Bab 22 • Insane

2.9K 254 0
                                    

Akhirnya pilihan Mels—dan juga dirinya—jatuh pada sebuah gaun pendek yang jatuh diatas lutut berwarna merah tanpa lengan, simple, tapi tampak cantik melekat di tubuh Elektra yang proposional.

Mels tersenyum puas setelah selesai menata rambut Elektra dan menyapukan make up tipis di wajah mulus Elektra. Rambut Elektra yang agak bergelombang dibiarkan terurai.

"Kau tampak cantik, Sayang."

Satu senyum tipis Elektra berikan. "Terima kasih."

"Bukan masalah. Ayo, Dylan pasti sudah menunggu."

Mengangguk, Elektra mengikuti Mels berjalan keluar butik. Diluar, Dylan sudah menunggu, lelaki itu sibuk memainkan ponselnya

Mels harus berdehem dulu, barulah Dylan menyadari kehadiran mereka.

"Lama sekal—" Dylan berhenti saat menatap Elektra. Dengan segera, Elektra mengalihkan pandangannya. Dylan sendiri pura-pura berdehem. "Ekhm. Terima kasih, Mels. Aku akan transfer biaya-nya. Aku pergi."

Mels mengangguk. Lalu Dylan menggandeng tangan Elektra, menggenggam tangan mungil Elektra dengan tangan besarnya.

✖️

Singkat cerita, mereka kembali ke restaurant, makan, lalu pulang. Tidak banyak yang mereka bicarakan selama itu. Hanya tentang makanan Perancis yang Elektra makan—gadis itu menyukai makanan tersebut. Tentang Dylan yang ternyata pecinta makanan Perancis.

Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara. Hanya suara Taylor Swift yang mengalun dari radio.

Mobil Dylan berhenti di rumah Elektra sekitar pukul setengah sebelas malam. Lampu ruang tamu sudah mati, mungkin Grandma dan Grandpa sudah tidur.

"Ekhm," Elektra berdehem. "Terima kasih, Dylan."

Gadis itu mengucapkan terima kasih dengan tulus. Makan malam itu, ekhm, tidak seburuk yang ia kira. Dylan juga tidak bersikap menyebalkan, untungnya.

Tanpa sadar, Dylan tersenyum. Ia mengangguk. "Bukan masalah."

"Baiklah. Aku—"

Elektra menoleh, "Ya?"

"Apa aku sudah bilang kau cantik tampak cantik dengan gaun itu?"

Elektra mengerjap beberapa kali. "A—"

"Sepertinya belum, ya," Dylan membasahi bibirnya. "Kau tampak cantik dengan gaun itu, Elektra."

Mungkin Elektra sudah benar-benar gila. Untuk kedua kalinya, pipinya menghangat karena Dylan.

✖️

Elektra tidak tahu apa yang terjadi dengan Dylan. Yang jelas, lelaki itu menghilang—maksudnya, lelaki itu tidak menganggunya selama tiga hari ini. Ia juga tidak pernah melihat Dylan di sekolah selama itu.

Tidak, tidak, Elektra tidak mencemaskan Dylan! Jangan gila. Ia hanya.., bingung? Ya. Dia bingung. Tapi, dia tidak mencemaskan lelaki itu. Malah, tidak adanya Dylan menguntungkan untuknya. Tidak ada yang membuatnya kesal lagi. Memaksanya ini dan itu, seenaknya menyeretnya kemana-mana.

Tapi itu hanya berlangsung selama tiga hari. Karena pada Minggu pagi, saat Elektra sendiri di rumah—Grandma dan Grandpa pergi berkunjung teman lamanya—Dylan muncul dihadapannya dengan wajah yang memar, dan bibir yang sobek. Ia tampak sedikit lebih kurus, dan matanya dilingkupi lingkaran hitam.

Keadaan lelaki itu.., agak menyedihkan. Entah, apa yang baru saja lelaki itu lakukan. Apa yang baru saja terjadi dengan lelaki itu.

"Dyla—Dylan. Apa.., kau baik-baik saja?"

Lelaki itu tidak menjawab. Hanya bergeming sambil menatap Elektra. Mungkin, lebih dari lima menit. Atau kurang. Entahlah.

Lalu dengan suara seraknya Dylan berucap, "Sepertinya aku sudah tidak waras."

Alis Elektra menyatu. "Apa? Sebaiknya kau masuk dul—"

Tanpa aba-aba, Dylan merengkuh Elektra kedalam pelukannya. Itu terjadi begitu cepat. "Aku merindukanmu. Tolong, biarkan seperti ini dulu. Sebentar saja."

Elektra tidak tau harus berbuat apa. Tapi, ia tidak melepaskan pelukan Dylan. Mungkin karena nada suara Dylan yang tampak menyedihkan. Atau, karena ia juga merindukan lelaki itu.

Tapi sepertinya itu karena suara Dylan yang menyedihkan. Elektra tidak mungkin merindukan Dylan, kan? Yah.

After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang