Malam itu, ada acara makan malam bersama di rumah teman sekolahku, Tina. Tadinya, aku ingin sekali mengajak Dilla. Tapi saat itu aku dan Dilla sedang bermasalah. Karena masalah kecil. Tapi entah kenapa, bagiku, sekecil apapun masalahku dengan Dilla, selalu terasa sangat berat, dan membahayakan hubunganku dengan Dilla. Apalagi ini pertama kalinya bagiku, di hubunganku yang umurnya belum genap satu minggu. Aku kesal pada Dilla, begitupun Dilla padaku. Aku takut hubungan ini berakhir hanya karena hal kecil. Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin pemikiranku terlalu jauh, aku terlalu takut.
Selama di rumah Tina, aku merasa tak cukup senang, pikiranku tak berada disitu. Aku terus memikirkan Dilla yang marah padaku. Aku lebih banyak diam, menjauhkan diri dari teman-temanku.
"Dillanya mana Van?" Tanya Della, salah satu temanku.
"Di rumahnya, lagi marah dia." Kujawab.
"Masa baru jadian udah marahan?" Tanya Della lagi.
"Nggak tahu deh." Kataku.
Sebenarnya saat itu suasana masih sangat seru, tapi aku sudah tak tahan lagi berada disitu lebih lama. Aku minta izin pada teman-temanku untuk pulang lebih cepat. Teman-temanku sepertinya mengerti dengan apa yang sedang kurasakan.
Akhirnya aku pulang. Aku langsung merebahkan badanku di tempat tidur. Lalu aku mengambil foto-foto Dilla dari bawah bantalku. Kupandangi wajah manis itu, lalu berkata dalam hati.
"Aku sayang kamu, aku nggak mau kita berantem kaya gini. Aku nggak tahu gimana caranya minta maaf. Yang jelas, aku ingin kita baik-baik saja."
Aku mulai lelah, aku mulai merasa ngantuk. Meski aku merasa aneh, karena bisa mengantuk dalam keadaan hati seperti ini. Sebelum tidur, aku mencoba untuk meminta maaf pada Dilla, dan meminta agar aku dan Dilla segera baikan.
Saat aku terbangun dari tidurku, aku langsung membuka handphoneku. Ada pesan dari Dilla mengucapkan selamat pagi. Aku tersenyum, aku langsung merasa sangat senang, aku anggap bahwa aku dan Dilla sudah baikan.
Aku berhasil melewati masalah pertamaku dengan Dilla, masalah pertamaku dalam sebuah hubungan. Untuk selanjutnya, aku harus lebih baik lagi, aku tak mau terulang lagi kejadian yang sama, aku tak mai kehilangan Dilla. Aku tahu pertengkaran dalam suatu hubungan itu biasa, bahkan sebagian orang menganggap pertengkaran adalah suatu kewajiban, untuk memperkuat suatu hubungan, katanya. Tapi tetap saja aku tak mau.
Hari-hari selanjutnya, hubunganku dengan Dilla berjalan biasa dan baik-baik saja. Hanya saling mengabari lewat SMS atau telepon, atau mengucapkan selamat pagi, siang, sore, dan malam. Juga bercerita tentang apa saja yang dilakukan seharian. Memang seperti itulah cara berpacaran anak-anak seusiaku.
Sejauh ini, aku belum pernah mengajak Dilla kencan, atau pergi jalan-jalan berdua. Aku dan Dilla hanya bertemu jika ada acara bermain bersama teman-teman sekolahku yang berpacaran juga. Mereka adalah Adit dan Dita, juga Ega dan Icha. Kita hanya bermain ke tempat wisata alam yang tak jauh, tepatnya di lembang. Saat itu, dunia terasa Asyik sekali, seperti tak ada penghuni lagi selain aku, Dilla, dan teman-temanku. Hanya ada tiga pasang anak manusia yang sedang belajar cinta, mencari bahagia, tertawa bersama sampai matahari menenggelamkan diri.
Selama aku berpacaran dengan Dilla, aku banyak merasakan sesuatu yang baru. Ada satu peristiwa yang tak akan pernah aku lupakan, tepatnya saat acara perpisahan di Sekolah. Di acara itu, ada panggung yang menampilkan karya-karya dari murid sekolah. Seperti band, paduan suara, nasyid, dan masih banyak lagi. Acara berlangsung sangat seru. Tapi saat itu suasana hatiku tak seseru acara itu. Saat itu, aku memperhatikan Dilla yang tengah asyik berbincang dengan lelaki lain sambil tertawa ceria. Aku mengenal lelaki itu, namanya Dian. Setahuku, Dian adalah salah satu lelaki yang pernah suka pada Dilla di sekolah, dan mungkin sampai sekarang Dian masih menyukai Dilla. Aku terus memperhatikan Dilla dari kejauhan dengan tatapan setajam elang. Memperhatikan setiap gerak-geriknya, dan mencoba mencari tahu apa yang sedang mereka bicarakan dari gerak bibirnya. Aku akui, aku cemburu, sangat cemburu, dan ini adalah pertama kalinya aku merasakan cemburu. Jadi, aku tak tahu bagaimana caranya mengendalikan cemburu. Aku mengajak teman-temanku ke kelas atas. Aku ingin mencari tempat dimana aku tak bisa melihat Dilla yang tengah asyik dengan lelaki lain. Aku memang terlalu berlebihan, tapi saat itu aku benar-benar tak bisa mengendalikan diri, membiarkan pikiran negatifku semakin jauh.
Saat aku di kelas atas, Dilla mengirim pesan padaku.
"Kamu dimana?"
"Kelas atas." Kubalas.
"Ngapain? Sini, aku di lapang."
"Males ah." Kubalas jutek.
"Kenapa?"
"Takut ganggu kamu sama Dian." Kataku.
"Kamu cemburu lihat aku sama Dian?"
"Kok masih nanya?"
Setelah itu, Dilla tak membalas pesanku lagi. Aku merasa Dilla tak begitu peka, harusnya dia tahu bahwa aku sedang dibakar cemburu. Tak lama setelah itu, Dilla dan teman-temanya berjalan entah mau kemana. Dilla melewatiku begitu saja, hanya menatapku beberapa detik. Ya sudah, aku lakukan hal yang sama. Mungkin Dilla kesal padaku karena rasa cemburuku yang berlebihan, harusnya aku yanh kesal pada Dilla karena bersikap seperti tak peduli melihatku marah. Aku lanjutkan saja perbincanganku dengan teman-temanku. Aku memang sedikit kesal dengan sikap dinginnya itu.
Saat acara usai, aku mencoba mencari Dilla. Aku mulai berpikir untuk mengalah, seharusnya aku tak berlebihan, aku tak boleh bertengkar terlalu lama dengan Dilla, aku takut kehilangannya.
Aku menemui Dilla yang saat iti ada di Kantin. Aku langsung menghampirinya.
"Ayo pulang." Kataku pada Dilla masih dengan nada yang jutek.
"Iya." Kata Dilla.
Saat di parkiran, teman-temanku mengajakku dan Dilla untuk jalan-jalan.
"Ikut dulu yuk, kapan lagi bisa kaya gini?" Ajak salah satu temanku.
"Mau ikut dulu?" Tanya Dilla yang saat itu sudah duduk di motorku.
"Iya deh." Kataku setuju.
Aku dan teman-temanku pergi menuju tempat wisata kecil yang tak jauh dari Sekolah. Di perjalanan, Dilla melingkarkan tangannya di perutku, menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Aku minta maaf." Kata Dilla.
"Aku juga minta maaf, aku yang terlalu cemburuan." Kataku.
"Nggak kok, kamu nggak salah." Kata Dilla.
"Lupain aja." Kataku.
Aku dan Dilla kembali akur, becanda lagi, tertawa lagi.
Di perjalanan, ada sebuah kecelakaan yang menimpa temanku. Saat itu, aku dan teman-temanku tak jadi pergi ke tempat wisata itu, kami semua pergi ke rumah Aji untuk mengobati temanku yang kecelakaan.
Hari mulai sore, dan sudah dipastikan bahwa kami semua batal menuju tempat wisata gara-gara kecelakaan tadi. Aku memutuskan untuk pulang, karena aku tak mau mengantar Dilla pulang bila hari sudah gelap. Aku pamit pada semua teman-temanku.
Di perjalanan, aku dan Dilla membicarakan tentang kecelakaan tadi. Aku dan Dilla tak membahas tentang masalah di Sekolah, masalah itu sudah kita lupakan.
Aku mengantar Dilla sampai ke depan rumahnya, untuk pertama kalinya.
Saat Dilla turun dari motorku, ada anak kecil yang sedang bermain di halaman rumah Dilla. Dia adalah sepupunya Dilla. Dia meneriaki aku dan Dilla.
"Ciyeeee pacaraaan." Kata anak itu.
Aku langsung memacu motorku. Aku takut ada Ibunya Dilla. Aku langsung pulang dengan rasa lelah dan bahagia yang kudapat hari ini.
Beginilah perasaanku, semakin hari semakin ada, semakin nyata. Aku merasa sangat nyaman dengan Dilla. Aku sudah bisa melewati setiap masalah-masalah kecil yang menerpa hubunganku dengan Dilla. Selama berpacaran, aku akui bahwa aku sering berbuat salah pada Dilla, dan Dilla juga begitu. Tapi aku sangat senang, sejauh ini hubunganku dengan Dilla masih baik-baik saja."Aku sangat menyayangimu Dilla, aku tak pernah mau kehilangan kamu. Maaf jika caraku menyayangimu sangatlah payah. Tapi tentang perasaanku, aku tak pernah bohong. Terimakasih untuk masa-masa indah yang kamu berikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...