Sekarang, semangatku hampir kembali seutuhnya. Aku memang masih menyayangi Dilla, meski Dilla menyakitiku. Tapi sekarang, yang aku lakukan hanya memelihara harapan, tidak menaruh harapan penuh. Aku tak bergantung penuh pada Dilla. Aku masih bisa ceria tanpa Dilla.
Aku beruntung, bisa mengenal orang-orang yang asyik di Sekolah baruku. Merekalah alasan dibalik keceriaanku sekarang. Tanpa mereka, mungkin sekarang aku masih merisaukan Dilla.
Bukan bermaksud sombong, ini nyata. Di sekolah, banyak sekali wanita yang mencoba mendekatiku. Mereka adalah siswa yang satu angkatan denganku, bahkan tak sedikit dari kakak kelasku yang mendekatiku. Kebanyakan dari mereka meminta bantuan pada Iyus untuk bisa dekat denganku. Harusnya aku bisa memanfaatkan situasi seperti ini. Tapi aku merasa belum siap untuk jatuh cinta lagi.
Di Sekolah, Iyus bercerita tentang para wanita yang bertanya tentang aku.
"Van, kenapa sih kamu cuekin cewek-cewek itu?" Tanya Iyus.
"Cuek gimana?" Kutanya balik.
"Iya gitu deh, kamu nggak ngasih respon buat mereka. Kalau aku jadi kamu, udah di makan tuh semua." Kata Iyus.
"Belum mau aja Yus." Kataku.
"Kenapa belum mau?"
"Lagi asyik gini aja. Kenapa nggak kamu ambil aja?" Kataku.
"Mereka maunya sama kamu." Kata Iyus.
"Nanti deh, mikir dulu."
"Mikir dulu atau milih dulu?"
"Dua-duanya." Kataku tertawa.
"Iya deh, terserah. Jangan sia-siain masa jaya kamu Van, nggak seterusnya kamu bisa kaya gini." Kata Iyus.
"Pengen sih Yus, tapi masih susah." Keluhku.
"Susah kenapa?" Tanya Iyus heran.
"Aku masih sayang mantan." Kataku.
"Mantan kamu nggak ke kamu?"
"Nggak tahu deh."
"Perasaan kaya gitu lawan aja, jangan dipelihara. Nggak baik buat diri kamu sendiri." Kata Iyus.
"Haha, iya deh aku usahain."
Aku diserang kebingungan. Haruskah aku mengikuti saran Iyus untuk menerima para wanita itu. Aku takut jika aku berpacaran dengan salah satu dari mereka tanpa rasa sayang, aku akan menyakiti mereka. Aku tak mau seperti itu, karena aku tahu bagaimana rasanya disakiti. Sering terlintas pikiran jahat di otakku, aku harus bisa melampiaskan sakit hatiku pada wanita lain. Tapi aku belum tahu apakah aku akan melakukannya atau tidak.
Suatu malam, aku ingat bahwa foto-foto Dilla masih kusimpan di bawah bantalku. Aku mengambilnya untuk kupandang lagi wajah lucunya. Harusnya aku tak melakukan itu. Harusnya aku benar-benar melupakan Dilla. Aku menyimpan foto-foto Dilla di dalam laci. Agar aku tak tergoda untuk melihatnya terus-menerus. Aku tak mau menyiksa diri jika harus merindukannya lagi.
Aku kesal pada diriku sendiri, aku labil. Terkadang aku tak peduli pada Dilla lagi, tapi selalu saja ada hal yang membuatku rindu dan mengharapkan Dilla lagi. Sesulit inikah menghapus rasa sayang? Mengapa tak semudah saat mengukirnya?
Dalam lamunku, aku selalu bertanya pada Tuhan. Apa aku jika terlalu sayang pada Dilla? Aku juga selalu meminta pada Tuhan untuk menunjukkan bila memang aku yang salah, disaat Tuhan putuskan takdirku untuk tak bersama Dilla lagi. Jika ada yang menilai bahwa aku terlalu berlebihan, aku tak peduli. Jika ada yang menilai bahwa aku labil, tak apa, aku memang merasa seperti itu, dan itu hakku. Mungkin karena rasa sayangku pada Dilla bukan sekedar kata atau kalimag yang sering kutulis.
Suatu hari, aku benar-benar rindu pada Dilla. Aku rindu sambutan paginya, aku rindu panggilan spesialnya untukku, aku rindu canda dan tawanya. Aku tak mampu menahannya, aku tak bisa munafik, dan aku tak pedulikan gengsi dan harga diriku. Aku mencoba menanyakan kabar Dilla, dan dia hanya menjawab bahwa dia baik-baik saja. Dia terlihat santai, seolah tak ada rasa sedih sedikitpun semenjak aku dan Dilla putus. Mungkin Dilla sudah biasa dalam hal seperti ini, atau mungkin dulu dia tak benar-benar menyayangiku, mungkin juga itu alasannya mengapa dia tidak merasa kehilangan.
Dari rasa sakit ini aku belajar banyak hal. Aku belajar untuk tidak terlalu menaruh harapan pada wanita yang belum tentu menyayangiku dengan sungguh-sungguh, aku belajar bagaimana cara melepas cinta yang tak berbalas. Dan sekarang, aku sedang belajar untuk membenci Dilla, meski pada kenyataannya aku sangat mencintainya.
Setiap hari, aku terus melawan rasa, membuang asa. Sulit? Pasti. Kuat? Kulakukan semampuku. Ada saatnya Dilla menyesali perbuatannya.
"Ya Tuhan, tangguhkan aku di tengah rasa sakit ini. Kuatkan aku untuk lewati masa sulit ini. Atau bantu aku untuk memhenci dia yang kusayangi. Aku yakin Engkau tak akan pernah tega melihat hambaMu tersakiti oleh cinta."

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...