Beberapa hari yang lalu, aku sempat berkomunikasi lagi dengan Dilla. Awalnya hanya hanya membicarakan hal biasa, tapi pembicaraanku dengan Dilla semakin jauh, membahas tentang perasaanku, juga tentang hubungannya dengan Fikri. Saat itu aku bercerita bahwa aku pernah menguji kesetiaan Fikri. Tadinya kupikir Dilla akan marah, tapi dia malah memintaku untuk melakukannya lagi. Aku langsung menurutinya.
Aku mengundang kontak BBM Fikri dengan nama orang lain. Aku hanya berbincang biasa lewat BBM untuk memancing Fikri. Sebenarnya, Fikri itu lelaki yang mudah terpancing. Aku berkata pada Dilla bahwa Fikri adalah tipe lelaki yang masih bisa tergoda pada lelaki yang menurutnya lebih dari Dilla. Aku tak bermaksud menjatuhkan Fikri di mata Dilla, tapi aku hanya mengungkapkan penilaianku tentangnya.
Saat itu, Dilla dan Fikri beradu argumen lewat BBM. Dilla mengirim sebuah screenshot berisi obrolannya dengan Fikri. Aku membaca bahwa saat mereka bertengkar, Fikri sedang dalam keadaan sedikit mabuk karena menenggak minuman keras, sesuatu yang tak pernah kulakukan sejak satu tahun yang lalu.
"Dia suka minum?" Kutanya.
"Iya." Jawab Dilla.
"Sejak kapan? Baru nakal atau gimana?" Kutanya lagi.
"Udah lama, dari SMA. Tapi sekarang nggak terlalu parah kaya dulu pas sebelum pacaran sama aku." Jawab Dilla.
Dilla sudah tak sanggup lagi menahan emosinya pada Fikri. Keesokan harinya, aku menerima kabar bahwa Dilla menyudahi hubungannya dengan Fikri. Tapi aku tak merasa senang karena aku tahu apa yang akan terjadi.
"Aku yakin, nggak lama lagi kamu pasti balikan." Kataku pada Dilla lewat chat.
"Karena kita ketemu tiap hari Van. Sampai sekarang dia masih menjadi semangatku buat pergi ke kampus. Aku juga nggak yakin kalau udah lulus aku bisa lupain dia." Jawab Dilla.
"Iya aku tahu kok Dil." Kataku.
"Aku blokir kamu ya? Nggak apa-apa?" Tanya Dilla.
"Biar aku aja." Kataku. Andai aku berani, aku ingin sekali memohon pada Dilla untuk tidak memutus komunikasi lagi. Tapi aku tak mau jika harus mengemis.
"Kalau udah takdirnya, kita pasti ketemu lagi." Kata Dilla. Bagiku, kalimat itu diucapkan Dilla hanya untuk membuatku sedikit tenang, selebihnya hanya omong kosong.
Aku langsung memblokir kontak Dilla, dengan berat hati tentunya. Entah mengapa, Dilla lebih memilih lelaki yang beberapa kali mencoba menduakannya, yang masih saja melakukan hal buruk dibelakangnya. Padahal aku sudah sangat yakin pada diriku sendiri bahwa aku tak akan pernah menyakiti Dilla lagi. Aku hanya gagal untuk menghapus rasa takutnya. Lagi-lagi aku harus memaksakan diri untuk mundur. Tapi aku tak pernah benar-benar mundur, hanya menunggu waktu yang tepat untuk melangkah lagi. Pahit memang, disaat kenyataannya Dilla tak bisa kujadikan tempat untuk kembali.
Kini, aku hanya memaksakan diri untuk bisa bernafas tanpa Dilla. Dilla, yang selalu meninggikanku, yang selalu membuatku lemah tanpanya. Tangguhku karena dia, rapuhku tak terarah juga karena dia. Aku akui akulah yang memulai segalanya, tapi aku ingin Dilla melihatku yang kini paling terluka.
Sampai saat ini, aku masih mencari tahu tentang Dilla. Aku masih sering meminta foto yang Dilla gunakan sebagai foto profil BBM lewat temanku. Entah sampai kapan aku akan melakukan itu. Aku tak pernah tahu bagaimana cara untuk berhenti mengharapkan Dilla. Dilla selalu kusebut dalam doaku. "Tuhan kembalikan Dilla, kembalikan Dilla, tunjukkan adilMu, kumohon."
Aku disini, mungkin ratusan kilometer dari tempat dimana Dilla berada. Menatap langit ditemani secangkir kopi yang tak pernah mampu tuk hangatkanku. Aku iri pada langit, yang bisa memandang Dilla setiap saat dengan leluasa. Aku ingin lebih dari sekedar memandangnya selagi aku bisu. Aku tahu mungkin aku dan Dilla tak akan bisa bersatu, namun aku belum bisa untuk menghentikan rasa ini. Aku kecewa pada takdir yang membiarkanku berlabuh pada dermaga yang telah terkunci. Aku tak tahu lagi kemana harus berlabuh, saat badai besar seperti ini menerpaku.
Aku pernah membaca sebuah kutipan dari musisi favoritku, Fiersa Besari. "Mengucapkan 'Selamat, semoga langgeng' pada orang yang sangat kau cintai, membuktikan dirimu bahwa kau cukup dewasa untuk mengikhlaskan." Aku akui, aku belum bisa sedewasa itu. Dan jika definisi dewasa adalah seperti itu, mungkin sampai kapanpun aku tak akan pernah dewasa. Aku tak pernah tahu, dan tak ingin mencari tahu cara mengikhlaskannya. Merelakan Dilla tak mungkin mudah seperti senja yang rela menenggelamkan diri untuk diganti sang malam.
Aku benci mengakuinya, bahwa aku masih tak bisa berhenti merindukan Dilla yang kini bersama lelaki lain, mengaharapkan Dilla yang tak pernah mau lagi untukku. Aku masih berharap Dilla duduk di motorku lalu memelukku erat. Aku masih berharap Dilla akan mengulurkan tangannya untuk ku genggam. Aku masih berharap Dilla akan menyambut setiap pagiku, mengantarku menuju mimpi setiap malam. Aku masih berharap Dilla akan datang sebagai jawaban dari setiap gundahku. Aku masih berharap jika suatu saat nanti dialah yang memasangkan dasi sebelum aku berangkat kerja.
Dalam hening, angin menjadi saksi perasaan tulusku. Lalu kuharap angin itu berhembus di hadapan Dilla untuk menyampaikan seluruh maksudku. Aku tak mau Dilla melangkahkan kakinya semakin lebar untuk pergi menjauh. Aku tak tahu ke ujung mana harus melangkah, tak pernah ada tempat yang tak mengingatkanku pada Dilla.
Di hadapan Dilla, aku malu untuk berkata tentang perasaan ini. Di hadapan Tuhan, terang-terangan aku meminta agar mau untuk mengembalikan Dilla.
Mau tak mau, sekarang aku harus percaya tentang adanya karma. Mungkin aku diserang karma, seperti sebuah status yang pernah Dilla tulis di facebooknya tanggal 1 mei 2012.
"KARMA : Kau akan rasakan menjadi aku."
Jika Dilla pernah mengharapkan aku mendapat karma, kukira dia berhasil. Aku rasakan apa yang mungkin Dilla rasakan dulu. Dulu, Dilla sangat mencintaiku. Sekarang, saat perasaan itu hilang, aku dihampiri rasa sesal yang begitu hebat. Disitu saatnya aku harus tahu bahwa karma itu ada.
Sekarang, aku benar-benar percaya karma. Disaat bahuku tak lagi jadi tempatnya bersandar, disaat tanganku tak lagi ia genggam, disaat hadirku tak lagi jadi senyum untuknya. Semua berubah, semenjak Fikri singgah dan enggan pergi lagi dari hati Dilla.
Tanggal 8 September aku menulis status di facebooku.
"Selamat tanggal 8 yang ke 64."
Aku melakukan itu, seperti yang Dilla lakukan dulu saat aku bersama Riska.
Aku harus menahan pedih yang tiada habisnya melihat Dilla berbagi kasih dengan lelaki lain. Seperti yang Dilla lakukan dulu.
Setiap hari, aku disiksa rasa rindu yang selalu membuatku menangis tersedu tanpa pernah tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Seperti yang pernah Dilla rasakan dulu.
Kepada diriku sendiri, aku kesal karena penyesalan yang datang terlambat. Kepada Dilla, aku hanya bisa berharap agar dia mau melihatku disini yang sangat mencintainya. Semakin Dilla pergi jauh, semakin berubah juga perasaanku, semakin ada dan nyata, semakin keras, semakin gila kucintainya.
Teruntuk Tuhan, yang disembah manusia dengan berbagai cara, yang diserukan manusia dengan berbagai nama. Aku mohon, aku hanya ingin Dilla, hanya Dilla. Itu lebih dari cukup untukku bahagia. Aku cinta Dilla, aku cinta Dilla, sekali lagi, aku cinta Dilla.
"Dilla, maafkan ketidakmampuanku untuk melupakanmu dan berhenti mengharapkanmu. Andai aku mampu, sejak dulu sudah pasti kulakukan. Aku mencintaimu, rasa ini lebih dari sekedar kata."
Aku tak tahu lagi bagaimana mengungkap rasaku lewat kata. Waktu terua berputar tanpa peduli apapun yang terjadi, begitulah rasaku untukmu.
Aku hanya berharap bisa membuat Dilla peka saat dia membaca tulisanku. Untuk yang terakhir di cerita ini, tapi bukan yang terakhir di kehidupan nyata, aku ingin mengucapkan bahwa "AKU CINTA DILLA."-SEKIAN-

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...