Bab 59 • Tears

2.5K 189 4
                                    

March bilang, Dylan berada di apartment-nya. Semalam, Dylan datang ke aparment-nya dengan kondisi babak belur dan mabuk.

Elektra menyelipkan anak rambutnya kebelakang telinga, bersiap masuk ke dalam kamar yang ditempati Dylan. Jangan tanya bagaimana ia bisa masuk ke apartment March, lelaki itu tentu mengantarkannya—sampai ia memasuki apartment. Tapi, hanya sebatas itu.

Ia mengucapkan sesuatu seperti 'cepat selesaikan urusanmu' sebelum menutup pintu apartment. Meninggalkan Elektra sendiri—ralat, berdua dengan Dylan.

Tanpa ingin menimbulkan suara, Elektra membuka kamar Dylan—begitu masuk, ia dapat melihat Dylan yang tertidur. Wajahnya tampak lebam dibeberapa tempat, membuat Elektra kembali dirasuki rasa bersalah.

Kamar Dylan cukup luas, dengan warna hitam yang mendominasi ruangan tersebut. Tidak banyak barang didalam ruangan tersebut, hanya ada satu sofa kecil, satu meja, televisi, satu lemari, dan tempat tidur berkuran king.

Dinding yang dilapisi cat berwarna hitam itu tampak polos, dan Elektra rasa, kamar Dylan terasa mati.

Perlahan, Elektra duduk dilantai, tangannya menopang dagunya, irisnya mengamati wajah tertidur Dylan. Ada gejolak sedih yang timbul saat melihat lingkaran hitam disekitar mata Dylan, dan luka-luka di wajah mulus lelaki itu.

Aku bodoh sekali, umpat Elektra dalam hati. YaTuhan, maafkan aku.

Jari-jari lentik Elektra menelusuri setiap lekuk wajah Dylan. Dalam hatinya, ia tidak henti merutuki dirinya sendiri saat melihat sosok Dylan—yang tampak menyedihkan, dan itu semua karena dirinya. Tubuh kekar Dylan bahkan tampak sedikit lebih kurus.

Saat jemari Elektra ingin menyibak anak rambut yang menutupi mata Dylan, tiba-tiba matanya terbuka. Iris biru Dylan tampak redup. Dan lagi, itu menyakiti Elektra.

"Dylan—"

Dengan gerakan cepat, Dylan bangkit dari tidurnya. Menatap Elektra dengan keterkejutan yang nyata. "Kau—" suara seraknya terdengar, lirih. "Ini pasti mimpi."

Elektra menggeleng, "Ini aku. Dylan, ak—"

Tatapan terkejut Dylan digantikan dengan kilatan marah yang nyata, lalu berganti menjadi kecewa, lalu Dylan menatap tajam Elektra. "Pergi."

Elektra menggigit bibirnya, menahan tangis. Air matanya seperti siap keluar kapanpun. "Dylan, dengar—"

Dylan menggeleng, "Aku mau kau pergi."

Elektra berjalan mendekati Dylan, tapi Dylan melangkah mundur, iris birunya meredup, memancarkan kesedihan yang nyata.

Elektra terasa tertampar melihat tatapan Dylan. "Aku—"

"Aku mau kau pergi," lirih Dylan, berbalik membelakangi Elektra. "Sekarang."

Satu butir air mata Elektra turun, bersamaan dengan dirinya yang berbalik, melangkah keluar dari kamar Dylan. Tanpa tahu, didalam ruangan tersebut, setetes air mata juga turun.

Air mata milik Dylan. Ada rasa rindu yang jelas saat melihat Elektra dihadapannya. Ingin, Dylan berlari mengejar gadis itu, mendekapnya seerat mungkin. Ingin, Dylan berbisik ditelinga gadis itu, untuk jangan pernah pergi, lagi.

Tapi, ia terlalu takut.

After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang