Akhir-akhir ini aku sering merasa kesepian. Sempat terlintas di pikiranku untuk mendekati Dilla lagi, tapi setelah aku berpikir lebih dalam lagi, aku masih merasa takut untuk menyakitinya lagi.
Iyus jadi sering mengejekku karena sudah berbulan-bulan aku menyendiri. Mungkin bagi Iyus sangat aneh aku bisa menyendiri selama itu.
Awal bulan februari 2012, aku mendapat tantangan baru dari Iyus untuk membuktikan bahwa masa jayaku belum habis. Dia menunjuk seseorang sebagai orang yang harus kudapatkan.
Dia Riska, anak kelas sebelah. Akhir-akhir ini dia jadi bahan pembicaraan banyak orang karena dia pernah menolak seorang guru yang ingin menjadi pacarnya. Guru itu adalah guru yang paling tak ku sukai. Selain itu, Riska juga menjadi incaran banyak orang di Sekolah. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang diam-diam saling benci denganku. Oleh karena itu semangatku cukup tinggi untuk mendapatkan dia, untuk membuat orang-orang itu merasa takluk. Setelah cukup lama berpikir, aku terima tantangan dari Iyus.
Suatu hari, saat pelajaran komputer, kelasku dan kelas Riska disatukan. Aku melihat bangku kosong di samping Riska, langsung saja kuisi. Dia menatapku lalu tersenyum, dan aku melakukan hal yang sama.
Selama pelajaran berlangsung, aku tak fokus pada pelajaran, aku hanya becanda dengan Riska, membicarakan hal-hal aneh yang membuatku dan dia tertawa. Saat itu, aku meminjam handphonenya, lalu kusimpan nomor telponku. Saat pelajaran usai, aku berkata pada Riska bahwa aku menyimpan nomorku di handphonenya, dan aku meminta dia untuk menelpon atau SMS aku.
Malam harinya, aku dan Riska berbincang lewat SMS. Tanpa basa-basi, aku langsung berkata pada Riska bahwa aku menyukainya. Aku sedikit kaget saat Riska menjawab "Aku juga pernah suka sama kamu. Kamu beda, orangnya dingin banget."
Aku tersenyum dan mulai mengira bahwa aku tak perlu berjuang keras mendapatkan Riska. Status Riska saat ini lajang, dia baru saja putus dengan Deni, teman sekelasku.
Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan Riska, hanya dengan tiga hari pendekatan lewat SMS, aku sudah bisa mendapatkannya. Aku menembak Riska di hari valentine, hanya bermodalkan coklat dan sedikit rangkaian kata yang kucuri dari para penulis handal, disertai tatapan mata yang lebih menusuk, sampai akhirnya dia mau menerimaku. Hari itu Riska juga bercerita bahwa ada dua mantannya yang mengajak Riska untuk balikan dengan iming-iming akan memberi apapun yang Riska mau. Salah satu dari dua lelaki itu adalah Deni. Aku hanya tertawa dalam hati, karena dari sekian orang yang mengejar Riska, hanya akulah juaranya.
Setelah satu bulan aku berpacaran dengan Riska, aku diperingatkan oleh banyak temanku karena Riska itu adalah cewek matre, bahkan saat Riska berpacaran dengan Deni, Deni harus memberi uang lima puluh ribu setiap harinya, aku kaget setengah gila. Tapi saat itu, aku merasa Riska tak memerasku, jadi aku tenang saja.
Meski aku dan Riska cukup lama berpacaran, aku merasa lebih banyak bertengkar dari pada romantisnya. Aku tak tahu mengapa aku masih mempertahankannya.
Beberapa hal yang tidak aku suka dari Riska adalah, dia selalu mengekangku. Untuk bepergian dengan temanku saja aku harus berbohong dulu. Dia juga melarangku merokok, padahal Ibuku sendiri tak melarangku. Dia selalu memeriksa handphoneku setiap bertemu, rasa takutnya sangatlah berlebihan. Dia selalu ingin dimengerti tanpa pernah mau mengerti perasaanku. Aku belajar banyak tentang pentingnya sabar, dan aku hanya menganggap semua ini hanyalah langkah kecilku untuk mendewasakan diri.
Hubunganku dengan Riska mulai goyah saat menginjak lima bulan. Semua berawal saat aku mulai memakai handphone blackberry, dia marah besar karena dia berpikir jika aku menggunakan handphone itu aku akan mudah selingkuh. Aku semakin kesal karena rasa takutnya yang sangat berlebihan. Dia mengetahui aku memakai handphone baru saat aku dan dia pergi ke rumah saudaranya di luar kota. Aku bertengkar hebat, aku pergi meninggalkannya disana. aku pulang sendiri menggunakan bis umum. Jika dia ingin hubungan ini berakhir, aku tak melarangnya, silakan, aku tak peduli.
Sejak itu, aku benar-benar ingin putus dari Riska, aku sudah muak. Tapi selalu saja aku mendapat kesulitan untuk meninggalkannya. Aku sudah menggunakan berbagai cara. Dalam pikiranku, aku hanya menyisakan satu cara terakhir. Aku harus selingkuh.
Saat hubunganku sudah tujuh bulan, aku sudah tak sanggup lagi, aku memintanya untuk mencari pacar lagi. Dan lagi-lagi aku dan Riska bertengkar hebat, dan kudengar dia menangis di telpon. Tapi aku berusaha menutup telingaku untuk mengabaikan suara tangisnya itu.
Saat itu, aku sudah dekat dengan adik kelasku, Dara. Aku mengajaknya untuk pergi ke sekolah bersamaku. Saat Riska melihatku berboncengan dengan Dara, disitulah dia menganggap bahwa hubunganku dengannya telah berakhir.
Setelah hubunganku berakhir dengan Riska, aku berpacaran dengan Dara, tapi hanya beberapa hari. Aku tak merasa sedih, yang terpenting aku bisa lepas dari Riska.
Pasti banyak orang yang mengira aku lupa pada Dilla selama aku berpacaran dengan Riska. Jawabannya "Tidak". Aku masih sering mencari kabar tentang Dilla. Aku pernah membaca beberapa status yang Dilla tulis di facebooknya saat aku masih berpacaran dengan Riska.
"Kamu so sweet banget ya sama pacar kamu sekarang." Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi aku sangat yakin status itu untukku. Aku tak tahu apa yang Dilla lihat hingga bisa menilai bahwa aku sangat romantia pada Riska. Aku memang pernah melakukan banyak hal untuk Riska, tapi kupikir itu biasa, tak ada yang spesial. Bahkan aku pernah ingin berkata pada Dilla bahwa aku bisa melakukan hal yang jauh lebih romantis untuknya.
Ada statusnya yang lain.
"Putus itu ujian, ngelupain mantan itu tugas. Meski ujian udah selesai, tapi tugas belum."
Aku berharap Dilla tak benar-benar berniat untuk mengerjakan tugasnya.
Ada statusnya yang lain yang bagiku lebih menyentuh dari puisi-puisi karya Khalil Gibran sekalipun.
"Selamat bulan mei yang ketiga."
Aku mulai berpikir bahwa Dilla benar-benar mencintaiku, Dilla menyayangiku. Disaat aku berpacaran dengan wanita lain, dia masih sempat mengucapkan kalimat itu. Sesuatu yang mungkin tak mampu aku lakukan. Aku menangis saar membaca itu. Aku rindu Dilla, aku harap dia mengerti bahwa aku masih berpikir saat itu bukan waktu yang tepat untuk kembali.
Saat aku dan Riska masih berpacaran, Dilla juga pernah mengungkapkan perasaannya padaku. Dilla berkata bahwa dia masih sangat menyayangiku. Tapi bodohnya aku, saat itu aku berkata bahwa aku akan tunangan dengan Riska, dan aku meminta Dilla untuk minta maaf pada Riska. Aku tak bisa memberi alasan yang jelas mengapa aku berkata seperti itu pada Dilla, dan aku tahu Dilla merasa tak dihargai. Mungkin satu-satunya alasan yang bisa kuberikan adalah, aku masih ingin bermain, berpetualang. Saat itu, aku ingin sekali berkata bahwa aku akan pulang pada waktunya. Karena bagiku, Dilla bukanlah tempat bermain. Dilla itu persinggahan pertamaku, dan Dilla adalah tempat aku pulang.
Aku memang pernah merasa sayang pada Riska, tapi rasa itu bisa terhapus. Rasa sayangku yang utuh hanya untuk Dilla, aku tak tahu apa yang bisa menghapus perasaanku untuk Dilla. Dilla adalah ratu di hatiku. Dilla adalah penghuni tetap di hatiku, tak akan ada yang berani mengusirnya.
"Maafkan aku Dilla, aku tahu apa yang kamu rasakan selama aku dengannya, aku mengerti. Aku harap kamu juga tahu apa yang selama ini kurasakan, apa yang selama ini kuharapkan. Aku berharap kamu bisa lebih kuat menungguku sampai aku benar-benar puas untuk bermain. Dia hanyalah persinggahanku, dan kamulah pelabuhan terakhirku, suatu saat aku akan pulang. Aku mencintaimu, perasaan ini lebih dari sekedar kata. Aku harap kau tahu itu. Harus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...