Seluruh keganjalan yang kurasakan selama seminggu ini kini menghilang. Tak kusangka aku sebahagia ini ketika berbaikan dengan Shane. Olokan-olokan cerdas nya itu membuatku kembali bernafas. Aku tak tau ini hal yang baik atau malah sebuah bencana, tapi tawanya,matanya,segalanya tentang dia kini seperti candu bagiku. Ugghh, I'm addicted to him.
"Wanna play a game?" Si pirang menyunggingkan senyumnya. Sebuah nintendo wii kini sudah berada didepan mataku.
"Omg! Kapan kau membelinya???" Tanyaku takbisa menyembunyikan binar-binar dimataku. Sudah lama aku tidak main wii, semenjak kak Hell sekolah di Melbourne aku jarang menyentuh playstation dan wii milik kami. Well, aku bukan tipe orang yang senang bermain game sendiri.
"Aku sudah punya ini sejak lama, tapi jarang kumainkan. Jannice tak suka bermain game. Dan aku tak suka bermain game sendirian!"
Hihi sama sepertiku.
"Baiklah, bagaimana dengan permainan tennis?" Saranku.
"Boleh juga!" Shane memasang wii nya ke televisi, mengambil stick di kotaknya lalu melemparkannya padaku.
"Well, kuperingatkan saja..aku cukup ahli dalam permainan ini!" Kataku sembari menangkap stick yang dilempar Shane.
Shane berjalan ke arah sofa dan duduk disebelahku sebelum menampilkan ekspresi 'are you sure' miliknya.
"Mari kita lihat, cewe sepatu" tanpa sadar aku tersenyum mendengarnya memanggilku seperti itu. Sudah seminggu dia tidak memanggilku begitu.
oh tidaakk!!! Bahkan aku merindukan nama ejekan itu?! Aku pasti memang sudah gila.
Kami beralih ke layar, bersiap-siap untuk memukul bola. Sekali, dua kali, ctakkkkk. Bola nya jatuh ke bagian milik Shane karena dia tak berhasil menangkap pukulanku. Shane mengerang sementara aku tersenyum penuh kemenangan.
Akhirnya game itu dimenangkan olehku, well sudah kubilang kan? Aku memang agak ahli.
"Arrrrrrggggghhhhhhh" Shane melempar stick nya ke sofa, tangannya meremas-remas rambut pirangnya, membuat rambutnya acak-acakan. Dan entah kenapa itu terlihat..umm.. Sexy.
Aku mengalihkan pandanganku, sebelum akhirnya berlari memutari sofa dengan mengacungkan tangan ala pemain sepak bola yang berhasil mencetak goal. Shane tergelak melihatku.
"Jangan pikir kau bisa menang melawanku di pertandingan baseball nya ok?" Tantang Shane.
"Ter-se-rah" kujulurkan lidahku kearahnya, berniat ingin melanjutkan aksiku.
Tapi tiba-tiba kedua tangannya meraih pinggangku, membuatku limbung dan jatuh ke sofa. Bukan, bukan ke sofa! Tapi kepangkuannya.
Shane mengapit leherku dengan tangannya kemudian memiting kakiku.
"Ini akibat karena kau terlalu sombong" tukasnya sambil terkekeh. Awalnya aku memberontak, tapi tenaga ku tak kuat untuk melepaskan diri darinya. Kami terlalu asik berkelahi tanpa mengetahui ada yang datang.
"Wow" sebuah suara menghentikan aksi kami.
"Kurasa kalian sudah baikan" Jannice masuk membawa kantong plastik. Wajahnya tersenyum nakal.
"Kurasa kalian sudah sangat baikan!" Sambungnya.
Barulah aku menyadari bahwa posisi kami sangaaatt memalukan. Shane sudah berada diatasku dengan tangan dipinggangku dan dileherku. Aku bahkan tak sadar kakiku sudah menggantung dipinggangnya karena aksi saling piting tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep in Blue
RomanceLove comes whenever it like Kapanpun, Dimanapun, Kepada siapapun tidak mengenal ras serta suku Cinta bisa datang dari belahan bumi manapun tak pernah kau sangka dan kau duga Namun ada cinta yang hanya menginginkan materi Begitulah menurut Niki Dikhi...