Akhir-akhir ini, aku memang sering mengirim SMS pada Dilla. Meski hanya sekedar menyapa, mengucapkan selamat pagi, siang, ataupun malam, juga bertanya tentang apa yang sedang dia lakukan sekarang. Begitulah, sejauh ini aku hanya mampu berbuat seperti itu. Aku belum terlalu pintar untuk bisa menarik perhatiannya. Tapi aku cukup senang, Dilla tak pernah jutek, responnya selalu baik. Dilla selalu membalas SMSku meski apa yang aku ucapkan padanya tak terlalu penting. Dilla itu ramah, baik, dan selalu membuatku semakin jatuh hati meski dia tak berniat melakukan itu.
Saat itu, aku mencoba mencari topik pembicaraan agar bisa berbincang lebih banyak hal lagi dengan Dilla, meski hanya lewat SMS.
"Siapa cowok yang kamu suka di kelas?" Kutanya Dilla.
"Ada sih. Kamu dulu deh, siapa cewek yang kamu suka di kelas?" Dilla balik bertanya.
"Aku pernah suka sama Dea." Kujawab. Dea adalah teman sekelasku juga, aku pernah suka sama Dea. Hanya sebatas suka, tak ada keinginan lebih untuk menjadikannya pacar. Sejujurnya, saat Dilla bertanya tentang itu, aku ingin sekali menjawab bahwa dia yang saat ini aku suka, dialah yang akhir-akhir ini selalu ada di pikiranku dan membuatku jatuh hati. Tapi aku belum berani, lagi-lagi harus kutunda.
"Deketin dong, setahu aku kan dia lagi sendiri." Balas Dilla.
"Kan aku bilang pernah suka, bukan berarti aku masih suka. Giliran kamu yang jawab." Kataku.
"Aku suka sama Asyari." Jawab Dilla. Aku tak kaget mendengar jawaban Dilla. Asyari itu teman kelas yang cukup dekat denganku, dia orang yang santai, nggak banyak tingkah, menurutku Asyari itu cukup tampan. Wajarlah jika Dilla suka padanya. Tapi tentu saja aku tak mau kalah, mendengar jawaban Dilla seperti itu tak membuatku mundur atau membuatku ingin menyerah. Hasratku untuk memiliki Dilla malah semakin menggelora, membuatku seperti tertantang. Aku memang tak pernah tahu cara mendapatkan wanita, tapi dengan perasaan yang sekarang kumiliki, aku tak akan pernah kalah dari Asyari.
Sekarang, Dilla sudah menjadi bagian penting di hidupku, bagian dari semangatku, meski Dilla belum menjadi milikku. Untuk pertama kalinya, aku jatuh hati sejauh ini.
Aku harus bergerak lebih cepat dan melangkah lebih tepat. Masa-masa SMPku hampir usai, aku tak mau mengalami kesulitan untuk mendapatkan Dilla jika harus berbeda sekolah nanti.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk mengajak Dilla pergi jalan-jalan. Pada saat itu, aku tak tahu ingin mengajak Dilla kemana, pokoknya aku hanya ingin pergi dengan Dilla. Aku bertanya kemana tempat dia suka bermain, Dilla mengajakku untuk nonton film. Aku langsung setuju dengannya. Banyak orang berkata bahwa menonton film di bioskop bersama wanita adalah salah satu hal yang romantis.
Saat itu, aku menjemput Dilla di depan pintu masuk perumahannya. Jarak rumahku dengan Dilla tak terlalu jauh, mungkin hanya dua kilometer. Dilla tampil sangat cantik saat itu. Aku ingin bertekuk lutut di hadapannya lalu berkata bahwa aku benar-benar menyukainya. Dilla juga mengajak dua temannya, Adhela dan Nadya. Aku kenal Adhela, karena dia teman sekelasku saat kelas dua. Tapi aku tak mengenal Nadya. Setahuku, Nadya itu saudaranya Adhela.
Aku dan Dilla pergi menggunakan motorku, sedangkan Adhela dan Nadya pergi naik angkot. Aku segera melajukan motorku menuju salah satu mall ternama di kota Bandung.
Di sepanjang perjalanan, aku tak bisa banyak bicara, aku dibuat bisu. Saat itu, aku sedang berusaha sekeras mungkin melawan rasa gugupku. Aku hanya bisa bertanya hal-hal yang tak penting. Aku yakin Dilla menyadari bahwa aku sedang merasa gugup.
Setibanya di tempat tujuan, aku masih saja tak bisa banyak bicara, aku kesal pada diriku sendiri. Aku hanya berjalan dibelakang Dilla, aku merasa sangat gugup jika harus berjalan sejajar dengan Dilla. Aku merasa aneh, Dilla tampak tenang berjalan denganku. Mungkin Dilla sudah terbiasa berjalan dengan lelaki, tapi bagiku ini baru pertama kali. Aku terus berjalan di belakang Dilla, seperti bodyguard yang sedang mengawal majikannya. Selain itu juga karena aku tak tahu bioskop letaknya di lantai berapa. Saat naik lift, aku biarkan Dilla memandu jalanku. Bukan karena aku kampungan, tapi karena tempat bermainku bukanlah mall seperti ini, aku lebih nyaman duduk di depan komputer untuk main game online, buatku itu lebih menyenangkan.
Saat masuk ke bioskop, aku dan Dilla langsung memilih film yang akan kita tonton. Aku dan Dilla memilih film yang tak lama lagi dimulai. Dan film yang kita pilih adalah film dewasa, karena aku tak mau jika harus menunggu film lain yang akan mulai sekitar satu jam lagi. Aku takut membuat Dilla bosan jika harus menunggu selama itu, karena aku tak bisa banyak bicara dengannya.
Saat film sudah dimulai, aku tak sedikitpun berniat untuk menyimak cerita di film itu, aku hanya ingin bersama Dilla, merasakan Dilla yang benar-benar ada simpangku, menikmati momen indah yang saat ini mampir hidupku, itu saja. Aku memang terlihat sok serius menonton film itu, padahal mataku curi-curi pandang pada Dilla, kulakukan hal itu berulang-ulang. Aku masih belum bisa mengendalikan rasa gugupku, ditambah dengan adegan-adegan di film itu yang membuatku semakin gugup. Aku berharap film itu segera selesai, lagipula aku tak mengerti film itu menceritakan apa.
Akhirnya, lampu bioskop menyala, lega sekali rasanya, akhirnya usai sudah film itu. Aku dan Dilla pun segera berjalan meninggalkan bioskop.
"Rame nggak filmnya?" Kutanya Dilla yang sedang sibuk dengan handphonenya.
"Lumayan." Jawab Dilla.
"Aku nggak ngerti film itu nyeritain apa." Kataku sedikit tertawa. Dilla hanya tersenyum.
"Mau kemana lagi kita?" Tanya Dilla.
"Nggak tahu, terserah kamu aja." Kujawab.
"Ke bawah aja yuk, ketemu Adhela sama Nadya." Ajak Dilla.
"Iya." Kataku mengangguk.
Aku dan Dilla menemui Adhela dan Nadya di lantai dua. Tadinya, aku kira Adhela dan Nadya akan ikut nonton, ternyata mereka berdua hanya berjalan-jalan dan membeli sesuatu di mall itu. Tapi aku bersyukur, aku tak mau banyak orang tahu bahwa aku sedang merasa gugup.
Aku dan Dilla bertemu dengan Adhela dan Nadya di lantai dua.
"Ehem, serasi banget ih." Kata Adhela.
"Apa sih." Kata Dilla tersenyum. Aku pun ikut tersenyum.
"Kamu mau kemana lagi?" Tanya Adhela pada Dilla.
"Mau kemana?" Dilla balik bertanya padaku.
"Pulang aja deh." Kujawab. Aku bingung kemana harus mengajak Dilla jalan-jalan. Tak mungkin aku mengajaknya ke warnet untuk menemanoku main game.
"Iya deh, aku sama Nadya juga mau pulang kayanya." Kata Adhela.
Aku dan Dilla memisahkan diri, karena Adhela dan Nadya pulang naik angkot lagi.
Saat itu, aku merasa ingin menangis, aku kesal pada diriku sendiri. Aku ingin banyak bicara dengan Dilla. Sumpah, aku tak sanggup melawan rasa gugupku saat itu, mungkin karena ini pertama kalinya aku jalan sama cewek.
Di perjalanan pulang, ceritanya hampir sama seperti saat berangkat tadi. Aku masih bisu. Aku menyerah untuk hari ini, aku tahu Dilla merasa bosan, makanya Dilla hanya memainkan handphonenya di sepanjang perjalanan. Semoga Dilla mengerti bahwa aku masih belum mampu melawan rasa gugupku di hadapannya.
Aku tak mengantar Dilla sampai ke depan rumahnya. Dilla memintaku untuk menurunkannya di gerbang perumahannya. Aku tak perlu tahu alasannya apa.
Setelah mengantar Dilla, aku langsung ke warnet. Aku senang, bisa pergi jalan-jalan dengan Dilla. Tapi aku kesal pada diriku sendiri yang tak bisa banyak bicara dengan Dilla, yang tak bisa terlihat asyik di depan Dilla. Tapi tak apa, aku sudah merasa semakin dekat dengan Dilla. Banyak sekali hal yang belum kumengerti selama masa pendekatan ini, tapi aku yakin aku bisa mendapatkan Dilla. Aku memang pendiam, tak bisa banyak menghibur, semoga perasaan tulusku cukup untuk mencuri hati Dilla.
"Terimakasih Dilla, maaf aku nggak bisa jadi orang yang asyik di depan kamu, aku hanya bisa jadi diriku sendiri, yang pendiam. Tapi aku akan belajar menjadi lebih terbuka di depanmu, karena aku tak hanya ingin jadi pacarmu. Aku ingin jadi sahabat, keluarga, dan segalanya untukmu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma
RomanceBeberapa part terakhir di private. "Karena sekuat apapun cinta terakhirmu, kamu takkan pernah benar-benar bisa lupa pada cinta pertamamu." Ya, aku setuju dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan Dilla, yang dulu pernah kuperjuangkan...