Bab 8 • Dylan, Again

4K 272 0
                                    

Mereka—Elektra dan Sally—keluar dari kelas Kalkulus dengan dua mikik berbeda. Elektra dengan mimik datarnya yang tampak lega, dan Sally dengan mimik lelah dan, sedikit frustasi? Yeah. Mereka baru saja selesai menjalankan kuis kalkulus dadakan. Elektra, dan Sally juga, untungnya dapat melewati kuis dengan baik. Wajar. Elektra memang sempat belajar sebelum memasuki kelas tadi pagi, tapi Sally, yang sama sekali tidak belajar, entah bagaimana bisa melewati kuis dengan baik. Tapi, dampaknya, ia tampak.., sedikit mengerikan sekarang.

"Sumpah, aku tidak tau bagaimana caranya bisa menjawab soal-soal itu," Sally menyerocos. "Tapi sekarang rasanya otakku akan meledak."

Elektra menepuk-nepuk bahu Sally, pura-pura bersimpati. "Tuhan memberkatimu, Nak."

Sally mendengus sambil menabok bahu Elektra dengan main-main. Tapi tenaganya besar, cukup membuat Elektra sampai meringis.

"Omong-omong, aku PE selanjutnya," Sally melenguh. "Sial, sehabis membuat otakku lelah, sekarang fisikku yang akan dibuat lelah."

"Selamat hari keberuntungan kalau begitu," Elektra menjawab.

"Kau kelas apa selanjutnya?"

Kelas apa selanjutnya? Sebenarnya, sih, Elektra juga tidak tau. Kalau ia tidak salah mengecek tadi, ia kelas kosong. Ia ingin keperpustakaan untuk menyelesaikan tugas sejarahnya yang akan dikumpulkan sore ini.

"Aku kelas kosong," Elektra menjawab. "Ada tugas yang harus kuselesaikan."

Sally mengangguk-anggukan kepalanya. Dibelokan koridor yang pertama, setelah Sally menggumamkan sesuatu seperti 'tunggu aku saat makan siang', mereka berpisah. Elektra segera berbelok ke kanan menuju perpustakaan, sedangkan Sally berjalan lurus menuju ruang gym.

Koridor menuju perpustakaan sudah mulai sepi. Sepertinya para murid sudah berada di kelas mata pelajaran masing-masing.

Pintu kayu perpustakaan sedikit berdecit saat Elektra membukanya. Saat satu kaki jenjang Elektra memasuki perpustakaan, seseorang dengan cerobohnya menabrak Elektra.

Bodoh.

Tubuh Elektra kehilangan keseimbangan, terdorong keluar lagi, sebelum akhirnya jatuh tepat didepan pintu perpustakaan.

Sakit. Serius, bokongnya terasa sakit. Ia mengumpat dalam hati, mengutuk siapapun lelaki bodoh yang membuatnya terjatuh.

Suara lelaki itu, yang Elektra yakin sembilan puluh sembilan persen yang membuatnya jatuh, terdengar berat dan serak. "Oops, kau terjatuh."

Ketika Elektra berhasil bangkit sendiri, menatap si penabrak, matanya membulat. Itu lelaki menyebalkan yang sama yang membuat kemeja putihnya kotor dua hari yang lalu!

Elektra masih mengingat iris indah lelaki menyebalkan itu. Jernih, dan sebiru laut.

"Dan kau yang membuatku terjatuh," nada sarkastik keluar begitu saja dari bibir Elektra.

Dan Elektra juga masih menganggap lelaki itu jelek karena sikap menyebalkannya.

Satu alis si lelaki terangkat, "Seharusnya kau bisa melihat aku sedang terburu-buru."

"Seharusnya kau bisa mengatakan 'permisi' atau setidaknya 'awas'," iris Elektra menyorot tajam, setajam nada yang ia lontarkan.

Yang ia dapati sebagai balasan adalah dengusan malas dari si lelaki. "Kau membuang-buang waktuku."

Kepala Elektra rasanya mendidih. Lelaki dihadapannya benar-benar menyebalkan. Rasanya, ia ingin melemparkan satu bogem mentah di wajah tampannya. Tapi ia tidak akan melakukan itu. Tentu. Jadi, yang ia lakukan mengambil napas dalam, dan menghembuskannya perlahan.

"Lelaki menyebalkan."

Elektra sudah akan mendorong pintu perpustakaan, tapi si lelaki mencegahnya. Dengan cepat, Elektra memberi tatapan paling tajamnya pada si lelaki.

"Kau baru saja mengatai aku apa?"

"Kau. Menyebalkan."

Mendengar setiap kata yang ditekankan dengan jelas oleh Elektra, si lelaki terkekeh. "Kau ingin bermain-main denganku, ya?"

"Yang benar saja," dengan kasar Elektra menarik tangannya yang digenggam oleh si lelaki. "Aku masih punya urusan yang lebih penting ketimbang bermain-main dengan cowok sepertimu."

Mimik si lelaki berubah, sepersekian detik ia tampak kaget. Kemudian ia berucap, "Kau tidak tahu siapa aku?"

Dalam hati, Elektra menggerutu. Memangnya sepenting dan seterkenal apa, sih, lelaki di hadapannya ini?

"Tidak."

Lagi, satu alis si lelaki terangkat. "Tunggu. Kau itu si anak baru bernama bla bla bla King, ya?"

Elektra mendesis tidak suka, "It's Elektra King."

Entah apa yang lucu, tetapi sekarang si lelaki tertawa. "Oh, oh, oh. Jadi ini salah satu cara agar kita bisa berkenalan, ya?"

Sepersekian detik, Elektra bengong. Kaget. Ia menatap si lelaki dengan tatapan tidak percaya. Yang benar saja. "Kau gila?" ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "I don't even fucking care with you."

Mimik si lelaki tampak kaget, lagi, yang ditunjukannya hanya sesaat. Yang langsung tergantikan dengan senyum miringnya. Ia berbisik ditelinga Elektra, "Kau mencari masalah dengan orang yang salah, Babe."

Kemudian meninggalkan Elektra sendirian.

After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang