Dilla Menjawab

988 47 0
                                    

Dilla merubah sikapnya lagi padaku. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Dilla jadi cuek, padahal sejak peristiwa Tebing Keraton aku sudah sangat yakin bahwa aku dan Dilla akan bersatu lagi. Aku benar-benar dibuat bingung dan gelisah. Aku mencoba berpikir positif, aku hanya mengira Dilla sedang merasa kebingungan antara lanjut atau menyudahi hubungannya dengam Fikri. Bagiku, Dilla selalu jadi jawaban, tapi saat itu, aku merasa dijakdikannya sebuah pilihan.
Senin, 26 Januari 2015. Dilla mengajakku untuk bertemu, lalu aku memintannya untuk datang ke rumah Rey. Dilla berkata ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
Dilla tiba di rumah Rey. Saat itu ada teman-temanku. Salah satunya Tiara, sahabat wanita terbaik yang aku punya. Aku sering bercerita tentang Dilla pada Tiara.
Aku meminta sedikit waktu pada teman-temanku untuk tidak menggangguku dengan Dilla, karena aku sudah mengira apa yang akan Dilla bicarakan sangatlah serius. Aku dan Dilla memilih untuk berbincang di teras rumah.
"Van, aku bingung, bukannya aku nggak mau balik lagi dan ngebantu ngerubah kamu, aku takut." Kata Dilla.
"Takut kenapa?" Tanyaku.
"Aku takut semua tetep sama, nggak ada bedanya." Jawab Dilla.
"Aku nggak ngerti." Kataku.
"Aku takut kalau aku balik lagi sama kamu, kamu tinggalin aku lagi disaat aku bener-bener sayang. Aku nggak mau."
"Aku nggak akan ngelakuin itu." Kataku menatapnya dalam.
"Kalau aku lanjut sama Fikri juga sama, aku takut sakit hati lagi. Aku mau jalanin yang sekarang dulu Van." Kata Dilla.
Sebenarnya, aku kurang mengerti apa yang Dilla bicarakan. Tapi aku bisa menyimpulkan bahwa Dilla secara tak langsung meminta izin padaku untuk melanjutkan hubungannya dengan Fikri.
Aku dibuatnya hampir menangis. Aku mencoba tahan semampuku, tapi aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa untuk menetes ini. Aku menutup wajahku, aku tak mau Dilla melihatku benar-benar menangis. Aku mencoba untuk jadi lelaki tangguh, meski saat itu Dilla membuatku rapuh.
Aku kehabisan kata, kehabisan cara. Aku tak tahu lagi bagaimana cara meyakinkan Dilla bahwa aku tak akan pernah melakukan kesalahan yang pernah aku lakukan padanya dulu. Aku mencintainya, aku menyayanginya, aku tak tahu lagi harua berkata apa agar Dilla percaya, aku tak punya cara lagi untuk menghapus rasa takutnya.
Setelah perbincangan serius ini dirasa cukup, aku dan Dilla bergabung bersama teman-temanku di rumah Rey.
Saat berkumpul, aku tak banyak berbincang lagi dengan Dilla. Aku tak bisa mengendalikan diri, perasaanku tak karuan, rasa sakit ini tak ada duanya, pedih ini seakan tak ada habisnya, perasaan ini sangat sulit untuk kujelaskan.
Tak lama, Dilla pamit pulang. Saat Dilla pulang, aku sempat tergoda untuk kembali pada kehidupanku yang dulu. Aku sempat tergoda untuk mabuk agar bisa melupakan rasa sakit ini, meski aku tahu hanya untuk sejenak. Hampir saja aku tak mampu menahan keinginanku untuk melakukan itu andai saja aku tak berpikir bahwa hal itu hanya akan membuat Dilla semakin jauh.
Aku memilih untuk melampiaskan rasa sakit hatiku menjadi sebuah lagu. Karena kupikir itu lebih positif. Aku menciptakan sebuah musikalisasi puisi, seperti yang kujanjikan dulu pada diriku sendiri bahwa aku akan menciptakan sebuah lagu untuk Dilla.
Aku membuat lagu itu dibantu Rey. Lagu yang berisi tentang isi hatiku, yang kubuat dengan penuh rasa. Dan lagu itu selesai hanya dalam beberapa jam.

"Maaf"

Detik, menit kulalui tanpa sapamu lagi.
Hari-hari kulewati tanpa sambutmu lagi.
Egokah aku jika aku memintamu kembali?
Pantaskah aku mendapatkan tempat itu lagi?
Aku sadar, kata maaf tak pernah cukup.
Sadar, pintu hatimu telah kau tutup.
Sadar, hari-hariku kembali redup.
Dan aku sadar, aku tak lagi sanggup.
Cerita kita sangatlah indah.
Andai aku tak bodoh memberimu luka.
Hingga datangnya rasa sesal yang tak terduga.
Tapi percayalah, rasa ini sungguh ada.
Aku tak bisa banyak bicara, kau buatku bisu.
Aku tak bisa banyak melihat, aku telah buta.
Tak bisa banyak mendengar, kau tahu kau buatku tuli?
Tak bisa banyak bergerak, aku lumpuh.
Cintamu membuatku bisu, buta, tuli, dan lumpuh.
Sehingga aku biarkan separuh jiwaku pergi bersamamu.
Hanya bisa meminta pada Dia, Sang Pencipta.
Entah untuk yang keberapa kalinya aku memintamu kembali.
Entah juga untuk yang ke berapa kalinya aku ingin berkata maaf.
Maafkan aku, ku melukaimu.
Maafkan semua kesalahanku.
Walaupun kini kau telah tinggalkan aku.
Ku akan selalu mencintaimu.
Takkan pernah kulupakan kisah indah yang telah kulalui.
Walaupun kini kau telah tinggalkan aku, sayang, kau tak akan terganti.
Takkan pernah kuhilangkan semua rasa yang telah kumiliki.
Walaupun kini kau telah pergi bersamanya, ku kan tetap disini.

Kuciptakan lagu itu, dalam suasana rapuhnya hatiku, serta kenangan indah yang saat ini terkubur rasa sesalku. Di tengah rasa sepi hatiku yang harus mencoba untuk berjuang hidup tanpa Dilla, yang tak lagi mencintaiku. Kini harus kuhancurkan mimpiku, yang dulu pernah kurangkai untuknya yang sangat berarti bagiku.
Keesokan harinya, Dilla mengunggah sebuah gambar ke akun instagramnya. Gambar itu adalah gambar angka dua puluh tujuh. Hari jadinya dengan Fikri. Dilla menulis "Selamat sembilan bulan sayang."
Dilla benar-benar kembali pada Fikri. Dilla membuka lembaran baru dengan Fikri, bukan denganku. Sejak saat itu, aku benci tanggal dua puluh tujuh.
A

ku masih sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa Dilla lebih memilih lanjut dengan Fikri? Yang beberapa hari kemarin menyakiti Dilla. Mengapa Dilla bisa secepat itu memaafkannya? Aku ingin tahu apa yang Fikri lakukan hingga bisa membuat Dilla begitu mencintainya, menyayanginya, bahkan setelah diduakan dengan wanita lain. Aku juga kesal pada diriku sendiri, karena aku tak berhasil membuat Dilla percaya bahwa aku menyayanginya dan takkan melakukan kesalahan yang pernah aku lakukan.

"Sampai detik ini, aku tak bisa munafik. Aku masih tak mampu menahan rasa ingin berkata bahwa aku mencintaimu, Dilla."

KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang