aku mau nembak kamu." Kataku lalu meraih kedua tangan Dini untuk kugenggam. "Aku nggak tahu harus ngomong gimana, aku juga nggak yakin kalau kamu nerima aku, aku udah tahu siapa aja saingan aku. Aku cuma bisa jujur kalau aku sayang kamu. Kamu mau jadi pacar aku?" Kataku. Ini adalah pertama kalinua aku mengungkapkan perasaan pada wanita secara langsung, bukan lewat telpon atau SMS. Aku sedikit gugup, tapi aku bisa mengendalikannya.
"Kamu serius?" Tanya Dini lalu tersenyum menatapku.
"Kalau nggak serius aku nggak mungkin berani ngomong langsung kaya gini." Kataku.
"Gimana ya? Bingung juga, kayanya nggak bisa deh." Kata Dini.
Aku kaget ternyata Dini menolakku. Seketika rasa optimisku hancur. Dan ini adalah pertama kalinya aku ditolak wanita.
"Kenapa nggak bisa?" Kutanya Dini lalu melepas genggaman tanganku.
"Nggak mau aja." Dini menjawab sangat cuek dan dingin.
"Bisa kasih aku alasan?" Kutanya lagi.
"Aku bilang aku nggak mau, tapi hari ini aku lagi berubah jadi orang yang nggak jujur." Kata Dini.
"Maksudnya?" Tanyaku.
"Ih, masa nggak ngerti sih? Aku nolak kamu, tapi aku nggak jujur." Kata Dini.
"Oh maaf, aku lagi gugup, berarti kamu terima aku?"
"Iya Evan." Kata Dini.
Aku langsung tersenyum senang di hadapan Dini. Sejak detik itu, aku dan Dini menjadi pasangan kekasih. Aku tahu, Dini adalah wanita yang disukai banyak lelaki di sekolah, tapi sekarang semua akan tahu bahwa akulah pemenangnya. Ternyata mendapatkan wanita itu tak sesulit yang kubayangkan. Harusnya aku bisa cepat mendapat pengganti Dilla. Iyus benar, sekarang adalah masa jayaku, jangan sampai kusia-siakan.
"Selamat datang, Masa jayaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...