Antara Aku Dan Dia

1K 49 3
                                        

Dilla sedikit berubah. Aku tahu Dilla sedang bermasalah dengan pacarnya. Berulang kali Dilla menulis status di BBMnya. Sebenarnya aku tak mau menganggunya, tapi rasa penasaranku terus mendorong untuk mencari tahu.
Aku terus bertanya pada Dilla. Aku merasa Dilla juga berubah padaku, Dilla tak terlihat ceria. Aku terua membujuknya, sampai akhirnya Dilla mau cerita.
Dilla bercerita, ia mendapat kabar bahwa pacarnya menduakannya dengan seorang mahasiswi yang saat itu praktek di tempat yang sama dengan Fikri.
Aku mengerti perasaan Dilla. Aku tahu Dilla sakit hati. Disitu aku tak berani untuk banyak bertingkah, aku takut berbuat salah lalu membuatnya marah.
Aku ingin sekali berkata pada Dilla.
"Sudahlah! Jangan tangisi dia! Jangan tangisi orang yang menyakitimu. Iya, aku sadar aku juga pernah menyakitimu, meninggalkanmu, sia-siakan kamu, lalu membuatmu menangis. Tapi, sebrengsek apapun aku, aku tak pernah berani menduakanmu. Setahuku, bagi wanita, tak ada yang lebih sakit dari itu. Sudahlah, sekarang aku disini, masih dengan perasaan yang sama seperti dulu, bahkan lebih kuat, lebih keras, dan jauh lebih nyata. Aku ingin kamu kembali, aku tak akan membiarkan kamu sakit lalu pergi lagi."
Entah bagaimana caranya aku menyampaikannya. Aku tak pernah punya kemampuan lebih untuk bisa berkata itu.
Sebenarnya, aku cukup kesal pada Fikri, karena berani berbuat seperti itu. Dia harus tahu apa akibatnya jika membuat Dilla menangis. Aku akui lagi, aku juga pernah membuatnya menangis dan merasa tersakiti. Andai aku bisa bertemu dengan diriku yang dulu menyakiti Dilla, kan kuhajar dia sampai habis.
Tanggal sembilan januari, aku menemui Dilla di rumah sakit tempat Dilla praktek. Dilla memintaku membawakannya makanan. Aku pergi kesana, tak hanya membawa makanan, tapi aku juga membawa rasa cinta yang besar. Aku berbincang tentang apa yang kulakukan saat aku jauh dari Dilla. Aku bercerita bahwa sekarang aku adalah anggota geng motor. Aku nakal, dan hancur. Dilla juga berkata bahwa dia sedikit kaget saat melihat aku memakai baju geng motor di foto profil BBMku.
Saat itu, aku tak bisa berlama-lama dengan Dilla, padahal ingin sekali aku menghabiskan waktu dengannya. Tapi saat itu aku punya urusan yang harus ku kerjakan.
Setelah itu, aku bertanya pada Dilla, bagaimana komunikasinya dengan Fikri sekarang. Dilla menjawab.
"Cuma secukupnya."
Dilla juga berkata bahwa ada temannya Fikri yang menegur Dilla karena aku menemuinya di rumah sakit. Itu sedikit membuatku kesal.
Suatu malam, aku berjumpa lagi dengan Dilla. Saat itu Dilla mendapat jadwal praktek malam di rumah sakit. Aku memintanya untuk mampir ke sebuah warung tempat biasa aku nongkrong sejak SMA. Tak lama, Dilla pun datang dengan berpakaian serba putih. Dilla itu cantik, aku hampir tak bisa membedakan apakah dia itu manusia atau bukan. Aku juga berpikir bahwa Ibunya Dilla bukan manusia. Karena sangat tak mungkin jika seorang manusia melahirkan malaikat. Ah, sudahlah.
Aku dan Dilla bercerita lebih banyak lagi tentang kehidupan masinh-masing. Aku bercerita pada Dilla bahwa aku akan mengikuti tes polisi. Dia mendukungku. Aku sudah bisa bayangkan jika aku jadi polisi dan menikahi seorang perawat. Pasangan yang profesinya sangat mulia. Itu selalu menjadi doaku. Aku juga bercerita pada Dilla bagaimana hubunganku dengan Ayahku yang tak pernah membaik. Sesekali, aku menatap mata Dilla lebih dalam. Aku berkata dalam hati, "Tuhan, aku cinta dia." Andai saja aku tak punya malu, dan aku tak melihat suasana sekelilingku, pasti sudah ku peluk Dilla erat, dan aku tak akan mau melepasnya.
Setelah lebih dari satu jam berjumpa dengan Dilla, aku memutuskan pulang, karena Dilla juga harus segera ke Rumah Sakit.
Aku meminta pada Dilla untuk berhati-hati di jalan. Aku tak mau terjadi sesuatu pada Dilla, sebagai orang yang sangat kusayangi. Aku dan Dilla memacu motor masing-masing ke arah yang berbeda. Aku merasa khawatir pada Dilla, melihat dia mengendarai motor sendirian di malam seperti ini. Apalagi saat itu sedang marak terjadi pembegalan. Aku memutuskan untuk memutar balik motorku. Kukejar Dilla, kumatikan lampu motorku, aku membuntutinya tanpa sepengetahuan dia. Aku ingin memastikan Dilla sampai di Rumah Sakit dengan selamat.
Setelah Dilla sudah dekat ke tempat tujuannya, aku langsung pulang, memacu motorku dengan cepat.
Setibanya di Rumah, aku mengirim pesan BBM pada Dilla.
"Udah nyampe?" Kutanya.
"Udah." Jawab Dilla
"Cepet banget. Nggak nyampe lima belas menit." Kataku.
"Lagian deket."
"Iya deh. Tadi aku pengen banget pegang tangan kamu. Tapi nggak berani." Kataku.
"Aku malah pengen nyender."
"Terus, kenapa nggak?"
"Banyak orang, bukan tempatnya." Kata Dilla.
Tadi, aku ingin sekali menggenggam tangan Dilla. Tangan yang pernah ku genggam beberapa tahun lalu. Andai saja aku tahu Dilla ingin bersandar padaku, dia juga harus tahu bahwa bahuku akan selalu menjadi miliknya.
"Bersandarlah semaumu, rebahlah sesukamu. Bahuku milikmu."
Kurasa, aku dan Dilla masih saling sayang. Aku selalu berharap Dilla kembali. Meski aku tak tahu pasti kapan iti akan terjadi. Aku hanya bisa berusaha untuk yakin.
Suatu hari, aku bertanya pada Dilla tentang kepastian hubungannya dengan Fikri. Dilla menjawab.
"Tunggu sampai tanggal 27. Kalau aku udah nggak bisa sayang sama dia, aku mau udahan. Kalau aku masih bisa sayang sama dia, kayanya lanjut."
Semua pasti tahu apa yang kuharapkan. Aku ingin Dilla mengakhiri hubungannya dengan Fikri. Jika saaf itu Fikri adalah kebahagiaan bagi Dilla, aku sangat yakin bahwa aku bisa memberinya bahagia yang lebih. Aku janji, dan bukan sekedar janji.
Tapi jika Dilla ingin melanjutkan hubungannya, tentu saja aku tak bisa memaksakan apa yang aku mau. Karena cinta itu tak akan jadi satu jika rasa hanya berasal dari satu pihak.

"Dilla, sumpah, aku mencintaimu. Lekaslah kembali, kumohon."

KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang