Reuni SMP

850 44 0
                                    

Besok, akan ada sebuah acara foto dan buka bersama dengan teman-teman SMPku. Aku sudah mendengar kabar bahwa Dilla akan ikut. Andai saja aku dan Dilla tak bermasalah, besok pasti ia akan pergi denganku. Aku mencari cara agar bisa pergi bersama Dilla, aku menelpon temanku, Sugih.
"Halo, Gih?" Sapaku.
"Iya, apa Van?"
"Bisa minta tolong?" Kutanya.
"Minta tolong apa?" Tanya Sugih.
"Besok kamu pergi bareng Adhela kan?" Kutanya.
"Iya, kenapa gitu?"
"Bisa bantu kondisiin nggak? Adhela suruh berangkat sama Dilla, nanti dari tempat kumpul aku bareng Dilla." Kataku.
"Iya nanti aku coba deh." Kata Sugih.
"Usahain ya, Gih."
"Siap."
"Makasih Gih." Kataku lalu menutup telpon.
Aku ingin bicara banyak dengan Dilla, aku tak mau hubunganku dengannya benar-benar rusak gara-gara masalah kemarin. Aku rindu Dilla.
Esok harinya, aku sudah bersiap-siap untuk menuju tempat kumpul. Setibanya disana, aku tak melihat Sugih ataupun Adhela. Aku mencoba menelpon Sugih, tapi tak ada jawaban. Aku mulai putus asa.
Tak lama, Dilla tiba di tempat kumpul. Dia datang bersama Yana, teman sekelasku juga saat SMP. Aku tak merasa cemburu karena aku tahu mereka hanya berteman baik. Tapi yang membuatku kesal adalah, sifat Dilla yang sangat dingin padaku. Dilla tak datang menghampiriku untuk sekedar menyapaku, Dilla benar-benar tak menganggapku ada disitu. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam, memperhatikannya dari jauh.
Akhirnya, aku pergi satu motor dengan Radea. Selama di perjalanan, aku lebih sering berada di belakang Dilla, hanya untuk memperhatikannya tanpa dia tahu.
Tempat tujuan pertama adalah studio foto. Saat itu suasana sangat ramai, membuat semua temanku harus antri untuk dapat giliran. Cukup lama kami menunggu giliran. Selama menunggu, aku hanya berbincang dengan teman lamaku, sambil sesekali memperhatikan Dilla dari kejauhan. Sampai saat ini dia belum mengucap satu katapun padaku. Dia seperti tak pernah kenal denganku, Dilla yang dulunya sangat menyayangiku, kini dia benar-benar menjauh.
Aku sempat dibuat kaget, karena akhirnya Dilla berbicara ladaku saat ia berjalan lewat di depanku.
"Biar apa itu Van?" Tanya Dilla sambil menunjuk bibir bawahku. Pada saat itu aku memakai tindik. Aku tak bisa menjawab apapun.
Setelah itu, akhirnya kami semua mendapat giliran untuk segera berfoto. Kami semua langsung bersiap-siap, merapikan penampilan.
Mungkin hari ini akan menjadi pertama kalinya aku dan Dilla berdiri di depan kamera yang sama untuk berfoto. Setelah lebih dari lima tahun, aku tak pernah ada di foto yang sama dengannya. Dulu, aku pernah bercita-cita bahwa aku akan ada disebuah foto bersama Dilla, dan satu anak lelaki. Aku tak tahu itu akan terjadi atau tidak. Sejauh ini aku masih mendoakan itu.
Setelah foto selesai, kami semua langsung menuju ke tempat tujuan terakhir untuk segera buka puasa bersama, karena saat itu hari mulai gelap.
Setibanya di rumah makan, kami semua segera mengatur posisi untuk segera berbuka puasa. Aku duduk cukup jauh dari Dilla. Ada Rischa juga disana, bersama pacarnya. Dunia memang berputar. Orang-orang yang dulu kusia-siakan kini bahagia dengan kehidupannya masing-masing. Sedangkan aku masih harus berjuang mengembalikan kebahagiaan yang dulu kubuang percuma. Aku masih harus berjuang sendiri menghapus sepi yang kubuat sendiri.
Sampai saat ini, Dilla masih cuek. Aku tak tahu bagaimana caranya agar bisa bicara berdua dengannya.
Setelah selesai makan, aku memutuskan untuk keluar. Di luar aku mengirim BBM pada Dilla.
"Kesini, pengen ngomong." Kataku. Aku tak berani bicara langsung.
"Apa?" Balas Dilla.
"Sini aku diluar, pengen ngobrol."
"Ngapain?"
"Udah nggak usah deh." Kubalas. Aku mengurungkan niatku, karena aku merasa apa yang aku lakukan sangat sia-sia.
Setelah itu, kami semua tidak langsung pulang. Kami kembali ke tempat pertama tadi kumpul. Mungkin untuk melampiaskan rindu yang belum dihabiskan. Tapi aku tak lama berada disana. Aku memutuskan untuk pulang karena perasaanku sangat kacau. Lebih dari sepuluh jam aku bersama Dilla, tapi hanya satu kalimat yang ia ucapkan padaku. Selebihnya, dia benar-benar tak peduli padaku. Iya, ini acara reuni SMP, yang seharusnya menjadi kesempatan agar aku bisa dekat lagi dengan Dilla. Tapi semua hancur berantakan gara-gara ulah Deni kemarin. Sejak saat itu, aku semakin benci pada Deni. Dia tak pernah berani menampakkan wajahnya lagi di hadapanku.

"Dilla, aku rindu kita, kita yang dulu."

KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang