Bab 33 • Wanna Go Out With Me?

3.2K 240 1
                                    

"Jadi apa yang kau lakukan pada gadis itu?"

Film final destination tersetel di dvd player di kamar Dylan tanpa satu orangpun di ruangan itu—Dylan dan March—yang benar-benar memperhatikan.

Dylan melirik March. Lalu dia sadar. Ia terkekeh. "Seharusnya aku tau, siapalagi yang akan memberitaunya alamat rumahku jika bukan kau."

"Tidak. Aku mengantarkannya kesini, bukan memberitaunya alamat rumahmu."

"Kau—mengantarkannya?"

March mengangguk. Ia menatap Dylan, yang menatap menatap layar tv dengan kosong. "Aku mengantarkannya pulang, dan serius, dia tidak berbicara sepatah dua patah kata apapun. Dia hanya menatap kaca dengan tatapan—aku tidak akan mengatakannya jika kau tidak mengatakan, ada apa dengan dirimu."

Dylan menghela napas, memejamkan matanya. "Aku hanya—"

"Kau tidak berniat menyakitinya, tapi kau sudah menyakitinya," March memotong perkataan Dylan dengan jengkel.

Dylan terkekeh, pelan. March terlalu mengenal dirinya. March bahkan lebih bisa memahami dirinya daripada dirinya sendiri bisa memahami.

"Jangan menjadi pengecut, Dylan," tandas March. "Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Itu hanya akan menyakiti dirimu, dan orang lain."

"Itu memang salahku!" nada bicara Dylan langsung meninggi.

March menghela napasnya. "Itu bukan sepenuhnya kesalahanmu, Dylan."

"Bullshit," Dylan mendengus. Ia lantas berdiri. "Lebih baik kau pulang."

Satu alis March terangkat. "Kau sudah berani mengusirku sekarang?"

"March—"

March ikut berdiri. Tubuh March tampak mungil disamping tubuh Dylan—padahal March bertubuh cukup proposional.

"Aku tau kau mulai menaruh perasaan padanya, seperti waktu itu," March menepuk punggung Dylan. "Tapi menjauhinya bukan berarti kau tidak menyakitinya, Dylan. Jangan lari. Setidakna untuk kali ini."

✖️

Elektra tampak sama sekali tidak bersemangat hari itu. Sally dengan jelas menyadarinya.

"Kau baik-baik saja?"

Saat makan siang, barulah Sally memberanikan diri bertanya pada temannya itu.

Bahkan, Elektra tidak langsung menjawab. Gadis itu melamun. Entah, memikirkan apa. Pandangannya kosong, makanannya tidak tersentuh sama sekali.

Sally menyenggol lengan Elektra, membuat gadis itu tersadar.

"E—ya?"

Dahi Sally mengernyit, "Kau aneh. Sedang ada masalah, ya? Aku pendengar yang baik."

Elektra memainkan bibirnya, tidak tau harus berkata apa. Ia sendiri tidak tau ada apa dengan dirinya. Hanya saja.., kejadian kemarin.., membuatnya.., entahlah. Ia juga tidak mengerti.

Atau. Ia tidak ingin mengerti, karena takut dengan jawaban perasaannya sendiri.

"Baiklah. It's Dylan, isn't it?"

Elektra menoleh pada Sally, sedikit terkejut. "Em it—"

"Nah, lihat, sekarang dia berjalan kesini. Arah dua belas. Aku akan pergi. Dah!"

Sebelum Elektra dapat bereaksi, Sally sudah berlari meninggalkannya. Ketika ia melirik arah dua belas, Sally tidak sedang bercanda. Dylan memang tengah berjalan kearahnya. Iris birunya jelas menatap Elektra lekat-lekat, menguncinya.

Begitu sampai di hadapan Elektra, Dylan duduk, ditempat yang Sally duduki beberapa saat lalu. "Hai."

Rasanya, Elektra ingin berteriak kepada Dylan. Betapa menyebalkannya lelaki itu.

Elektra membereskan bukunya yang berada di meja. "Aku tidak ingin berbic—"

"Maaf."

Gerakan tangan Elektra berhenti.

Elektra menatap Dylan, "Pardon?"

"Maaf, kubilang," Dylan menatap Elektra. "Aku—ingin pergi bersamaku sepulang sekolah?"

Elektra ingin menolak ajakan Dylan. Sungguh. Tapi, yang ia katakan adalah, "Aku ingin makan makanan Perancis dulu sebelum itu."

After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang