Minggu, 18 Januari 2015. Kurasa hari ini sangat membosankan. Menjalani hari-hari yang kosong, tak ada aktivitas, sangat monoton. Dari pagi hingga menjelang siang, aku hanya tiduran, main gitar, main game, pokoknya membosankan.
Siang hari, aku menerima pesan BBM dari Dilla.
"Kamu dimana?" Tanya Dilla.
"Di rumah Rey. Kenapa?"
"Kamu punya SIM A nggak?" Tanya Dilla lagi.
"Nggak punya. Kenapa emang?" Kataku.
"Anter ke Bandung yuk. Mau nganter temen pulang. Aku mau bawa mobil, kamu setirin." Kata Dilla.
"Nggak mau ah, masih trauma gara-gara kecelakaan dulu." Kataku.
"Nggak apa-apa, kan bisa pelan-pelan."
"Nggak mau, asli, beneran nggak mau, takut." Kataku.
"Hmm, Ya udah deh."
Aku berbohong pada Dilla. Bukannya aku trauma mengemudikan mobil. Tapi karena aku memang tak bisa mengemudikan mobil. Aku malu, aku juga merasa gengsi jika aku berkata seperti itu pada Dilla. Sebenarnya aku pernah diajarkan saudaraku di Jakarta untuk mengemudikan mobil. Tapi di hari pertama aku belajar, aku menabrak seorang ibu yang hendak pergi ke Pasar mengemudikan motor. Aku tak mau lagi, nanti saja, lagipula aku belum merasa perlu untuk bisa mengemudikan mobil. Aku lebih senang kebut-kebutan di jalan dengan motorku.
Beberapa saat kemudian, Dilla mengirim pesan BBM lagi.
"Yakin nih nggak akan nganter?" Tanya Dilla.
"Iya kayanya."
"Ya udah deh, aku berangkat sekarang, jadinya bawa motor."
"Iya. Kamu hati-hati ya." Kataku.
Aku merasa semakin bosan di harus diam terus di rumah Rey di hari minggu ini. Aku butuh hiburan. Saat itu, ada beberapa temanku yang lain. Ada Fiky dan Yandi. Aku mengajak mereka untuk main ke tempat wisata di daerah Dago, Tebing Keraton. Mereka setuju dan merasa semangat, karena ternyata bukan hanya aku saja yang merasa bosan. Tak lama, kami semua langsung bersiap-siap.
Setelah siap, aku dan teman-temanku menjemput Lily dan Olla di sebuah warung. Lily adalah kekasihnya Rey, dan Olla adalah temannya. Aku sedikit dibuat kesal karena Lily dan Olla lama sekali untuk bersiap pergi. Selagi menunggu, aku mengirim pesan BBM pada Dilla.
"Kamu dimana?" Kutanya.
"Di Hypermarket daerah Dakota."
"Aku mau ke Tebing Keraton. Mau ikut?" Kuajak.
"Mauuuuu, kamu dimana itu?"
"Baru mau berangkat." Kataku.
"Aku tunggu di kost temen aku ya. Temen aku juga ikut."
"Dimana kost temen kamu?"
"Deket Rumah sakit Hasan Sadikin."
"Iya." Kataku.
Setelah semua siap, kami semua segera menuju ke Bandung. Aku meminta teman-temanku untuk ikut menjemput Dilla dulu.
Saat di perjalanan, Dilla mengirim BBM lagi.
"Udah sampe mana?" Tanya Dilla.
"Baru setengah jalan."
"Siapa aja itu?"
"Tiga motor, pada bawak cewek semua. Aku aja yang bonceng cowok."
Saat itu, aku satu motor dengan Yandi. Aku sudah tak sabar ingin segera bertemu Dilla. Aku memacu motorku lebih cepat lagi.
Saat aku tiba di depan Rumah sakit Hasan Sadikin, aku BBM Dilla.
"Kamu dimana? Aku di depan Hasan Sadikin." Kataku.
"Tunggu. Bedakan dulu."
"Jangan lama."
"Iyaaa. Aku pake kerudung jangan ya?"
"Terserah kamu aja."
"Mau pake aja deh."
Dilla, kamu itu mau berpakaian seperti apapun akan selalu terlihat cantik di mataku. Sekitar sepuluh menit aku menunggu Dilla. Saat itu aku sedang fokus pada handphoneku. yandi memanggilku.
"Van, itu bukan?" Tanya Yandi menunjuk dua wanita yang ada di seberangku.
"Oh, iya." Kataku.
Sumpah, Dilla sangat cantik saat itu, dia terlihat cocok dengan jilbab merah mudanya. Aku pun sedikit membantu Dilla untuk menyebrang. Teman-temanku yang lain menunggu di pom bensin yang tak jauh.
Aku langsung menghampiri Dilla.
"Kamu sama aku ya, temen kamu sama temen aku, biar cepet." Kataku pada Dilla.
"Nggak usah deh. Aku joki handal kok." Kata temannya Dilla. Seingatku, namanya Venny.
Kami semua segera menuju ke Tebing Keraton. Di perjalanan, Yandi berkata padaku, "Cantik-cantik ya mereka, suka deh lihat cewek pake jilbab gitu." Aku hanya tersenyum.
Di perjalanan, kami semua mendapat beberapa gangguan. Kami sempat salah jalan, yang membuat kami semua berputar arah dan memakan waktu lebih banyak lagi. Setelah itu, kami melewati daerah yang sedang mengadakan operasi. Rey dan Fiky diberhentikan oleh polisi. Sedangkan aku dan Dilla terus melaju agar tak ikut ditilang. Aku berhenti beberapa puluh meter dari tempat Rey dan Fiky kena tilang. Aku berjalan kaki menemui Rey untuk sedikit membantu urusan mereka. Rey langsung menelpon Ibunya untuk membantu menyelesaikannya. Aku kembali menemui Dilla.
"Gimana?" Tanya Dilla.
"Udah nelpon Ibunya. Bentar lagi juga beres." Kataku.
"Kenapa bisa kena tilang?" Tanya Dilla lagi.
"Kan yang diboncengnya nggak pake helm." Kujawab.
"Temen kamu yang itu bawa motornya legeg." Kata Venny. Legeg adalah bahasa sunda yang artinya belagu. Kami tertawa mendengar pembicaraan Venny dengan nada yang polos.
Setelah selesai, kami semua melanjutkan perjalanan dengan sedikit buru-buru. Karena saat itu matahari mulai menenggelamkan diri.
Setibanya di Tebing Keraton, kesialan menimpa kami lagi. Beberapa meter sebelum pintu masuk, hujan turun membasahi kami. Terpaksa kami semua berteduh di pintu masuk. Saat itu sudah benar-benar gelap.
Aku melihat Dilla kedinginan, aku melepas jaketku dan meminta Dilla memakainya. Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan.
Setelah hujan sedikit reda, kami semua masuk. Sumpah, tak banyak yang bisa kami lakukan disana. Hari sudah gelap, masih gerimis, yang ada kami semua kedinginan. Untik berfoto pun hasilnya tak akan bagus. Padahal aku ingin sekali berfoto berdia dengan Dilla. Karena setelah lebih dari lima tahun kenal Dilla, aku tak pernah berada di sebuah foto yang sama dengannya. Itu salah satu cita-citaku.
Aku mengajak Dilla untuk keluar, mencari warung untuk membeli minuman hangat. Aku, Dilla, dan Venny saja uang keluar. Teman-temanku yang lain masih ingin berada di dalam. Saat berjalan menuju warung, Venny bertanya padaku.
"Kamu temennya Dilla?"
"Iya." Kujawab. Padahal aku ingin sekali menjawab, "Bukan, aku calon ayah dari anak-anaknya Dilla."
Saat di warung, aku dan Dilla hanya ngobrol biasa. Dilla meminjam handphoneku, entah untuk apa.
"Invite ID Line aku ya, kita main get rich Van." Kata Dilla.
"Iya, Silakan."
Saat itu, aku menyenderkan kepalaku di bahunya Dilla. Itu tempat paling nyaman yang Tuhan ciptakan di dunia.
Tak lama, teman-temanku yang lain menyusul ke warung. Kami semua saling berbagi tawa, becanda, bersenang-senang. Itu adalah momen paling membahagiakan di hidupku. Dan Dillalah alasan terkuat dibalik bahagiaku.
Saat itu, waktu menunjukkan pukul setengah sembilan. Kami semua memutuskan untuk pulang.
Sekarang, aku satu motor dengan Dilla, dan Venny bersama Yandi. Karena saat itu jalan sangat licin gara-gara hujan tadi.
Di perjalanan turun dari Tebing Keraton. Rey menyalipku, lalu berkata. "Van, dipeluk itu enak lho." Kata Rey. Aku dan Dilla hanya tertawa.
Tak lama setelah itu, Dilla benar-benar memelukku cukup erat. Entah kapan terakhir kali aku merasakan ini, beberapa tahun lalu. Aku tak pernah menyangka bisa merasakan hal indah seperti ini lagi. Pelukan Dilla sangat membuatku nyaman, bahkan rasa kedinginpun Dilla ubah menjadi kehangatan.
Di perjalan, aku berkata pada Dilla.
"Aku nggak nyangka kita bisa kaya gini lagi."
"Sama, aku juga nggak nyangka." Kata Dilla.
Dalam hati, aku memohon pada Tuhan. Aku ingin selalu hidup seindah ini, bersama Dilla.
Aku dan Dilla menembus kemacetan kota Bandung. Aku sengaja memacu motorku tak terlalu cepat, aku ingin lebih lama berada di pelukan Dilla.
Aku mengantar Dilla pulang. Aku kembali ke rumah Rey. Aku langsung mengirim pesan BBM pada Dilla.
"Makasih ya buat hari ini. Aku sayang sama kamu Dilla."
Setelah itu, aku kembali memanggil Dilla dengan panggilan sayang. Dilla hanya membalas.
"Van, jangan mancing aku buat manggil kaya gitu juga."
"Kenapa nggak mau?"
"Belum saatnya." Kata Dilla.
Ya sudahlah. Yang penting bahagia hari ini. Aku dan Dilla sudah seperti pasangan kekasih lagi. Aku menyayanginya.
Saat itu, aku juga berkata pada Dilla.
"Aku bahagia hari ini. Kayanya aku belum bisa tenang sampai sembilan hari kedepan." Kataku.
"Kenapa?" Tanya Dilla. Belum sempat aku membalas, Dilla berkata lagi. "Oh iya, aku tahu."
Aku masih menunggu kepastian hubungan Dilla dan Fikri. Aku berharap Dilla tak lanjut. Aku ingin berkata pada Fikri. "Heh! Sana pergi, Dilla milik aku. Kamu itu cuma minjem. Aku mau ambil lagi sekarang."
Rasa bahagiaku masih diselimuti gelisah menanti keputusan Dilla. Tapi aku tetap berterimakasih pada Tuhan yang memberiku hari terindah lewat Dilla.
"Aku tak akan lupa hari ini, Tebing Keraton, 18 Januari 2015, bersama Dilla dan para sahabat."

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...