Bab 35 • Dylan's House (2)

2.1K 179 3
                                    

Mungkin karena terlalu kenyang, atau mungkin karena langit yang tampak murung, atau, mungkin karena alunan musik jazz yang setia menemani perjalanan mereka berdua menuju rumah Dylan, Elektra tertidur.

Rambut panjang gadis itu menutupi hampir seluruh wajahnya. Membuat Dylan ingin menyingkirkan rambut-rambut tersebut, agar ia bisa melihat wajah Elektra dengan jelas.

Ralat. Dylan benar-benar menyingkirkan rambut Elektra kebelakang telinga gadis itu, membuat wajah pulasnya terlihat jelas.

Sudut bibir Dylan tertarik, membentuk senyum kecil. Lucu, batin Dylan.

Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil Dylan sudah berada di halaman mansion-nya. Ia melirik Elektra, yang tampak masih tertidur pulas.

Dylan menimbang. Apa ia harus membangunkan gadis itu, atau apa ia harus menggendongnya kedalam?

Dylan mencondongkan tubuhnya kearah Elektra, membuat jarak antara mereka semakin sempit. Dari jarak ini, ia bisa melihat betapa mulus dan polosnya wajah Elektra—tidak seperti gadis-gadis one night stand-nya, yang ber-make up tebal.

Dari jarak ini, Dylan juga bisa melihat bibir merah Elektra yang polos—tapi, menggoda. Dylan mengerjapkan matanya.

Apa ia baru saja berpikir ingin mencium gadis itu?

Aku bisa gila, batin Dylan. Baru ia akan menjauhkan diri, mata Elektra terbuka.

Iris bulat gadis itu melebar begitu melihat jarak antara dirinya dan Dylan—terlalu dekat. Dengan gerakan setengah sadar, Elektra mendorong Dylan menjauh.

"Apa yang ingin kau lakukan?"

Segera, Dylan mengalihkan pandangannya. Wajahnya memerah. Buruk. Sangat buruk. Ia tidak pernah merasa semalu ini sebelumnya.

Baiklah, tidak apa-apa, Dylan, batinnya menenangkan dirinya.

Setelah berhasil mengontrol diri, Dylan menoleh menatap Elektra. Yang sedang menatapnya, bersedekap.

"Aku hanya ingin," lagi, Dylan mencondongkan tubuhnya pada Elektra. Tapi sebelum gadis itu sempat mengomel, tangan Dylan bergerak. "Membuka seatbelt-mu."

Sekarang, wajah Elektra yang tampak memerah. Pipi gadis itu menimbulkan semburat merah jelas, tampak lucu.

Dylan tersenyum puas.

"Memangnya, apa yang kau pikir akan kulakukan, Sweet Pie?"

"T-tidak ada," Elektra tidak menatap Dylan. "S-ekhm, sudah sampai, kan? Kita tidak akan turun, huh?"

Elektra tampak malu, salah tingkah. Dan bagi Dylan, tingkah gadisnya itu lucu.

Tunggu.

Apa Dylan baru saja memyebut Elektra sebagai gadis-nya?

Dylan mengusap tengkuknya. "Ekhm. Yeah. Ayo."

✖️

Dylan membawa Elektra keruang musik miliknya, yang berada tepat di sebelah kamar Dylan.

Ruang dengan luas empat kali tiga meter tersebut kedap suara, dipenuhi dengan banyak alat musik—mulai dari piano yang berada ditengah-tengah ruangan, gitar accoustic sampai gitar listrik, drum di pojok ruangan, dan biola.

Elektra berjalan menuju tempat biola tersebut tersimpan. "Kau bisa bermain biola?"

Elektra selalu ingin bisa memainkan biola—gadis itu juga selalu suka, saat seseorang memainkan biola.

Mungkin, karena Isabelle—Ibu Elektra—bisa memainkan biola. Elektra masih mengingat, saat Ibunya masih hidup, ia selalu meminta wanita itu mengajarinya bermain biola. Yang belum pernah terlaksana—sampai wanita itu pergi.

Tahu-tahu, tangan Elektra sudah berada dalam genggaman Dylan. Elektra mengerjap, menatap Dylan.

"Ada apa? Kau.., tiba-tiba tampak sedih. Apa—aku melakukan hal yang salah?"

Wajah Dylan yang terlihat bersalah membuat Elektra terkekeh. "Tidak."

Dylan berdehem pelan. "Aku—apa lagu yang kau suka?"

Satu alis Elektra terangkat, "Kau akan menyanyi untukku?"

"Tidak," Dylan tersenyum kecil. "Suaraku sumbang. Tapi aku pemain gitar dan biola, dan piano handal."

After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang