Setelah beberapa bulan hilang kontak dengan Dilla, di akhir bulan desember tahun 2014, aku berjumpa lagi dengannya lewat media sosial, instagram. Dilla mengomentari fotoku.
"Aku masih punya fotonya Van, haha."
Foto yang dikomentari Dilla adalah foto saat aku kelas tiga SMP. Setelah itu, aku meminta kontak BBMnya Dilla.
Sejak saat itu, aku menjalin kembali komunikasi dengan Dilla. Sekarang, Dilla sering memanggilku "Esa", yang merupakan singkatan dari namaku, Evan Sandy. Sebenarnya, dulu Dilla pernah memanggilku seperti itu, tapi baru sekarang dia sering memanggilku seperti itu.
Sekarang, Dilla punya kekasih baru. Namanya dicantumkan di status BBM Dilla. Namanya Fikri Fauzyan. Katanya, dia adalah teman satu kampus Dilla. Sebenarnya aku sudah tahu sejak lama, aku tak berbuat apa-apa karena kupikir hubungan mereka tak akan lama. Tapi ternyata hubungan mereka berjalan cukup lama hingga sekarang.
Akhir-akhir ini aku jadi terus memikirkan Dilla. Aku pikir sudah saatnya aku pulang, sudah saatnya kembali ke rumah, persinggahan pertamaku. Aku tak boleh membiarkan hubungan Dilla dan Fikri terus menjauh.
Aku merasa hidupku berada di fase paling buruk, hidupku mulai rusak. Aku ingin Dilla membantuku keluar dari hidupku yang rusak ini. Aku ingin dia membantu merubahku menjadi orang yang lebih baik. Kupikir hanya Dilla yang bisa melakukan itu.
Sekarang, aku benar-benar menginginkan Dilla kembali. Dan jika Dilla kembali, aku bersumpah tak akan melepasnya lagi bagaimanapun keadaannya nanti.
Sudah satu minggu ini aku terus memikirkan Dilla. Memikirkan bagaimana cara agar Dilla tahu apa yang aku rasakan. Aku tak boleh buta langkah.
Senin, 29 desember 2014, aku mulai merasa kesal. Aku harus segera melakukan sesuatu. Siang harinya, aku membeli seikat bunga. Aku punya rencana untuk mengungkapkan perasaanku lewat beberapa kalimat yang akan kutulis di atas kertas lalu kuselipkan di antara bunga-bunga itu.
Sore hari, saat aku baru saja pulang olahraga, aku menerima pesan BBM dari Dilla.
"Kami tadi kemana? Aku lihat kamu sama temen kamu." Tanya Dilla.
"Salah lihat mungkin, aku lagi di Purwakarta." Kujawab.
"Masa sih? Perasaan tadi kamu deh, aku yakin banget."
"Segitu kangennya ya sama aku? Sampai salah lihat gitu." Kataku.
"Hahaha, sialan." Balas Dilla.
Aku sengaja berbohong pada Dilla. Agar nanti dia merasa terkejut saat aku mengirim bunga.
Malam harinya, aku sudah bersiap-siap menuju rumah Dilla. Sebelum pergi, aku mengirim pesan BBM pada Dilla.
"Kamu dimana?"
"Di rumah Fikri." Jawabnya.
Yes! Kondisinya cukup aman. Aku langsung menuju ke rumah Dilla di antar oleh saudaraku.
Aku mengetuk rumahnya, tapi tak ada seorangpun yang keluar. Aku memutuskan untuk menyimpan bunga itu di depan pintu rumahnya. Karena aku yakin tak lama lagi Dilla pasti pulang.
Setelah itu, aku langsung pulang. Aku merasa sangat lelah, ku rebahkan badanku di atas tempat tidurku. Sesekali ku buka handphoneku, menanti apa yang akan terjadi, menanti kabar dari Dilla. Sampai jam setengah sepuluh malam, aku belum mendapat kabar apapun dari Dilla. Aku terua menunggu sampai akhirnya aku tertidur karena merasa lelah.
Aku terbangun jam satu dini hari. Aku langsung membuka handphoneku. Dan ternyata ada banyak pesan dari Dilla.
"Apa-apaan sih kamu? Aku tahu bunga itu dari kamu! Aku tahu tulisan di bunga itu kamu! Kenapa harus ngelakuin itu sih? Disaat yang nggak tepat! Disaat aku udah bisa buka hati aku buat orang lain! Kemana aja kamu selama ini? Kemana aja kamu disaat aku nggak bisa bener-bener lupain kamu? Disaat aku bener-bener sayang sama kamu! Tiga tahun Vaannnn, tiga tahun lebih aku nggak bisa lupain kamu! Disaat aku nggak bisa apa-apa, nggak bisa luapin emosi aku ke kamu! Kemana aja kamu selama ini? Kemanaaa?"
Pesan itu seketika membuatku menangis. Air mataku menetes di tengah malam. Sebagai lelaki, aku malu. Tapi aku sungguh tak kuasa menahan air mata yang memaksa untuk menetes ini.
Aku membalas pesan Dilla, aku berkata padanya bahwa selama ini aku tidak benar-benar pergi darinya. Dilla itu selalu ada, di hati dan ingatanku. Aku tak pernah benar-benar lupa pada Dilla. Aku selalu mengingatnya, aku selalu menyayanginya dalam diam. Aku juga berkata pada Dilla, selama aku pergi, aku hanya mencari kepuasan dari duniaku sendiri. Aku tahu itu sangat egois, dan aku sadar bahwa kata maaf tak mungkin cukup. Tapi aku ingin Dilla tahu bahwa rasaku untuknya benar-benar nyata. Aku menangis sepanjang malam, aku tak bisa tidur hingga pagi datang. Aku bisa tidur saat suasana hatiku sedikit tenang, itupun dibantu obat tidur.
Setelah itu, aku tak bisa menggambarkan bagaimana hubunganku dengan Dilla sekarang. Kadang Dilla memberiku perhatian, kadang juga Dilla cuek padaku. Kadang Dilla bersikap seolah mengaharapkanku lagi, kadang juga sebaliknya.
Malam hari, tanggal lima januari. Aku sedang disiksa rindu pada Dilla, tapi tak tahi harus berbuat apa. Saat aku tengah melamun, handphoneku berdering. Ada pesan BBM dari Dilla.
"Pengen dinyanyiin lagu."
"Buat apa?" Kutanya.
"Pengen aja."
Aku sempat bingung, karena saat ini sudah cukup malam. Jika aku bernyanyi, aku pasti membuat Ibu terbangun karena kamarku dengan kamar Ibuku bersebelahan. Tapi tetap kulakukan, demi Dilla. Aku bisa pelankan suaraku.
Aku menyanyikan sebuah lagu milik band pop terkenal yang berjudul "Tercipta Untukku."Menatap indahnya senyuman di wajahmu.
Membuatku terdiam dan terpaku.
Mengerti akan hadirnya cinta terindah.
Saat kau peluk mesra tubuhku.
Banyak kata yang tak mampu ku ungkapkan kepada dirimu.
Aku ingin engkau selalu hadir dan temani aku.
Di setiap langkah yang meyakiniku, kau tercipta untukku.
Meski waktu akan mampu memanggil seluruh ragaku.
Ku ingin kau tahu, ku selalu milikmu, yang mencintaimu sepamjang hidupku.Setelah itu, Dilla menghilang. Dia tak membalas apapun. Aku kembali disiksa rindu akan masa lalu. Dalam lamunku, aku mengenang setiap detik terindah yang pernah aku lewati dulu saat bersama Dilla. Sebenarnya aku merasa ngantuk, tapi disaat seperti ini aku tak akan bisa tidur.
Beberapa jam kemudian, handphoneku kembali berdering. Dilla mengirim voice note untukku.
"Nyanyian kamu cukup buat aku nangis, kebangun, kangen, pengen meluk."
Dilla menangis sambil mendengarkan lagu yang tadi kunyanyikan untuknya. Ternyata Dilla mendengarkan lagu itu sampai membuatnya ketiduran.
"Aku nggak suka kamu nangis." Kataku pada Dilla.
Aku memang tak pernah mau mendengar Dilla menangis. Meski dulu aku juga pernah membuatnya menangis.
Tak lama kemudian, Dilla mengirim voice note lagi.
"Sakit, kamu udah bener-bener buat aku kangen, nggak tahu mesti ngomong apa."
Dilla masih menangis. Dilla masih mendengarkan rekaman berdurasi dua menit tujuh belas detik itu. Dilla memutar rekaman laguku berulang-ulang.
Aku kembali membujuk Dilla untuk berhenti menangis. Aku berkata bahwa aku akan marah padanya jika ia tak mau berhenti menangis.
Beberapa saat kemudian, Dilla mengirim voice note terakhirnya.
"Tidur sana, udah jam berapa ini? Kayanya kamu keseringan gadang. Jaga kesehatan kamu, cucacanya lagi nggak bagus."
Kali ini, Dilla sudah berhenti menangis. Dari yang ia ucapkan, bagiku, itu adalah bentuk perhatian yang luar biasa dari seorang calon perawat yang sangat kucintai. Suaranya terdengar sangat lembut selembut awan. Bagi orang lain, mungkin itu biasa, tapi bagiku, itu sangat menenangkan.
Tak lama setelah itu, akupun tidur. Dengan perasaan yang etanh bahagia, entah sedih, dan entahlah apa yang sedang kurasakan saat ini. Beberapa hari ini perasaanku seperti ini, tak menentu. Entah sampai kapan aku harus seperti ini.
"Dilla, maaf jika aku pernah sia-siakan kamu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu, perasaan ini selalu ada dan tak akan pernah mati. Tolong buka lagi pintu hatimu. Apa kamu tega biarkan aku kesepian dan kedinginan di luar?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
Roman d'amourBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...