Will You Marry Me?

717 28 2
                                    

Aku sudah kehilangan seseorang yang punya arti besar di hidupku. Seseorang yang sempat membuatku lupa pada cinta sejatiku. Dan kini, saat dia pergi, aku kembali tenggelam pada lautan rasa cintaku yang sesungguhnya. Setelah Mikha menghilang dari hidupku, aku kembali mengingat Dilla.
Akhir-akhir ini, aku masih komunikasi dengan Dilla. Dia banyak bertanya tentang bagaimana kehidupan di Jakarta. Katanya, Dilla mau kerja di salah satu rumah sakit di Jakarta. Aku menyambut baik kabar itu, karena aku merasa akan dekat lagi dengan Dilla, apalagi saat ini Dilla sudah mengakhiri hubungannya dengan Fikri.
Suatu malam, aku menceritakan tentang kehamilan Mikha pada Dilla, lewat bbm. Bodoh memang, aku yakin itu akan mempersempit kesempatanku untuk bisa balikan dengan Dilla. Tapi, aku tetap menceritakan itu karena aku merasa Dilla perlu tahu tentang kehidupanku. Aku nggak bisa menyembunyikan apapun dari Dilla.
Mendengar ceritaku itu, awalnya Dilla merasa kecewa, marah, dan ilfeel padaku. Tapi, setelah itu dia bersikap biasa lagi.

***

2 Januari 2017.
Siang hari itu, aku masih di Bogor untuk menyelesaikan beberapa urusan. Setelah urusan itu selesai, aku segera menuju ke Cimahi, kampung halamanku. Di perjalanan, aku menghubungi Dilla untuk mengajaknya makan bersama. Aku senang karena dia mau.
Aku jadi memacu motorku lebih cepat lagi agar tidak terlambat tiba di Cafe yang dijanjikan. Aku terjebak kemacetan panjang, tapi aku terus mencari celah di tengah kemacetan itu agar bisa segera tiba.
Aku sedikit terlambat. Dilla sudah pergi menuju tempat yang dijanjikan, namun Dilla harus pulang lagi karena Cafenya tutup. Untung saja, saat aku tiba di sana, aku masih bisa membujuk Dilla untuk keluar lagi dari rumahnya dan mencari Cafe lain.
Dilla bawa motor sendiri, jadi aku nggak memboncengnya. Tapi, aku tetap senang karena malam ini aku akan makan malam bersama dengannya. Aku memilih Cafe yang nggak jauh dari rumahnya Dilla, sesuai permintaannya.
Aku sudah duduk berhadapan dengan Dilla di Cafe itu. Kutatap wajah itu, wajah yang sudah hampir dua tahun tidak kutatap secara langsung. Rindu ini terpecah hari ini, setelah begitu lama menumpuk dan menyiksaku.
Setelah aku dan Dilla memesan makanan, sepertinya Dilla mencoba untuk membuka perbincangan, tentang kehamilan Mikha.
"Kok bisa sih, Van?" Tanya Dilla.
Aku menjawab seenaknya, aku memang nggak mau ngebahas itu. Aku juga sebenarnya sedang merasa kelelahan, tubuh dan pikiran. Dilla juga mencoba untuk membicarakan hal lain, tapi aku masih nggak bisa diajak ngobrol nyambung. Pikiranku masih penuh oleh apa yang terjadi akhir-akhir ini.
Saking kesalnya, Dilla menelpon Yandi untuk ikut bergabung di Cafe, karena Dilla merasa nggak nyambung ngobrol berdua bersamaku. Tapi, Yandi nggak bisa datang karena dia sedang ada pekerjaan.
Jujur, aku sempat merasa grogi karena sudah begitu lama aku nggak ketemu Dilla. Itu salah satu alasan kenapa aku nggak bisa ngobrol enak bareng Dilla. Jadi, malam itu, inginku hanya satu, hanya ingin bisa menatap Dilla yang selama ini menghilang dari hadapanku, itu sudah cukup.
Aku nggak terlalu lama berada di Cafe itu, aku mengajak Dilla untuk pulang. Aku takut membuat Dilla merasa bosan terlalu lama.

***

Pertemuan singkat itu, seperti sebuah semangat baru untukku. Setelah aku kehilangan Mikha, aku selalu tahu kemana perasaanku kembali berlabuh. Hasratku kembali untuk Dilla, Dilla yang selama ini belum berhasil kugenggam lagi. Tapi, kali ini seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk lebih keras lagi mengejar Dilla.
Sejak pertemuan itu, aku dan Dilla jadi setiap hari berkomunikasi, bahkan aku pernah telponan dengannya sampai larut malam. Aku semakin merasa kesempatanku untuk mendapatkan Dilla masih terbuka lebar. Tak ada yang mampu halangi rasaku dan hasratku ini untuk selalu mencintai dan memiliki Dilla. Karena, sejak aku lepas dari Dilla, aku merasa tak pernah lagi dipersatukan oleh cinta. Aku berpikir untuk tidak mencari lagi wanita lain, hanya satu fokusku, Dilla.

***

Dilla sudah dipastikan akan bekerja di Jakarta. Dan itu kabar bagus untukku. Dan sejak Dilla bekerja di Jakarta, aku jadi sering menemuinya, mengajaknya pergi jalan-jalan, makan bareng, nonton, dan rencananya, akhir pekan nanti aku akan mengajaknya jalan ke Kepulauan Seribu. Sebenarnya, aku sudah merencanakan sesuatu untuk hari itu.
Hari itu tiba, aku dan Dilla pergi menuju salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Awalnya, kita hanya makan di dekat pantai saja, sambil berbincang tentang masa lalu kita yang membuat aku dan Dilla tertawa senang mengenangnya.
Sore hari, saat matahari akan tenggelam, aku mengajak Dilla untuk jalan-jalan di tepi pantai. Lalu, saat kita berjalan, aku berhenti, dan Dilla pun ikut berhenti.
"Kenapa?" Tanya Dilla.
"Lihat matahari itu, dia sedang membuat endingnya untuk hari ini. Cerah kan? Indah?" Kataku.
"Iya." Kata Dilla sambil menatap matahari yang sudah hampir tenggelam.
"Aku ingin mengukir sesuatu yang nggak kalah indah dengan matahari itu."
"Maksud kamu?" Tanya Dilla. Lalu aku berlutut di hadapannya dan menggenggam kedua tangannya.
"Aku yakin, diantara kita masih ada cinta yang membara, kamu nggak bisa terus bersikap seolah kamu nggak pedulikan aku, aku tahu bagaimana perasaan kamu untukku. Kamu selalu tahu bagaimana perasaanku, dan kini aku juga tahu bahwa kamu punya rasa yang sama denganku. Aku sudah lelah menyaksikanmu terus berpura-pura, kamu juga nggak perlu buang banyak tenagamu untuk mencari seseorang yang kamu cintai, orang itu ada dihadapanu, orang itu selalu aku. Aku nggak berharap kita akan balikan sebagai sepasang kekasih, atau pacar." Kataku, lalu aku mengeluarkan sesuatu dari kantung jaketku. "Aku ingin kita punya ikatan yang benar-benar suci. Will you marry me?"
Kutatap mata Dilla dalam-dalam, dan mata itu meneteskan air mata. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, dan sebenarnya aku merasa sudah nekad melamarnya, karena aku belum begitu yakin bahwa ia akan menerima lamaranku ini.
Saat itu, Dilla tak menjawab pertanyaanku dengan suara, tapi ia menjawabnya dengan gerakan. Dia menganggukkan kepalanya, sambil terus menangis haru. Saat itu juga, dia menarik tanganku agar aku berdiri, lalu dia memelukku. "Aku sayang kamu, Van." Ucap Dilla dengan suaranya yang lembut.
Malam itu, menjadi awal untuk cerita baruku dengan Dilla. Tapi, kali ini cerita akan selalu berjalan indah. Karena, tanggal 8 Mei 2017 nanti, kita akan melangsungkan pernikahan kami.
Sudah tujuh tahun aku dan Dilla mengukir kisah. Kita pernah saling cinta, lalu saling meninggalkan, saling menunggu, dan kini kita kembali ke titik awal dimana kita saling menyayangi. Terimakasihku selalu ku ucap atas ijin Tuhan agar aku bisa memiliki Dilla seutuhnya, setelah beberapa tahun ini dia pergi menjauhiku.
Tempatku pulang, tempatku berlabuh, selalu kamu, Dillaku.

-SEKIAN-

KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang