Aku sangat bingung, meski Dilla sudah menolakku, tapi itu sama sekali tak membuat Dilla tersingkir dari hati dan pikiranku. Aku sendiri tak tahu mengapa bisa seperti ini, aku tak mengerti. Aku minta pada Tuhan. Jika Dilla tak bisa kembali padaku, aku ingin bisa membuang perasaan ini, atau setidaknya hadirkanlah orang yang bisa membuat aku lupa segala tentang Dilla. Karena aku tak sanggup jika terus seperti ini.
Sebenarnya, di Sekolah ada satu wanita yang sudah cukup lama kukenal, dan katanya dia menyukaiku. Dia anak akuntansi, dia satu SMP juga denganku, dan dia satu gugus denganku saat masa orientasi siswa. Namanya Rischa Alfiani. Aku biasa memanggilnya Icha. Sempat terlintas di pikiranku bahwa Rischa adalah orang yang bisa membantuku melupakan Dilla.
Rischa adalah wanita yang sangat pendiam, bahkan jarang kulihat dia keluar dari kelasnya saat jam istirahat. Ada teman sekelasku bernama Fitri. Fitri adalah teman dekatnya Rischa. Fitri pernah berkata padaku bahwa Rischa sering memperhatikanku secara diam-diam, makanya aku berani mengira bahwa Rischa menyukaiku.
Sebelum aku mendekati Rischa, aku meminta komentar dari Iyus tentang Rischa. Itu selalu kulakukan, setiap aku akan mendekati wanita, Iyus adalah komentatornya. Aku menunjukkan foto Rischa dari handphoneku.
"Cantik sih Van, tapi kelihatannya dia cewek baik-baik." Kata Iyus.
"Kenapa emang? Bukannya bagus kalau dia cewek baik?" Kutanya heran.
"Berarti cewek ini nggak boleh kamu sakitin." Kata Iyus.
"Bukannya kamu yang ngajarin?"
"Kan aku juga pilih-pilih dulu, mana yang pantas disakitin dan mana yang nggak."
"Nggak akan deh kayanya, tenang aja." Kataku.
"Ah aku ragu. Hati-hati Van, karma dari cewek baik pasti kerasa banget." Kata Iyus memperingatiku.
"Aku nggak percaya karma Yus."
"Terserah kamu deh, aku cuma ngasih tahu."
"Emang kamu pernah ngerasain?" Tanyaku.
"Belum sih, lagian aku nggak mau. Tapi aku yakin banget karma itu ada." Kata Iyus.
"Nggak akan mempan sama aku. Suruh sini aja, ajak ngopi bareng." Kataku tertawa.
"Dikasih tahu malah nantang. Jangan sampe dapet deh, susah cari obatnya, aku sih amit-amit. Ntar kalau kamu dapet karma baru tahu rasa deh." Kata Iyus.
Aku merasa aneh pada Iyus. Tadinya aku hanya meminta penilaian darinya tentang Rischa, tapi dia malah menceramahiku tentang karma. Aku tak pernah tahu arti sebenarnya dari karma, lagipula aku tak mau tahu. Memang banyak yang berkata bahwa karma itu ada. Bukan maksudku menantang, tapi aku tetap tak percaya apapun tentang karma.
Malam itu, 16 november 2010, aku berniat untuk langsung menembak Rischa. Aku memang seperti ini, aku tak pernah berlama-lama menjalani masa pendekatan. Lagipula aku dan Rischa sudah kenal lama meski hanya berkomunikasi lewat SMS atau media sosial dan itupun jarang. Tapi beberapa hari ini, komunikasiku dengan Rishca jadi lebih sering.
Malam itu, aku langsung mengirim SMS pada Rischa.
"Malem Cha." Kusapa.
"Malem juga Van." Balas Rischa.
"Lagi apa Cha?" Tanyaku.
"Lagi tiduran aja, sambil dengerin musik juga. Kamu?"
"Lagi mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Ngomong apa?"
"Nggak akan coba nebak emang?"
"Sebenernya udah ketebak sih."
"Apa coba?"
"Kamu mau nembak aku kan?"
"Kok kamu bisa tahu?"
"Kan nebak aja."
"Ya udah deh, karena kamu udah tahu, langsung jawab aja ya."
"Jawab gimana?"
"Kamu mau nggak jadi pacar aku? Cukup jelas?"
"Hahaha, iya udah jelas."
"Terus gimana jawabannya?"
"Iya, aku mau Van."
Aku sudah menduga bahwa Rischa akan menerimaku. Perasaanku cukup senang. Aku cukup bahagia meski tak sebahagia saat Dilla menerimaku dulu. Entahlah, aku tak bisa menjelaskan alasannya apa.
Esok harinya, aku menulis status di akun facebookku.
"Percayakanlah aku untukmu, Rischa Alfiani."
Aku sengaja menulis itu. Kupikir, semua orang harus tahu bahwa aku punya pacar baru, termasuk Dilla.
Tak lama kemudian, Dilla mengomentari statusku itu.
"PJ PJ PJ! Hahaha."
PJ adalah akronim dari pajak jadian. Dimana setiap orang yang baru saja jadian atau resmi berpacaran harus traktir temannya. Aku tahu Dilla hanya becanda. Dilla berani mengomentari statusku itu karena Dilla dan Rischa sudah saling kenal sejak SMP.
Aku merasa sedikit aneh pada Dilla. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi aku merasa Dilla cemburu setelah mengetahui bahwa aku dan Rischa berpacaran. Karena setelah aku dan Rischa jadian, komunikasiku dengan Dilla malah semakin kuat, seakan Dilla membuka kembali puntu hatinya dan memberiku harapan lagi. Apalagi sekarang Dilla sudah pindah Sekolah yang dekat dengan sekolahku. Tentu saja itu membuatku bingung.
Tadinya, aku berniat untuk menjalani hubungan yang serius dengan Rischa, tapi hadirnya Dilla membuat aku jadi labil. Aku tergoda untuk kembali mendapatkan Dilla, dan godaan itu terus menguat setiap harinya.
Saat hubunganku dengan Rischa baru berjalan beberapa hari, aku merasa jiwa dan ragaku terpisah. Ragaku untuk Rischa, tapi hati dan jiwaku masih memilih Dilla.
Sejak saat itu, aku mulai meninggalkan Rischa. Menghilang darinya, tak memberinya kabar dengan alasan aku sedang dilanda banyak masalah di rumah. Saat itu Rischa sering sekali menelponku, tapi tak ku jawab. Sebenarnya aku merasa tak tega melakukan itu pada Rischa. Entahlah, saat ini keegoisanku sedang tinggi, aku lebih mementingkan Dilla dibanding Rischa.
Setelah dua hari aku menghilang, Rischa menelponku lagi. Aku meminta saudaraku untuk menjawabnya. Aku meminta saudaraku menjawab setiap pertanyaan Rischa sesuai perintahku. Akupun meminta untuk mengeraskan suara telponnya.
"Halo? Ini Evan?" Tanya Rischa.
"Bukan, ini saudaranya." Jawab saudaraku.
"Evannya kemana?"
"Evan udah dua hari nggak pulang. Handphonenya nggak dibawa."
"Lagi ada masalah ya?"
"Iya kayanya."
"Iya deh. Kalau Evan pulang, tolong suruh dia kabarin aku ya."
"Iya."
"Terimakasih." Kata Rischa.
Rischa menutup telponnya. Aku merasa bingung. Aku tak mau menyakiti Rischa, tapi disisi lain aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa aku masih mencintai Dilla. Aku tak tahu jika Dilla akan hadir lagi membawa harapan baru untukku. Jika aku tahu, aku tak akan meminta Rischa untuk menjadi pacarku. Aku merasa menyakiti Rischa yang baik, dan sampai saat ini dia masih sabar, meskipun beberapa hari ini aku sengaja menghilang darinya.
Aku kembali berhubungan dengan Dilla, meski belum berstatus pacaran. Aku masih sering berkata pada Dilla bahwa aku masih mencintai dan mengharapkannya. Dan sekarang, Dilla mengungkapkan bahwa dia punya perasaan yang sama, meski satu bulan kemarin dia menolakku. Entah apa yang membuat Dilla menyayangiku lagi. Aku sempat merasa takut jika Dilla hanya ingin merusak hubunganku dengan Rischa saja, bukan karena dia kembali menyayangiku. Aku berusaha untuk tidak berpikiran negatif.
Selasa, 23 november 2010, aku menulis status lagi di facebookku.
"Yang terbaik yang pernah kumiliki, (D)an ingin kumiliki lagi."
Aku sengaja memperbesar huruf "D" dan memasukkannya ke tanda kurung sebagai tanda bahwa statusku itu ditujukan untuk seseorang berinisial "D". Aku yakin siapapun yang membacanya akan tahu bahwa statusku itu untuk Dilla.
Dilla dan Rischa mengomentari statusku itu. Dilla berkomentar "Wew." Sedangkan Rischa hanya berkomentar "Oh."
Aku tahu Rischa sangat kecewa padaku. Aku bisa membayangkan betapa sakit hatinya dia, aku sudah pernah tahu bagaimana rasanya disia-siakan seseorang yang paling disayangi, dan aku yakin Rischa sedang merasakan itu.
Tak lama kemudian, Aku melihat Rischa menulis status di facebooknya.
"Kamu masih sayang mantan kamu kan?"
Sudah pasti status itu untukku. Ya, aku masih sayang pada mantanku, Dilla. Aku hanya tak tahu harus bagaimana. Sumpah, aku tak pernah berniat menyakiti Rischa, tapi disisi lain aku juga tak ingin menyakiti diriku sendiri karena membohongi perasaanku. Aku tak tahu akan seperti ini jadinya, ini semua diluar dugaanku.
Keesokan harinya, di Sekolah, Iyus menghampiriku dengan tatapan matanya yang beda.
"Parah kamu Van!" Kata Iyus.
"Parah kenapa?" Tanyaku.
"Status kamu yang malem." Kata Iyus. Aku hanya diam dan tetap fokus pada handphoneku. "Kamu udah putus sama Rischa?" Tanya Iyus.
"Belum Yus." Kujawab.
"Hah? Berarti kamu nulis status gitu saat Rischa masih pacar kamu? Gila kamu!" Iyus membentakku.
"Aku bingung Yus. Aku nggak bisa bohongin perasaan aku sendiri." Kataku.
"Ya tapi jangan gitu caranya. Aku ngaku deh, sering nyuruh kamu buat mainin cewek. Tapi kan aku bisa bedain mana yang pantas disakitin dan mana yang nggak." Kata Iyus.
"Iya Yus aku tahu, sumpah aku bingung."
"Terus sekarang mau kamu gimana?" Tanya Iyus.
"Nggak tahu Yus, masih belum nemu jalan, aku pusing semaleman mikirinnya." Keluhku.
"Ya udah, mending kamu putusin aja Rischa. Buat dia ngerti, soalnya percuma kalau dilanjutin, yang ada dia malah makin sakit hati."
"Tapi gimana caranya? Aku harus bilang apa biar dia ngerti?"
"Iya kami ngomong apa adanya aja, jangan lupa minta maaf. Hati-hati Van, aku udah peringatin kamu, jangan sampe kena karma. Nggak akan ada yang bisa bantu kamu." Kata Iyus.
Sumpah, aku langsung malas mendengar Iyus membicarakan karma. Sebenarnya aku juga malas membicarakan Rischa. Aku tak tahu mengapa akhir-akhir ini Iyus jadi sering membicarakan karma.
Aku memutuskan pergi menuju Kantin sendiri. Sedikit menjauh dari Iyus. Dalam keadaan seperti ini aku tak mau bicara dengan siapapun, aku ingin menyendiri untuk mencari langkah yang tepat untuk hubunganku dengan Rischa dan Dilla.
