"Nik.. Are you okay?"
Sebuah suara terdengar dari luar toilet, yang kuyakini suara Kyle.
Entah berapa lama aku didalam sini, kutatap lagi bracelet biru ditanganku sebelum kulepas paksa benda itu dari tanganku.
Aku benar-benar ingin membuangnya ketempat sampah, tapi sebagian hatiku tak rela, mungkin aku memang tak sanggup.
Kuurungkan niatku, dan memasangnya kembali ke tanganku. Aku sungguh membenci diriku sendiri untuk itu.
Kuusap kasar kedua mataku, berharap kelopakku tak membesar seperti monster saat ini. Aku mungkin takkan berani melihat cermin saat ini.
"Nik, please open the door?" Kali ini suara Jannice yang terdengar, suaranya terdengar khawatir. Tentu saja Jannice pasti sudah tau apa yang terjadi! Aku tertawa miris dalam hati.
Kubuka perlahan pintu toilet, dan kudapati Jannice dan Kyle memandangku cemas, kemudian kulihat pantulanku di wastafel.
OMG! You can't be more worse than this! Rambutku masih terdapat saus pasta yang lengket, dan wajahku? Ugghh, monster! Mataku bengkak, dan kulit wajahku memerah.
Jannice yang melihatku shock dengan diriku sendiri mulai angkat bicara "Nik, let me wash your hair!"
Aku hanya mengangguk, dan membiarkan Jannice membersihkan rambutku dan Kyle mengelap wajahku dengan air dingin agar bengkak di mataku hilang.
Selama itu, Jannice dan Kyle tidak mengatakan apa-apa, mereka hanya menatapku cemas.
Setelah merasa bersih, aku mengangguk pada Jannice dan Kyle mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja, yang keluar dari mulutku hanya "thanks" dengan lirih.
Sekarang aku merasa tidak-terlalu-memalukan, untuk itu aku bersedia keluar dari toilet bersama Kyle dan Jannice. Beberapa pasang mata memandangku, serta berbisik kearahku. Aku lebih dari siap untuk ini, karena itu aku tak memilih mengubris sekelilingku.
Kelas terakhir berlangsung senyap, sebagian mahasiswa dikelasku fokus pad Mrs.Carolline yang mengajar bidang studi ilmu management pada kami. Dan sebagiannya, curi-curi pandang kearahku. Aku tau aku benar-benar telah dipermalukan tadi, tak heran jika mereka membicarakanku.
"Nik, are you sure you are ok?" Untuk yang ke-sebelas kalinya Kyle menanyakan itu padaku. Aku menghela napas, kemudian berbalik menatapnya
"Kyle, dont worry! I'm ok, believe me."
Kyle tersenyum lemah mendengar jawabanku yang sangat meragukan baginya. Ia menepuk-nepuk belakangku pelan, mencoba membuatku tenang. Aku menghargai perasaan khawatirnya, tapi sampai saat ini aku tak bisa mengeyahkan Shane dari otakku.
Tidak setelah dia membiarkanku dipermalukan seperti tadi.
***
Aku dan Jannice berjalan pulang ke rumah bersama-sama, dijalan Jannice tak henti-hentinya menanyakan apa aku baik-baik saja, dan sungguh! Aku bosan menjawab "i'm ok" terus-menerus. Dijalan aku juga tak henti-hentinya berdoa agar tidak berpapasan dengan Shane dirumah. Sungguh, demi apapun aku tak ingin melihatnya sekarang ini! Atau aku akan kembali lagi menjadi monster bermata bengkak. Big NO!
Dan ternyata Tuhan memang tak mendengar doaku, si pirang baru membuka pintu rumah saat kami akan masuk. Fuck.
"H-Hi Shane? Where are you going?" Jannice mencoba mencairkan suasana.
Shane tak menjawab, matanya terus menatapku. Aku hanya menatap lantai merah bata didepan rumah kami ini. Beberapa saat keheningan menyelimuti kami bertiga, kurasa Jannice juga tak tau ingin berkata apa, hingga akhirnya ia memustuskan untuk masuk.
"Umm.. Aku akan masuk duluan yah? Jika kalian ingin berbicara sesuatu jangan sungkan." Jannice tak mengubris pelototanku kearahnya dan kemudian ia masuk kerumah. Meninggalkanku sendirian di teras bersama Shane. Goddammit!
Entah berapa lama kami berdua berdiri diluar, keadaanku masih seperti orang yang mengheningkan cipta. Tapi aku tau pandangan Shane terus tertuju padaku.
"Nik.." Akhirnya si pirang angkat bicara, spontan aku melihat kearahnya.
Aku menyesal melihat kearahnya, ekspresi yang ia buat saat ini membuatku tertegun. Ia melihatku dengan sorot kesedihan dimatanya, apaitu? Penyesalan? Aku tak bisa mendeskripsikannya. Jelas itu membuatku hancur! Dia tak pernah menunjukkan ekspresinya yang ini.
"Maaf" Ucapnya lirih.
Mendengar ucapannya, pedih yang kurasakan dimataku kini kembali menyeruak. Amarahku kembali menyala, aku menyalahkan dia untuk kejadian memalukan tadi! Dia benar-benar jahat!
"Kau tak peduli padaku!" Suaraku terdengar seperti bisikkan, namun sarat akan emosi.
"Bukan begitu.." Terang Shane semakin lirih.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku
"Nik.." Shane mencoba mengambil tanganku, tapi aku menepis tangannya dengan keras. Ekspresinya makin terluka.
Kenapa ia bersikap seolah dia korbannya? Kenapa dia yang memasang ekspresi terluka seperti itu? Yang seharusnya terluka itu AKU! AKU!
"Nik, please listen to me.."
"Just shut the fuck up Shane! I dont want to listen about your bullshit!"
Aku berlari kedalam, menutup keras pintu rumah, meninggalkan Shane dengan ekspresi teramat hancur diwajahnya.
~
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep in Blue
Любовные романыLove comes whenever it like Kapanpun, Dimanapun, Kepada siapapun tidak mengenal ras serta suku Cinta bisa datang dari belahan bumi manapun tak pernah kau sangka dan kau duga Namun ada cinta yang hanya menginginkan materi Begitulah menurut Niki Dikhi...