Saat pulang sekolah, aku masih saja memikirkan Rischa dan Dilla. Aku merasa ditempatkan pada posisi yang sulit dimana aku harus memilih antara wanita yang kusayangi dan yang menyayangiku. Saag itu, aku menelpon Rischa untuk membicarakan hubunganku dengannya.
"Halo? Cha?" Kusapa.
"Apa Van?" Nada suaranya sangat lemas.
"Aku mau ngomong." Kataku.
"Aku udah tahu apa yang mau kamu omongin." Kata Rischa. Aku mendengar suaranya semakin lemas.
"Maaf Cha, aku nggak ada maksud nyakitin kamu. Aku nggak bisa bohongin perasaan aku sendiri, aku mohon kamu bisa ngerti." Kataku.
"Iya Van, aku ngerti kok. Aku nggak apa-apa. Kalau kamu sayangnya sama Dilla kejar terus dia sampai dapet, jangan cari persinggahan Van. Aku nggak apa-apa, tapi nggak semua cewek bisa terima diginiin." Kata Rischa
"Iya Cha, maaf, sumpah aku nggak ada maksud buat jadiin kamu pelampiasan, aku nggak bisa nebak kalau akhirnya jadi kaya gini." Kataku.
"Iya udah Van, jangan pikirin perasaan aku, tenang aja. Kalau udah dapetin Dilla lagi, jangan sia-siain dia Van, aku tahu banget dia cewek yang baik." Rischa terdengar seperti menangis.
"Kamu nangis?" Kutanya.
"Nggak Evan."
"Jangan nangis Cha, maafin aku. Aku nggak akan lanjut deh sama Dilla, aku mau sama kamu." Kataku.
"Jangan Van, kamu sama Dilla aja, kan dia yang terbaik dan ingin kamu milikin lagi." Rischa benar-benar menangis.
"Cha, maaf banget, aku makin ngerasa bersalah."
"Aku yang salah Van, nerima kamu yang jelas-jelas hatinya milik orang lain." Kata Rischa.
"Jangan nangis lagi Cha, aku sayang sama kamu." Kataku.
"Jangan paksa aku buat percaya." Kata Rischa.
"Maaf banget Cha."
"Makasih buat satu minggunya." Kata Rischa. Lalu Rischa menutup telponnya. Aku tahu dia sangat kecewa dan sakit hati, tapi dia agak pintar untuk menyembunyikannya.
Kupikir, Rischa sudah melepasku. Aku ingin bisa berteman baik dengannya meski aku tahu dia sangat marah dan kecewa padaku.
Tak lama setelah aku putus dari Rischa, dia pindah sekolah. Aku bertanya pada banyak orang alasannya apa, tapi kabar dari mereka berbeda-beda. Ada yang bilang bahwa Rischa pindah rumah, ada yang hilang bahwa Rischa pindah karena kubuat dia sakit hati, dan ada juga yang bilang bahwa Rischa bermasalah dengan guru, dan itu yang paling tak bisa kupercaya, aku tahu Rischa wanita yang baik. Sebelum Rischa pindah, ia memberiku sebuah gelas yang dihiasi foto-fotonya sebagai hadiah perpisahan. Aku sangat berterimakasih. Iyus memang berkata benar bahwa Rischa memang orang yang baik. Mungkin itu sebabnya Iyus memberiku peringatan keras. Aku hanya berusaha memperjuangkan apa yang aku rasakan. Aku tak mai semakin menyakiti Rischa jika kenyataannya hatiku terus menunjuk Dilla.
Sekarang, aku kembali fokus pada Dilla. Sang cinta pertamaku, pelabuhan pertamaku, penghuni tetap di hatiku. Aku mencintai Dilla, sangat mencintainya.
"Dilla, hari ini aku sangat mencintaimu. Esok, lusa, dan seterusnya, akan kuulangi kalimat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...